WebNovels

Chapter 1 - Retak di Antara Kita

Janji di Bawah Pohon Mangga

Namaku Naya.Kalau kamu pernah punya satu orang yang tahu semua tentangmu—dari warna pulpen favorit sampai alasan kenapa kamu takut gelap—maka seperti itulah Alia bagiku. Kami bertemu pertama kali saat kelas dua SD, karena berebut tempat duduk dekat jendela. Aku ingin cahaya matahari untuk menggambar; Alia ingin angin sore yang menyingkap poni barunya. Kami berdebat tiga menit, lalu tertawa sepuluh menit, dan sejak itu duduk berdampingan selama bertahun-tahun.

Di halaman sekolah kami ada pohon mangga tua. Batangnya berlekuk dan akarnya muncul seperti ular kayu, jadi anak-anak biasa menjadikannya panggung dadakan. Setelah bel pulang, kami sering duduk di situ. Aku menggambar dengan pensil 2B, Alia bercerita apa saja dengan suara yang selalu dramatis.

"Aku yakin nanti kita sukses bareng," kata Alia suatu sore, ketika langit berganti jingga. "Kamu jadi desainer terkenal, bikin poster konser, billboard—semuanya. Aku? Aku… entahlah, mungkin tampil di panggung besar."

"Panggung apa?" tanyaku, menggambar siluet pohon dan dua anak perempuan di bawahnya.

"Panggung yang lampunya banyak. Pokoknya semua orang lihat," jawabnya sambil mengangkat kedua tangan.

Aku menimbang sebentar. "Kalau gitu, aku yang bikin semua visualnya. Kamu yang jadi bintang."

Alia mengulurkan kelingking. "Deal. Janji nggak ninggalin satu sama lain."

Kelingkingku menyambut kelingkingnya. "Deal."

Janji itu kami ulang berkali-kali, sampai terasa seperti mantra. Sejak itu, setiap ujian, setiap lomba mading, setiap kali salah satu dari kami kena masalah, janji itu selalu muncul—seperti payung yang tak pernah jauh dari tangan.

Di kelas lima, kami ikut lomba poster antar-sekolah. Temanya "Masa Depan Impian." Aku menggambar kota dengan gedung-gedung kaca, jembatan yang melengkung seperti pita, dan langit dipenuhi layang-layang. Di salah satu gedung, entah kenapa, aku menulis sebuah nama besar yang kulihat di televisi saat menonton bareng ayah: Duniabet—bukan karena aku tahu itu apa, cuma karena huruf-hurufnya cantik kalau ditata berdampingan.

Alia menunjuk tulisan itu. "Keliatan keren. Kedengeran kayak… tempat besar."

"Kayak perusahaan yang punya lampu-lampu terang," kataku, tak terlalu paham. Kami tertawa karena itu kedengaran begitu konyol. Siapa sangka bertahun-tahun kemudian, nama itu akan kembali dalam hidupku, tidak lagi sebagai kata yang kupilih karena bentuk hurufnya.

Poster kami tidak juara. Tapi guru seni memuji komposisi warnanya, dan aku pulang dengan perasaan hangat di dada—semacam kepercayaan kecil bahwa kelak, aku akan membuat gambar-gambar yang menempel di dinding kota, dilihat banyak orang.

Saat SMP, peran kami semakin jelas. Aku tetap si penggambar yang suka menatap detail—tekstur daun, retak-retak di tembok, bayangan di bawah bangku. Alia tumbuh jadi pusat panggung di mana pun ia berdiri. Ia punya cara bicara yang membuat orang memerhati, bahkan ketika ia sekadar menceritakan kejadian biasa. Guru-guru suka memintanya menjadi MC acara sekolah. Teman-teman suka menitipkan rahasia padanya—anehnya, tak pernah bocor.

Waktu itu aku mulai paham: Alia ingin terlihat, aku ingin membuat sesuatu yang terlihat. Beda tipis, tapi bedalah.

