WebNovels

Chapter 3 - Pertemuan dan Keraguan

Wanita itu menatap Hiro yang masih melamun, duduk seolah tak sadar berada di dunia nyata. Meskipun agak risih dengan pandangan Hiro yang terpaku, dia tetap tersenyum lembut. Senyumnya hangat, menenangkan, namun membuat jantung Hiro berdetak lebih cepat dari biasanya.

Hiro, kaku dan canggung, membalas dengan senyuman setengah dipaksakan. Tubuhnya seperti menahan gelombang gugup yang datang sekaligus. Tanpa banyak bicara, ia berbalik dan berjalan cepat ke rumahnya, langkahnya tergesa-gesa, tapi pikirannya masih berputar-putar pada wanita itu.

Begitu memasuki rumah, dada Hiro masih berdebar kencang. Ia menatap barang belanjaannya, tali yang baru dibeli, dan mulai merasa ragu. Apakah yang baru saja ia lihat benar-benar nyata, atau hanya imajinasi yang lahir dari obsesinya selama sebulan terakhir?

Hiro duduk di meja, membuka ponsel, dan menatap layar dengan tangan gemetar. Ia membuka aplikasi Wassup dan mengetik:

“Hei… aku melihat perempuan itu lagi. Menurutmu, apakah dia nyata??”

Beberapa detik kemudian, balasan muncul.

“Mungkin dia seorang malaikat yang datang menemuimu, bro 😎”

Hiro menatap pesan itu, bibirnya menegang. Meskipun temannya jelas sedang bercanda, Hiro menanggapinya dengan serius. Dalam pikirannya, kata-kata itu terasa masuk akal, dan rasa bingung bercampur dengan rasa penasaran yang intens.

Hiro menghela napas, menatap jendela yang menghadap jalanan sepi. Bayangan wanita itu masih terngiang, senyumnya yang sama, mata biru yang seakan menembus pikirannya. Dunia nyata dan dunia mimpinya mulai terasa kabur, dan Hiro menyadari satu hal: ia belum pernah merasa begitu… terguncang oleh seorang manusia.

Ia menatap tali di meja, lalu menatap jalan di luar jendela. Entah kenapa, rasa panik yang sempat ia rasakan sebelumnya sedikit mereda, digantikan oleh perasaan ingin mengetahui lebih jauh. Siapa dia sebenarnya? Dan mengapa muncul di dunia nyata, saat Hiro merasa paling rapuh?

Hiro menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tidak ingin ambil pusing—sebelum tidur, matanya melirik ke kamar yang berantakan. Buku berserakan, baju menumpuk, snack berserakan di lantai… semuanya seperti biasanya.

Ia menutup mata, berharap tidur akan membawanya menjauh dari kepanikan tadi.

Namun ketika ia terbangun, sesuatu membuatnya terpaku. Tubuhnya terasa kaku, seakan tidak bisa bergerak. Matanya bergerak sendiri, menatap sosok yang… di kamar itu. Wanita yang sama dari mimpinya berdiri di tengah ruangan, tersenyum, mulai membereskan setiap benda yang berserakan.

“Rumahmu harus rapi dong… agar aku tidak jijik melihatnya,” ucapnya lembut. Suaranya tenang, tapi setiap kata seolah menembus kepala Hiro, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Hiro menatapnya dengan campuran kagum dan tidak percaya. Suaranya tercekat, hampir berbisik:

“K…kamu… kok ada di sini?”

Wanita itu hanya tersenyum lagi, lalu berkata pelan:

“Suutt… diam.”

Ketika Hiro akhirnya bisa bangun, ia menatap sekeliling. Ruangannya… bersih, rapi, setiap benda berada di tempatnya. Tak ada noda, tak ada tumpukan buku, tak ada snack berserakan. Semua terlihat sempurna, seperti baru dibeli.

