Sari melangkah keluar dari gedung kantornya yang megah di pusat Jakarta, tas kerja hitam di bahunya, sepatu hak tinggi mengetuk trotoar dengan ritme cepat. Hari ini adalah hari yang melelahkan—rapat panjang, deadline proyek, dan tekanan dari bos yang selalu meminta yang mustahil. Sebagai manajer pemasaran di perusahaan kosmetik ternama, Sari terbiasa dengan dunia glamor: makeup, fashion, dan acara-acara mewah. Hidupnya teratur, stabil, dan penuh ambisi. Tapi di balik itu, ada satu hal yang membuatnya stres: tekanan dari keluarganya untuk menikah.
"Ibu, aku belum siap," kata Sari dalam hati, mengingat percakapan telepon pagi tadi. Ibunya, yang konservatif dan selalu mengkhawatirkan masa depan anaknya, telah mengatur pertemuan dengan calon suami potensial. "Dia pria baik, Sari. Dokter muda, kaya, dan dari keluarga terpandang. Kau harus lihat dia malam ini."
Sari menghela napas panjang. Ia bukan tipe wanita yang percaya pada jodoh paksa. Ia ingin cinta sejati, bukan pernikahan karena status sosial. Sambil berjalan menuju halte bus, ia melihat seorang pria duduk di trotoar, bersandar pada dinding bangunan tua. Pakaiannya compang-camping, rambut acak-acakan, dan wajahnya penuh debu. Sebuah kardus lusuh tergeletak di depannya, dengan tulisan "Tolong Bantu Saya" dalam huruf besar. Ia gelandangan, pikir Sari. Salah satu dari banyak orang yang berkeliaran di kota besar ini, mencari nafkah dari belas kasihan orang lain.
Sari biasanya melewati orang seperti itu tanpa peduli, tapi hari ini, entah kenapa, ia merasa iba. Mungkin karena stresnya sendiri, ia merasa perlu berbagi. Ia membuka dompet, mengambil beberapa lembar uang seribu, lalu mendekat. "Mas, ini untuk makan," katanya sambil menyodorkan uang itu.
Pria itu mengangkat kepala, mata cokelatnya menatap Sari dengan tatapan tajam. Wajahnya ternyata lebih muda dari yang ia duga—mungkin awal tiga puluhan, dengan rahang kokoh dan senyum tipis yang tak terduga. "Terima kasih, Mbak. Tapi saya bukan gelandangan sungguhan. Ini... hanya sementara."
Sari tertegun. "Apa? Maksudnya?"
Pria itu berdiri, menyeka debu dari celana jeansnya yang ternyata masih bagus di balik kotoran. "Nama saya Andi. Saya... sedang dalam misi. Orang tua saya kaya raya, tapi mereka ingin saya belajar nilai hidup. Jadi, saya pura-pura jadi gelandangan selama sebulan. Besok saya pulang ke rumah mewah."
Sari tertawa kecil, merasa konyol. "Misi? Serius? Kau kayak tokoh film aja."
Andi tersenyum lebar, giginya putih bersih. "Ya, serius. Tapi terima kasih atas uangnya. Sekarang, saya bisa traktir Mbak makan siang. Sebagai balasan."
Sari ragu, tapi ada sesuatu di mata Andi yang membuatnya tertarik. Ia bukan tipe wanita yang mudah jatuh hati pada pria asing, apalagi gelandangan—meski pura-pura. Tapi Andi tampak tulus, dan hari ini ia butuh distraksi dari tekanan keluarga. "Baiklah, tapi jangan lama-lama. Aku harus kerja lagi sore ini."
Mereka berjalan ke warung makan sederhana di dekat situ. Andi memesan nasi goreng, Sari ikut. Sambil makan, Andi bercerita tentang hidupnya. Ia putra tunggal pengusaha properti, tapi bosan dengan kemewahan. "Saya ingin tahu bagaimana rasanya hidup susah. Orang-orang seperti saya jarang lihat dunia dari bawah. Tapi Mbak, kau kelihatan sibuk. Apa pekerjaanmu?"
Sari menceritakan tentang kariernya, tentang tekanan dari keluarga, dan tentang pertemuan jodoh malam ini. "Dokter muda, katanya. Tapi aku tak yakin. Aku ingin pria yang paham aku, bukan yang cuma lihat status."
Andi mendengarkan dengan saksama, mata cokelatnya penuh empati. "Mungkin dokter itu baik. Tapi kalau aku jadi calon suamimu, aku akan bikin kau tertawa setiap hari. Bukan cuma janji, tapi aksi."
Sari tertawa lagi. "Kau? Gelandangan? Mana bisa."
Tapi saat mereka berpisah, Sari merasa ada sesuatu yang berbeda. Andi memberikan nomor teleponnya—ternyata ia punya ponsel canggih di balik penyamaran. "Hubungi aku kalau butuh teman. Atau kalau jodoh itu gagal."
Malam itu, saat Sari bertemu calon suami dari keluarga, pria itu ternyata sombong dan hanya bicara tentang uang. Pikirannya melayang ke Andi. Apakah ini awal dari sesuatu yang tak terduga? Hidup Sari, yang teratur, mulai goyah. Dan Andi, dengan misinya yang aneh, mungkin saja menjadi bagian dari takdirnya.