"Kalau kita nanti di kota," katanya suatu malam, saat kami berjalan kaki pulang melewati deretan warung yang menutup rolling door, "kamu bakal tinggal di mana?"

"Di mana aja yang murah," kataku. "Yang penting dekat kampus. Kamu?"

"Aku pengen apartemen yang ada jendelanya besar. Biar kalau malam, aku bisa lihat lampu-lampu kota. Kayak panggung yang kebalik."

"Kenapa kebalik?"

"Soalnya kali ini aku yang nonton," jawabnya, tersenyum.

SMA membawa versi baru dari kami. Rambut Alia lebih panjang, langkahnya lebih percaya diri. Ia memimpin ekstrakurikuler teater, tampil di akhir tahun dengan gaun merah yang ia jahit sendiri; aku menggambar poster promonya dengan font tulis tangan yang kubikin sampai jam dua pagi. Di panggung, Alia memelukku setelah tirai turun.

"Tanpa postermu, penonton nggak akan sebanyak ini," katanya.

"Tanpa aktingmu, poster itu nggak ada apa-apanya," balasku.

Itu momen yang paling kusukai: ketika kami tidak saling bersaing, hanya saling melengkapi. Dunia rasanya sederhana—sebuah panggung dan sebuah kanvas—dan kami berdiri berdampingan di tengahnya.

Namun, bahkan saat semuanya terlihat harmonis, retakan kecil kadang muncul tanpa suara. Misalnya ketika ada lomba desain nasional untuk pelajar. Guruku menyuruhku ikut, dan aku bersemangat setengah mati. Tapi di hari pengumuman, aku hanya masuk finalis harapan. Aku tersenyum, bilang tak apa. Malamnya, saat kami nongkrong di teras rumahku, Alia bercerita panjang tentang audisi iklan lokal yang akan ia datangi.

"Kamu harus lihat gerakan tangan yang diajarin tadi, Nay! Terus aku disuruh tatap kamera kayak gini." Ia memiringkan wajah, menatap lurus ke depan dengan tatapan yang bisa menembus.

Aku tertawa, ikut bahagia—atau kucoba, setidaknya. Ada rasa perih yang tidak bisa kutunjukkan: perasaan terseok yang kupendam rapi di dalam dada. Bukan iri, lebih seperti… takut kehilangan panggung kecilku di sisinya. Takut suatu hari orang hanya melihat Alia, dan poster-poster yang kubuat tak lagi penting.

"Kalau kamu kepilih, cerita ya," kataku.

"Tentu!" Ia memelukku. "Kamu selalu penonton pertama dan terakhirku."

Kata-kata itu manis, tapi di benakku muncul pertanyaan yang tak berani kuutarakan: kalau aku gagal, apakah aku tetap penonton terakhir? Atau kursiku pelan-pelan digeser orang lain?

Ujian nasional lewat. Kami diterima di universitas berbeda, namun masih satu kota. Aku mendaftar jurusan desain komunikasi visual; Alia mengambil ilmu komunikasi. Hari aku berangkat, Alia datang ke rumahku membawa scrapbook kecil: halaman-halaman berisi foto kami sejak SD, tiket nonton pentas teater, bukti pembayaran ikut lomba mading, bahkan kertas ujian IPA-ku yang penuh coretan.

Di halaman terakhir, ada tempelan kertas berwarna dengan kalimat yang dibuat dari huruf-huruf majalah bekas: "Apapun yang terjadi, jangan ninggalin satu sama lain."Aku tertawa membaca kalimat itu—seperti anak kecil lagi. Kami menyentuhkan kelingking, untuk entah keberapa kalinya.

"Di kota besar, orangnya banyak," kata Alia, matanya berkilat, separuh bersemangat, separuh cemas. "Jangan sampai kita hilang."

"Kalau hilang, kita balik ke pohon mangga."

Ia mengangguk. "Janji."