Hiro memicingkan mata, tidak percaya. Ia mencoba menggerakkan tangannya, menyentuh meja… semuanya nyata, dingin, dan keras. Namun sesuatu dalam hatinya berbisik: “Ini… mimpi atau nyata? Atau aku mulai kehilangan akal?”

Tubuhnya gemetar, kepala pusing, tapi satu hal jelas: dunia yang selama ini ia kendalikan melalui tidur dan mimpi kini… masuk ke dalam kehidupannya nyata.

Hiro menatap kamarnya yang kini bersih rapi, matanya membulat. Ia tidak percaya—dan sekaligus heran. Bagaimana wanita itu bisa masuk ke rumahnya?

“Siapa dia… dan bagaimana dia masuk?” gumamnya, perasaan senang, panik, dan heran bercampur menjadi satu. Dadanya berdebar kencang, napasnya terengah-engah.

Tubuhnya terasa nyeri dari ujung kaki hingga kepala. Ia menunduk, mengusap lengannya, dan bergumam pelan, “Aduh… badanku kok sakit banget… mungkin karena nggak pernah olahraga ya…”

Tapi rasa penasaran jauh lebih kuat daripada rasa sakit itu. Hiro menatap jendela yang terbuka, udara malam masuk menyapu wajahnya, dan ide mulai muncul di kepalanya.

“Aku… aku ingin melihatnya lagi,” bisiknya, hampir tak terdengar. Matanya menyorot ke jalanan di luar jendela, membayangkan wanita itu berdiri di sana, tersenyum, memainkan biolanya. Ada dorongan aneh dalam dirinya—campuran ingin tahu, takut, tapi juga… rindu.

Hiro menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya sudah melayang jauh. Rasa penasaran itu terlalu kuat, mendorongnya untuk mencari wanita itu lagi, meski dunia nyata terasa menakutkan dan kacau.

Dia menatap keluar, tubuhnya masih lelah, tapi mata itu penuh tekad: malam ini, ia harus melihatnya lagi.

Hiro berjalan-jalan dengan langkah pelan, dada berdebar kencang, seakan seluruh dunia sedang memperhatikannya. Kaki dan tubuhnya terasa berat, sisa kelelahan dari malam sebelumnya masih membekas. Ia akhirnya menemukan sebuah taman yang sepi, duduk di bangku kayu sambil menundukkan kepala.

“Ini… sangat melelahkan,” gumamnya, suara hampir tenggelam di udara sore. Ia menatap pepohonan dan jalan setapak yang sepi, tapi pikirannya tetap melayang pada wanita itu. Sudah beberapa jam ia berkeliling, tapi keberaniannya untuk mendekati tetap tak muncul.

Dan kemudian—tanpa diduga—wanita itu muncul juga. Dia berdiri beberapa meter di depan Hiro, memegang biolanya, rambut panjangnya jatuh rapi, dan senyum tipisnya masih ada di wajahnya.

Keduanya menatap satu sama lain, kaku, canggung. Tidak ada yang bergerak lebih dulu, hanya ada perasaan aneh di udara: penasaran, gugup, dan sedikit ketakutan. Hiro merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, keringat dingin mulai muncul di pelipisnya.

Ia ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata tersangkut di tenggorokannya. Wanita itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum lembut, seakan mencoba memberi Hiro keberanian. Namun, senyum itu justru membuatnya semakin bingung dan canggung.

Hiro menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya kacau: “Apa aku harus mendekatinya? Atau ini terlalu berisiko? Bagaimana kalau aku salah menafsirkan semuanya?”

Di taman sepi itu, waktu terasa melambat. Hanya ada Hiro, wanita itu, dan ketegangan halus yang memenuhi udara—membuat detak jantung Hiro semakin terdengar di telinganya sendiri.

Hiro tidak ingin membuang kesempatan. Ia berdiri pelan, menahan degup jantung yang terasa terlalu cepat.

