Besoknya, rumah Abi mulai sibuk kembali meski suasana masih berat. Para tetangga dan kerabat mulai berdatangan untuk tahlilan kedua, membawa makanan, bunga, dan doa untuk almarhumah Nadia. Di antara keramaian itu, Abi terlihat gelisah, sesekali melirik undangan yang sudah disebar dan catatan administrasi pernikahan yang menumpuk di meja.
"Ji," kata Abi sambil menarik napas panjang, menatap Oji dengan wajah campur aduk antara khawatir dan bingung, "untuk daftar ke KUA lagi dengan nama Sarah itu mungkin tidak sempat. Undangan juga sudah disebar pakai nama Nadia, Abi agak bingung bagaimana menanganinya."
Oji menatap Abi dengan tenang, langkahnya mantap meski hatinya sendiri masih berkecamuk. Ia menghela napas, lalu menjawab dengan nada lembut tapi yakin, "Kalau memang tidak memungkinkan, daftar ke KUA kan bisa nyusul, Bi. Orang KUA pasti datang ke sini, kita jelaskan. Dan tamu-tamu yang diundang juga semua tahu kalau kondisi kita seperti ini."
Abi menatap Oji sebentar, mencoba mencerna jawaban itu. Ia sadar Oji tetap mampu menahan diri dan berpikir jernih di tengah situasi yang berat. Sekali lagi, Abi tersenyum tipis, lega mengetahui bahwa meski semua berubah mendadak, Oji tetap menjadi sandaran bagi keluarga mereka.
Di ruang tamu, beberapa tetangga mulai menyiapkan tahlilan, menata kursi, dan menyusun makanan di meja. Suasana meski duka masih terasa hangat, karena ada ketenangan yang dibawa Oji. Langkahnya yang mantap dan suara lembutnya membuat Abi merasa sedikit lega di tengah kekacauan yang mendadak terjadi.
Hari itu, tahlilan menjadi momen tidak hanya untuk mengenang Nadia, tapi juga sebagai titik awal keluarga dan kerabat menyesuaikan diri dengan kenyataan baru, kenyataan bahwa rencana dan harapan mereka harus perlahan disusun ulang, sambil tetap menjaga kehormatan dan doa untuk almarhumah.
Abi menoleh sekilas ke arah kamar Sarah, matanya menatap pintu yang tertutup. "Dia masih belum kasih jawaban," ucapnya dengan nada campur aduk, bingung, khawatir, tapi juga sedikit cemas.
Oji menepuk bahu Abi perlahan, wajahnya tenang. "Tidak apa-apa, Bi. Kalaupun sampai besok Sarah tidak memberi jawaban, lusa kita tetap tahlilan dan pesanan katering tetap bisa bermanfaat, kan? Biar saja pasangan tenda dan dekor tetap dipasang. Kasihan para pekerjanya, kita tetap bayar mereka."
Abi menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Ia menatap Oji, mata yang mulai lembap menunjukkan rasa kagum dan kepercayaan. "Makasih ya, Ji. Jadi menantuku atau tidak, kamu itu seperti anak laki-laki yang tidak pernah Abi miliki," katanya lirih, nada suaranya lembut tapi penuh rasa tulus.
Oji tersenyum tipis, menahan emosi dan dendam yang masih bergejolak dalam hatinya. Ia tahu hari-hari ke depan akan penuh tantangan, tapi untuk saat ini, menjadi penopang Abi di tengah kesedihan adalah perannya.
Abi kembali menatap pintu kamar Sarah, berharap gadis itu bisa menemukan ketenangan dan jawaban di hatinya sendiri. Di luar, para tetangga mulai menyiapkan perlengkapan tahlilan. Suasana rumah meski masih diselimuti duka, terasa hangat karena adanya rasa kekeluargaan, kepercayaan, dan perlahan harapan yang terjaga di tengah kekacauan.
Oji menepuk meja di sampingnya, memusatkan perhatian pada rencana praktis besok. Dalam diam, hatinya tetap bergejolak, tapi wajahnya tetap tenang, memancarkan aura pengendalian diri yang membuat Abi merasa aman. Ruang tamu yang remang-remang malam itu terasa damai sejenak, meski bayang-bayang duka dan keputusan besar masih menunggu di depan.
—
Dalam hening malam, Sarah duduk bersimpuh di sudut kamar, tas laundry masih berada di sampingnya. Matanya sembab, bahunya tergetar pelan. Suasana sunyi hanya ditemani suara kipas angin yang berputar pelan dan detak jam dinding yang menandai waktu berjalan tanpa ampun.
Dalam istikharahnya, ia menangis tersedu-sedu, menumpahkan seluruh perasaannya yang campur aduk. "Tuhan, ini kedua kalinya aku istikharah. Haruskah aku terima lamaran Bang Oji? Di satu sisi aku merasa bersalah pada Kak Nadia karena mengambil sesuatu yang bukan milikku, tapi di sisi lain hatiku memang menginginkan Bang Oji. Bahkan jika Kak Nadia masih hidup, mungkin aku tetap ingin suami seperti Bang Oji."