Kota besar ternyata tidak sabar menunggu. Begitu sampai, semuanya bergerak lebih cepat: bus yang tidak mau berhenti lama, lampu lalu lintas yang berganti sebelum sempat berkedip, notifikasi grup kelas yang tidak ada habisnya. Di kos yang sempit, aku menunggu video call dari Alia sambil menata peralatan gambar: pensil, spidol, tablet.

Teleponnya masuk menjelang tengah malam.

"Maaf baru bisa nelpon!" Alia terdengar kepayahan tapi juga berbunga-bunga. "Tadi ada pertemuan komunitas broadcasting. Kayaknya aku cocok di sini. Orang-orangnya… wow."

"Seru?"

"Banget. Kamu gimana, Nay?"

Aku bercerita tentang tugas perkenalan di kampus: diminta membuat poster imajinatif tentang diri sendiri. "Aku kepikiran bikin siluetku dari potongan kertas struk belanja. Soalnya aku suka nyimpen hal-hal kecil."

"Cocok banget!" Alia tertawa. "Itu kamu sekali."

Kemudian, seperti biasa, ia menutup percakapan dengan, "Kita ketemu weekend. Aku tahu kafe kecil yang kopinya enak banget."

Weekend itu kami bertemu di kafe yang tidak terlalu ramai. Dindingnya penuh poster gigs lokal, sebagian besar desainnya biasa saja. Aku menatap satu poster lama yang warnanya sudah pudar—judulnya setengah hilang tapi masih terbaca: "Lampu Kota." Gambar lampu-lampu jalan membentuk huruf-huruf neon, dan entah kenapa, aku teringat pada poster "Masa Depan Impian" yang kubuat dulu. Pada gedung kaca dengan nama yang kupilih karena lucu: Duniabet. Aku tersenyum sendiri, memikirkan betapa jauh perjalanan dari coretan 2B ke kota dengan lampu tak pernah tidur.

"Kamu senyum-senyum," kata Alia sambil menyeruput kopi.

"Keinget masa kecil," jawabku.

"Kalau gitu, ayo bikin janji versi dewasa."

Aku mengangkat alis. "Versi dewasa?"

"Yang lebih jelas." Alia mencondongkan tubuh ke meja, wajahnya serius. "Tujuan. Target. Kamu pengen apa dalam setahun ini?"

Pertanyaan sederhana itu seperti lampu yang dinyalakan tiba-tiba. Aku berpikir sejenak. "Aku pengen portofolio yang cukup bagus buat magang di perusahaan besar. Biar bisa belajar yang nyata."

"Perusahaan apa?"

"Apa aja yang punya tim desain proper." Lidahku hampir menyebut sebuah nama, tapi kutahan. Konyol rasanya menyebut nama yang dulu kupilih karena hurufnya cantik.

"Bagus." Alia mengangguk. "Aku pengen jadi host acara kampus. Dari situ, kalau bisa—kalau bisa, ya—masuk TV lokal. Atau jadi pengisi acara gede. Pokoknya tampil."

Kami saling menatap. Untuk pertama kalinya, janji kami bukan sekadar mantra masa kecil. Ini peta.

"Kita bantu satu sama lain," kataku. "Kalau kamu butuh poster, aku yang bikin. Kalau aku butuh orang yang test presentasi, kamu yang dengar."

"Dan kalau nanti kita mulai sibuk…," Alia tersenyum tipis, "kita tetap nggak saling ninggalin."

"Kelingking?" tawarku.

Ia tersenyum lebih lebar. "Kelingking."

Kami mengikat janji itu di atas meja kafe, dikelilingi bau kopi dan denting sendok. Aku tidak tahu apakah ada yang berubah di detik itu; yang kutahu, malam terasa lebih tajam, seperti seseorang baru saja mengasah ujungnya.