“Ha… halo,” ucapnya gugup, hampir seperti bisikan.

Wanita itu menoleh, senyum lembut di wajahnya tetap sama seperti waktu itu.

“Halo,” balasnya pelan. Suaranya lembut—jenis suara yang membuat siapa pun ingin terus mendengarnya.

Hiro membuka mulut, tapi kata-kata seolah tersangkut di tenggorokannya.

“Kamu… yang kemarin main alat musik itu ya?”

Wanita itu tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil.

“Oh, iya.”

“A-aku suka permainan biolamu, hehe,” kata Hiro, nada suaranya kikuk namun tulus.

“Terima kasih,” jawab wanita itu, matanya sedikit menyipit karena senyum. “Kamu juga suka lihat taman ini, ya? Tempatnya sepi dan tenang.”

Hiro ikut tersenyum, kali ini sedikit lebih rileks.

“Hehe, iya… oh ya, namaku Hiro. Salam kenal.”

“Namaku Alice. Salam kenal juga, Hiro.”

“Oh ya, kenapa kemarin kamu cuma diam dan langsung kabur pas lihat aku?”

Alice menatap Hiro sambil sedikit memiringkan kepala. “Itu bikin aku takut, loh.”

Hiro menelan ludah, matanya beralih ke tanah. Ia tahu kalau salah bicara, suasana bisa berubah canggung lagi.

“E-emm… aku sebenarnya pengen duet,” katanya pelan. “T-tapi waktu itu aku takut buat ngomong…”

Alice menaikkan alis, ekspresinya berganti dari bingung jadi penasaran.

“Ohhh, jadi kamu mau duet, tohh? Bilang aja,” ucapnya dengan nada santai, tapi matanya masih sedikit curiga. “Emang alat apa yang kamu mainin?”

“G-gitar,” jawab Hiro cepat. Ia tersenyum canggung, mencoba terdengar percaya diri. “Aku suka lagu-lagu dengan gaya nada yang slow… makanya aku pengen ngajak kamu duet.”

Alice menatapnya sejenak, lalu tertawa kecil. “Hahaha… kamu lucu juga ya. Aku kira kamu mau kabur karena takut sama aku.”

“Kapan kita coba duetnya?”

Alice bertanya dengan mata berbinar, nada suaranya ringan tapi jelas terdengar antusias.

Hiro sedikit terkejut, tidak menyangka ajakannya benar-benar diterima.

“Gimana kalau minggu depan aja? Soalnya minggu ini aku agak sibuk,” jawabnya sambil menggaruk kepala.

Baru setelah bicara, ia teringat—terakhir kali ia memegang gitar adalah waktu SMP.

“Yahh… oke deh,” gumamnya dengan senyum kikuk.

Alice mengangguk. “Oke, kita ketemu di taman ini lagi minggu depan, ya.”

“Siap! Biar enak, nanti kita ngobrol soal lagu yang mau dibawain,” kata Hiro dengan semangat.

Namun, Alice tiba-tiba menggeleng cepat. “Enggak deh.”

Ekspresi Hiro langsung berubah, wajahnya memerah dan pandangannya turun ke tanah. “Oh… oke,” ujarnya pelan, suaranya nyaris tenggelam.

Alice tertawa kecil, menutup mulut dengan tangan. “Cuma bercanda, ini.”

Ia mengeluarkan ponselnya dan menyodorkan selembar kertas kecil bertuliskan nomor telepon.

“Nih. Kamu lucu banget waktu aku nolak, tahu nggak?”

Hiro tersipu, tidak tahu harus membalas apa. “Hehe… iya, makasih ya.”

Setelah berpamitan, mereka berjalan ke arah berlawanan.

Dalam perjalanan pulang, hati Hiro terasa ringan—seolah setiap langkahnya diselimuti bunga.

Untuk pertama kalinya sejak lama, dunia luar terasa sedikit lebih cerah.

More Chapters