Air mata menetes di pipinya, membasahi jilbab panjang yang menutupi bahunya. Sarah menundukkan kepala, menekan telapak tangannya ke wajahnya seolah ingin menahan dunia yang tiba-tiba terasa begitu berat. Hatinya berkecamuk antara rasa bersalah, kerinduan, dan keinginan yang tak bisa ia ucapkan dengan kata-kata.
Malam itu, kamar yang remang-remang menjadi saksi pergulatan batin Sarah, antara tanggung jawab, kesetiaan pada kenangan, dan suara hatinya yang merindukan cinta sejati. Ia berdoa, memohon petunjuk, berharap Tuhan memberikan jawaban yang dapat menenangkan jiwanya yang sedang gelisah.
—
H-1, malam sebelum tahlilan besar. Sarah tertidur di atas sajadah, masih lelah setelah istikharah panjang yang membuat hatinya bercampur aduk. Lampu kamar remang, hanya cahaya dari lampu kecil di sudut yang menembus tirai, menciptakan bayangan panjang di lantai.
Tiba-tiba, ia terbangun. Suasana kamar terasa aneh, dingin dan sunyi. Di atas ranjang, ia melihat sosok yang tak asing lagi, Nadia. Mata Sarah membesar, jantungnya berdegup kencang, tapi suara gadis itu tetap lantang.
"Kak, aku pinjam baju dong!" serunya, suaranya terguncang tapi tegas.
Nadia menoleh, wajahnya tenang meski tersenyum samar. "Tapi bajuku kotor, Sar."
"Tidak apa-apa," jawab Sarah, ragu tapi terdorong oleh perasaan ingin dekat dengan sosok kakaknya itu.
Nadia membuka laci, mengeluarkan baju dengan lembut. "Nih! Buat kamu aja. Jaga baik-baik ya!"
Sarah menatap baju itu sejenak, lalu mengangkatnya ke tubuhnya. Seketika, tubuhnya terasa panas, dan ia menoleh ke cermin di kamar, bajunya sudah berganti menjadi kebaya pengantin, tetapi noda merah pekat menempel di kain itu. Ia menatapnya lebih dekat. Itu bukan eyeshadow seperti yang biasa menempel di kain kebaya sehari-hari… ini lebih mirip darah.
Tubuh Sarah gemetar, napasnya terengah, dan ia menjerit ketakutan.
Umi masuk terburu-buru, mengguncang tubuhnya dengan panik. "Sar! Bangun! Istighfar!"
Sarah terbangun dengan gemetaran hebat. Ia memegangi kebaya yang masih tergeletak di sampingnya. Hatinya bergejolak, suara Nadia di mimpinya masih terngiang. "Buat kamu aja. Jaga baik-baik. Tapi baju itu ada noda darah… Apa maksudnya? Apa aku harus terima Bang Oji?" gumamnya dalam hati, panik dan bingung.
Umi menatap Sarah dengan lembut, masih menahan kekhawatiran. "Kamu mimpi apa, Sar?" tanyanya, suaranya menenangkan.
Sarah menundukkan kepala, napasnya masih tersengal. Tangannya memegang kain kebaya seolah ingin memastikan itu nyata, tapi ia sadar, semua baru mimpi. Namun rasa takut dan kebingungan itu tetap membekas, seakan pesan dalam mimpi itu menempel di hatinya, menuntut jawaban atas keputusan besar yang harus ia ambil.
Di luar, angin malam berdesir lembut, menyentuh tirai, menambah kesan sunyi dan misterius. Sarah masih duduk di atas sajadah, tubuhnya gemetar, tapi matanya mulai bersinar dengan tekad yang perlahan terbentuk, meski mimpinya menakutkan, hatinya harus menemukan jalan sendiri.
"Umi… aku mimpi… Kak Nadia kasih kebaya pengantinnya ke aku…" suaranya pelan, nyaris berbisik, tapi penuh makna.
Belum selesai kalimatnya, Umi menyambut dengan wajah berseri-seri, matanya berkaca-kaca karena bahagia. "Alhamdulillah… itu pertanda baik. Artinya kakakmu merestui pernikahan kalian. Umi bilang ke Abi ya!" Suara Umi hangat, penuh keyakinan, seakan menyalurkan doa dan harapan yang selama ini tertahan.
Sarah menelan ludah, bibirnya gemetar, masih ragu untuk melanjutkan. "Umi…" katanya lagi, suara lebih pelan kali ini, menahan getaran hatinya. Sejak Nadia meninggal beberapa hari yang lalu, baru kali ini dia melihat Umi tersenyum begitu bahagia, tersenyum dengan tulus tanpa beban duka yang biasanya menghiasi wajah ibunya.