Dalam perjalanan pulang, aku menerima email dari dosen pembimbing: ada info lowongan magang terbatas untuk mahasiswa semester awal—di sebuah perusahaan hiburan yang sedang tumbuh cepat, butuh tangan-tangan desain muda untuk kampanye digital. Namanya membuatku berhenti di pinggir trotoar, menatap layar lebih lama dari seharusnya.

Duniabet.

Aku menghela napas, lalu tertawa kecil. Dunia memang suka bercanda. Dari semua kemungkinan, mengapa harus nama yang dulu kutulis asal di gedung imajinerku? Jari-jariku bergetar sedikit ketika menekan tombol Reply. Aku belum tahu apakah mereka akan membalas. Aku juga belum tahu bahwa email itu, pelan-pelan, akan menggeser posisi kursi di panggung kami—sampai suatu hari, salah satu dari kami berdiri di tengah cahaya, sementara yang lain belajar menatap bayangan sendiri.

Malam itu aku menulis di buku catatan: "Biar bagaimanapun hasilnya, jangan lupa pohon mangga."Lalu kututup buku, mematikan lampu kos, dan untuk pertama kalinya sejak datang ke kota, aku tertidur dengan perasaan yang hampir sama seperti saat kecil: ada sesuatu yang menunggu di depan. Sesuatu yang terang—dan mungkin, juga rapuh.

Dunia Baru Bernama Duniabet

Pagi itu udara Jakarta masih lengket oleh sisa hujan semalam. Aku berdiri di depan gedung tinggi berlapis kaca, menatap tulisan besar di atas lobi: DUNIABET. Huruf-hurufnya berkilau terkena sinar matahari, persis seperti yang dulu kutulis asal di poster masa kecilku. Bedanya, kali ini bukan imajinasi. Ini nyata.

Tanganku sedikit berkeringat saat menempelkan kartu visitor di dada. Aku diterima sebagai salah satu mahasiswa magang di divisi desain kreatif. Rasanya campur aduk—antara bangga, gugup, dan takut salah langkah.

Lobi gedung itu sibuk. Orang-orang berjas formal berjalan cepat sambil membawa laptop, suara sepatu hak tinggi memantul di lantai marmer, dan aroma kopi dari kafe kecil di sudut ruangan menambah suasana ramai. Aku menarik napas panjang. Naya, ini langkah pertama. Jangan mundur.

"Maaf, kamu Naya, kan?" Suara pria terdengar dari samping.

Aku menoleh. Seorang pemuda berdiri dengan senyum ramah, mengenakan kemeja putih dan celana bahan abu-abu. "Aku Raka. Sama-sama magang di sini. Divisi kreatif juga."

Aku mengangguk cepat, sedikit lega karena ternyata tidak sendirian. "Iya, aku Naya."

Kami naik lift bersama, berbincang ringan soal kampus masing-masing. Raka kuliah di universitas swasta terkenal, jurusan desain grafis. Gaya bicaranya santai, tapi matanya fokus—seperti orang yang tahu persis apa yang ia mau.

Sesampainya di lantai divisi kreatif, kami disambut oleh supervisor bernama Mas Reza. Orangnya tegas tapi tidak kaku. "Kalian di sini bukan hanya buat belajar, tapi juga buat kontribusi. Duniabet percaya ide segar bisa datang dari mana saja, termasuk dari mahasiswa magang. Jadi jangan takut kasih masukan."

Kata-kata itu membuat dadaku sedikit hangat. Aku merasa dihargai.

Hari pertama diisi dengan orientasi dan pengenalan proyek. Kami diminta membantu kampanye digital baru untuk event besar Duniabet bulan depan. Ada rapat kecil di ruang meeting. Layar proyektor menampilkan slide penuh warna, tema besarnya: "Shine Your Game, Shine Your Life."

Supervisor membagi tugas: ada tim visual, tim konten, dan tim sosial media. Aku dan Raka ditempatkan di tim visual. Tugasku: membuat draft poster untuk promosi online.

