EPILOG / PROLOG – “Awal dari Malvinno Celsius”
(±500 kata)
Fuyuki selalu tampak seperti kota yang terlalu tenang untuk menyembunyikan rahasia kegelapan. Di pagi hari, suara riang burung camar bersatu dengan aroma roti panggang dari kedai lokal; di malam hari, lampu-lampu jembatan menari lembut di atas permukaan sungai Shinto. Namun bagiku—Malvinno Celsius—ketenangan ini hanyalah lapisan tipis di atas dunia gaib yang terus berdenyut dan menatap balik.
Nama “Celsius” bukan sekadar nama keluarga. Ia adalah warisan tua dari garis magus Roma yang sudah bertahan berabad-abad, keluarga yang mempelajari seni alkimia, isolasi prana, dan pengendalian konsep “esensi dingin” dalam sihir. Namun aku… bukanlah sekadar keturunan keluarga itu. Aku adalah jiwa yang dibawa dari dunia lain, dunia tempat sihir adalah legenda dan pahlawan adalah sejarah—bukan entitas yang bisa dipanggil dari masa lampau untuk bertarung. Dunia lamaku memudar seperti mimpi, tetapi aku masih ingat kesadaran itu: “Aku mati… lalu dilahirkan kembali.”
Ketika aku berumur delapan tahun, Crest Keluarga Celsius mulai menampakkan diri di lenganku—garis berwarna biru-perak yang berdenyut seperti pecahan bintang beku. Sang kepala keluarga, kakekku, sering menatapku seolah aku adalah penjelmaan harapan serta ancaman. “Kau berbeda, Malvinno,” katanya suatu malam di villa kami di Roma. “Terlalu cepat menguasai, terlalu cepat memahami. Seolah kau bukan anak di dunia ini.” Ia benar, tentu saja. Namun ia tak pernah tahu seberapa benar dugaannya.
Beberapa tahun kemudian, aku dikirim ke Fuyuki. Keluarga Celsius telah lama bekerja sama—atau lebih tepatnya, bersaing diam-diam—dengan para magus Jepang untuk mempelajari fenomena misterius yang hanya muncul di kota kecil ini: cawan suci. Aku dikirim bukan sebagai pewaris, bukan sebagai duta, tetapi sebagai cadangan—seseorang yang harus siap jika Holy War pertama pecah. Keluarga tahu, cepat atau lambat, perang itu akan dimulai.
Fuyuki menerima kedatanganku dengan hangat, namun aku tetap asing. Aku tinggal di rumah tua bergaya Barat di perbatasan distrik Shinto, bergelut antara kehidupan magus dan kehidupan sebagai remaja biasa. Pagi hari kuhabiskan belajar di sekolah, memahami bahasa Jepang, meniru kehidupan manusia biasa agar tidak mencolok. Malam hari, aku mendalami penelitian tentang prana tanah Fuyuki, mempelajari catatan tua Gereja, dan mencoba membuka kembali tubuh magus lamaku—yang secara misterius terasa… akrab.
Kadang aku merasakan bayangan tak terlihat mengikuti langkahku. Ruang udara di Fuyuki seperti bergetar, seolah mencium bau perang yang belum dimulai. Dalam hatiku, firasat itu sangat jelas: Perang akan datang. Bukan hanya perang pertama—tapi perang yang akan mengubah sejarah dunia ini. Dan aku… tidak sekadar saksi.
Karena meski aku belum tahu bagaimana atau kapan, aku memiliki tujuan. Jiwa lamaku tidak bereinkarnasi tanpa alasan. Setiap malam, ketika aku melihat Crest di lengan, aku seperti mendengar bisikan masa depan:
“Kau akan memanggil Avenger. Dan dunia akan berubah.”
Begitulah kehidupanku sebelum semuanya dimulai—sebelum darah pahlawan, legenda, dan masa lalu tumpah di jalan Fuyuki.
Ini hanyalah ketenangan sebelum badai pertama.
( Mohon maaf bila ada salah kata dan ketidak nyamanan nya karna saya baru pemula dalam membuat novel ini jika ada kritik dan saran silahkan berikan aku komentar ) kwkwkkw
Wkkwkw wkwkwk wkwkk wkwk wkwkkw wkwk wkwk