Saat semua orang sibuk mencatat, aku sempat melirik ke luar jendela ruang meeting. Dari lantai 12, kota terlihat seperti lautan beton yang tak ada habisnya. Lampu-lampu lalu lintas berkedip, kendaraan padat merayap, dan gedung-gedung lain berdiri seakan bersaing siapa yang lebih tinggi. Entah kenapa, aku merasa kecil… tapi sekaligus tertantang.

Sore menjelang, pekerjaan masih menumpuk. Aku duduk di depan komputer, merancang layout poster. Raka menghampiri, membawa dua gelas kopi kaleng. "Kayaknya kita bakal lembur. Kamu lebih suka font serif atau sans serif buat tagline?"

Aku tertawa kecil. "Kalau tagline-nya mau nyolok, pakai sans serif. Biar tegas."

Dia mengangguk. "Keren, aku setuju."

Obrolan ringan itu membuatku sedikit lupa pada rasa gugup. Raka punya cara membuat orang lain nyaman, meski baru pertama kenal.

Malamnya, aku pulang ke kos dengan tubuh lelah tapi hati penuh semangat. Kupandangi lagi gedung Duniabet dari jauh, lampunya menyala terang seolah menantangku untuk kembali besok.

Sebelum tidur, aku membuka ponsel. Ada pesan masuk dari Alia:

Alia: "Nay! Kamu nggak akan percaya. Aku kepilih jadi MC untuk acara besar di kampus! Rasanya kayak mimpi!"

Aku tersenyum, ikut bahagia. Lalu jemariku menulis balasan:

Aku: "Selamat ya, Li. Aku juga punya kabar. Aku mulai magang di Duniabet hari ini."

Balasan dari Alia datang cepat.

Alia: "Serius? Wah, gila! Kamu dulu kan pernah gambar gedung itu di lomba poster kita! Kayaknya emang takdir, deh. Kita beneran lagi naik bareng-bareng!"

Aku menatap layar ponsel lama sekali sebelum menaruhnya di meja. Kata "takdir" itu menempel di kepalaku. Benarkah ini awal dari takdir kami? Atau… awal dari sesuatu yang lain?

Aku belum tahu. Yang jelas, hari itu aku tidur dengan senyum kecil, meski di baliknya ada rasa cemas yang samar.

Popularitas Alia

Sejak awal masuk kuliah, aku sudah tahu Alia akan jadi pusat perhatian. Wajahnya cantik, senyumnya menular, dan caranya berbicara selalu penuh percaya diri. Tapi tetap saja, aku tidak pernah siap melihat betapa cepatnya ia melesat.

Dalam waktu singkat, namanya sering muncul di poster acara kampus: "MC Festival Seni", "Host Seminar Nasional", "Moderator Debat Publik". Setiap kali aku membuka Instagram, ada saja unggahan tentangnya. Foto Alia di atas panggung dengan gaun sederhana, caption penuh pujian dari teman-temannya.

"Alia itu bener-bener paket lengkap," kata salah satu teman sekelasku di kantin kampus. "Cantik, pintar ngomong, terus gampang akrab sama siapa aja."

Aku hanya tersenyum tipis, pura-pura sibuk mengaduk es teh.

Hubungan kami masih baik, tapi aku mulai merasa jarak itu nyata. Kalau dulu kami bisa ngobrol berjam-jam tanpa henti, sekarang sering kali pesanku dibalas singkat. Kalau dulu ia selalu minta pendapatku sebelum tampil, sekarang ia sudah punya "tim kecil" yang mengatur semua.

Suatu sore, aku memutuskan mampir ke kampus Alia setelah pulang magang di Duniabet. Di lapangan terbuka sedang ada acara musik. Lampu sorot menari di udara, speaker memekakkan telinga, dan ratusan mahasiswa bersorak. Di tengah panggung, berdiri Alia dengan gaun biru tua yang berkilau, mikrofon di tangan.

"Selamat malam, semuanya!" suaranya meluncur lantang, penuh energi. Sorakan semakin riuh.

Aku berdiri di antara kerumunan, menatapnya. Bukan lagi Alia yang duduk di bawah pohon mangga, bercanda dengan poni berantakan. Di panggung itu, ia terlihat seperti bintang. Dan untuk sesaat, aku merasa… asing.

Setelah acara selesai, aku menunggunya di belakang panggung. Ia terkejut melihatku. "Nay! Kamu datang?"

Aku mengangguk. "Aku habis dari kantor, sekalian mampir."

Alia memelukku cepat, tapi segera sibuk menyapa panitia lain. Ia tertawa keras, menerima ucapan selamat, berfoto dengan beberapa mahasiswa. Aku berdiri di samping, seperti bayangan yang tak terlihat.

Akhirnya kami duduk sebentar di bangku taman dekat panggung. "Gimana? Keren, kan?" katanya dengan mata berbinar.

"Kamu luar biasa, Li," jawabku jujur.

"Terima kasih." Ia menyender, napasnya masih terengah. "Aku mulai terbiasa berdiri di depan banyak orang. Rasanya… nagih. Mereka semua lihat aku, dengar aku. Itu—itu bikin aku hidup."

Aku terdiam. Ada rasa bangga, tapi juga sedikit perih. Aku ingin ikut bersinar, tapi jalanku berbeda. Di Duniabet, aku masih magang, masih belajar dari nol. Namaku belum tertulis di mana pun.

Seolah membaca pikiranku, Alia menatapku serius. "Eh, tapi kamu juga hebat. Magang di Duniabet itu nggak gampang. Kamu pasti akan besar nanti, Nay. Kita berdua akan besar."

Aku tersenyum. Kata-katanya manis, tapi di dalam hati muncul bisikan lain: Apakah kita benar-benar akan besar bersama? Atau salah satu dari kita akan tertinggal?

Beberapa hari kemudian, aku menerima undangan acara internal dari kantor. Divisi kreatif akan mempresentasikan ide kampanye terbaru, dan semua magang diwajibkan hadir. Aku sempat ragu mengajak Alia datang, tapi akhirnya kukirim pesan:

"Li, minggu depan ada event di Duniabet. Kalau kamu sempat, main ya. Biar aku kenalin sama teman-teman."

Balasannya cepat:

"Serius?! Wah, aku harus datang! Siapa tau aku bisa kenal orang-orang penting juga. Thank you, Nay!"

Aku membaca ulang pesannya. Ada semacam rasa aneh yang sulit kudiagnosis. Senang, tapi juga waswas. Seperti ada sesuatu yang akan berubah begitu Alia menginjakkan kaki di dunia baruku. Dunia yang tadinya hanya milikku, kini akan terbuka untuknya juga.

Dan aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu.

Pertemuan Tak Terduga

Hari presentasi kampanye akhirnya tiba. Suasana kantor Duniabet lebih sibuk dari biasanya. Di ruang auditorium kecil, layar besar menampilkan judul acara: "Creative Sparks Day". Semua tim kreatif hadir, dari supervisor hingga anak magang.

Aku duduk di kursi barisan tengah, mencoba menenangkan diri. Raka di sampingku terlihat santai sambil memainkan pulpen. "Santai aja, Nay. Ide kita keren kok. Kalau pun ada yang kurang, paling diminta revisi."

Aku mengangguk, meski tangan masih berkeringat.

Setelah beberapa tim presentasi, giliran kelompokku. Aku maju bersama Raka. Slide demi slide berganti: konsep warna, tagline, sampai mock-up poster digital. Aku yang menjelaskan visual, sementara Raka memaparkan strategi distribusi.

Begitu presentasi selesai, terdengar tepuk tangan. Mas Reza, supervisor kami, memberi komentar positif. "Bagus, ide kalian segar. Eksekusi perlu diperkuat, tapi arahannya sudah tepat."

Aku menunduk, lega. Rasanya seperti beban besar terangkat.

Selesai acara, tamu-tamu dari luar juga ikut meramaikan suasana. Beberapa mahasiswa diundang untuk mengenal dunia industri kreatif. Di antara mereka, aku melihat sosok yang sangat kukenal—berdiri dengan percaya diri di dekat pintu, mengenakan dress putih sederhana.

Alia.

Aku langsung berdiri, melambaikan tangan. "Li!"

Ia menoleh, tersenyum lebar, lalu berjalan menghampiri. "Nay! Gila, tempat ini keren banget. Kamu beneran magang di sini? Aku kagum!"

Aku tertawa kecil, memeluknya. "Ya, beginilah. Nggak seglamor kelihatannya, kok."

Saat itulah Raka muncul, membawa dua gelas minuman kaleng. Ia terhenti ketika melihat Alia. "Eh, kenalan baru?"

Aku buru-buru memperkenalkan. "Raka, ini Alia—sahabatku sejak kecil. Li, ini Raka, teman magangku di tim kreatif."

Mereka berjabat tangan. Tatapan Alia berkilat sesaat, seolah menemukan sesuatu yang menarik. "Senang kenal kamu, Raka. Presentasimu tadi keren banget. Kamu kelihatan… natural banget pas ngomong."

Raka tertawa singkat. "Ah, masa sih? Padahal aku deg-degan juga."

Aku ikut tersenyum, tapi ada sedikit rasa aneh di dada. Cara Alia menatap Raka terlalu intens, terlalu… berbeda. Aku sudah cukup kenal ekspresinya untuk tahu kapan dia sekadar ramah, dan kapan ada ketertarikan lain.

Kami bertiga akhirnya duduk di sudut ruangan, ngobrol ringan. Raka banyak bercerita tentang hobinya membuat ilustrasi digital, sementara Alia mendengarkan dengan penuh perhatian. Sesekali ia tertawa renyah, menyela dengan komentar yang membuat Raka semakin bersemangat.

Aku hanya sesekali ikut menimpali. Entah kenapa, aku merasa seperti penonton. Dunia yang tadinya milikku—kantor, teman magang, proyek—tiba-tiba jadi panggung bagi Alia.

Sebelum pulang, Alia berbisik padaku, "Nay, temenmu itu… asik banget, ya."

Aku mencoba tersenyum, meski hati terasa tercekat. "Iya, dia baik."

"Baik dan… menarik," tambahnya, sambil melirik sekilas ke arah Raka yang masih sibuk membereskan laptop.

Aku tak menjawab. Hanya diam, menatap bayangan kami di kaca lobi gedung Duniabet. Bayangan tiga orang: aku, sahabatku, dan seseorang yang mungkin akan mengubah segalanya.

Rahasia Kecil

Aku tidak pernah pandai mengungkapkan perasaan. Bahkan sejak SMP, ketika teman-temanku saling curhat tentang siapa yang mereka suka, aku hanya tersenyum dan pura-pura sibuk menggambar. Bagiku, mengagumi seseorang cukup diam-diam saja, tanpa harus diumbar.

Dan itulah yang kulakukan terhadap Raka.

Sejak pertama kali bekerja sama dengannya di Duniabet, aku tahu ada sesuatu yang berbeda. Caranya mendengar, caranya membuatku nyaman, bahkan caranya tersenyum sambil mengacak rambutnya sendiri ketika bingung—semua itu perlahan menumbuhkan sesuatu di dalam dadaku.

Tapi aku memilih menyimpannya.Karena aku tahu, magang ini hanya sementara. Karena aku takut merusak persahabatan. Dan karena aku pikir, Raka terlalu jauh untuk kugapai.

Namun sejak Alia datang ke acara itu, segalanya berubah.

***

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Alia mengirim pesan panjang.

Alia: "Nay, temenmu Raka itu seru banget! Kemarin aku follow IG-nya, dan ternyata dia jago banget gambar digital. Keren gila. Kita ngobrol sampai malam soal desain dan film. Asik banget."

Aku terdiam membaca pesan itu. Tanganku ingin mengetik sesuatu, tapi bingung apa. Akhirnya hanya kukirim emotikon senyum.

Di kantor, Raka juga sering menyebut nama Alia. "Temenmu itu energinya luar biasa, ya. Dia bisa bikin obrolan jadi hidup. Aku biasanya pendiam, tapi kalau sama dia… entah kenapa nyambung."

Aku tertawa kecil, pura-pura tidak apa-apa. Padahal di dalam hati, ada rasa sakit yang sulit dijelaskan.

***

Suatu malam, aku dan Alia bertemu di kafe dekat kampus—tempat favorit kami sejak dulu. Alia datang terlambat, wajahnya berbinar seakan membawa berita besar.

"Nay, kamu nggak akan percaya!" katanya sambil menaruh tas. "Raka ngajak aku nonton pameran seni minggu depan. Katanya dia suka banget sama konsep instalasi yang dipamerin."

Aku menunduk, menusuk kue cokelat di piringku dengan garpu. "Oh ya?"

"Iya! Aku kaget dia ngajak, tapi ya… aku kan suka seni juga, meski nggak sejago kamu. Menurutmu gimana?"

Aku mengangkat wajah, mencoba tersenyum. "Ya… bagus kalau kamu senang."

"Senang banget! Aku ngerasa cocok aja sama dia. Dia beda, Nay. Nggak kayak cowok-cowok lain yang cuma lihat penampilan."

Aku tidak sanggup menatap matanya terlalu lama. Yang bisa kulakukan hanya mengaduk minuman tanpa alasan, berusaha menyembunyikan gemuruh di dadaku.

***

Malam itu, aku pulang dengan langkah berat.Di kamar kos yang sempit, aku membuka sketchbook. Halaman kosong menatap balik kepadaku. Tanganku gemetar, tapi akhirnya mulai menggambar.

Aku menggambar tiga siluet: dua di antaranya berdiri berdekatan, satu lagi berdiri agak jauh.Di bawahnya, aku menulis kecil: "Rahasia kecil yang hanya aku tahu."

Rahasia bahwa aku menyukai Raka.Rahasia bahwa aku terlalu pengecut untuk mengatakannya.Dan rahasia bahwa sahabatku sendiri tanpa sadar sedang merebutnya dariku.

Retakan Pertama

Sabtu sore, aku baru saja menyelesaikan revisi desain poster untuk event internal Duniabet. Mataku lelah, tapi hatiku sedikit ringan karena akhirnya hasilnya disetujui Mas Reza. Kupikir akhir pekan ini aku bisa istirahat.

Namun, notifikasi ponsel membuatku terhenti.

Alia: "Nay! Aku lagi di kafe sama Raka. Kamu nggak mau nyusul? Seru banget ngobrolnya!"

Aku menatap layar lama sekali. Ada rasa asing menyelinap—campuran kaget, kecewa, dan… tertusuk. Aku tidak tahu mereka sudah sedekat itu sampai nongkrong berdua tanpa mengajakku.

Kupaksa jari-jariku mengetik balasan singkat.

Aku: "Aku capek banget, Li. Besok aja kita ketemu."

Tak lama, ada balasan.

Alia: "Oke, sayang. Jangan lupa jaga kesehatan yaa ❤️"

Aku meletakkan ponsel, menarik napas panjang. "Jangan lebay, Naya," gumamku sendiri. "Mereka cuma nongkrong. Temenan. Biasa aja."

Tapi malam itu, aku tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan Alia dan Raka duduk berdua, tertawa tanpa aku di sana, terus berputar di kepalaku.

***

Senin pagi, aku sengaja datang lebih awal ke kantor. Kupikir suasana sepi akan menenangkan. Namun, begitu masuk pantry, aku mendengar suara yang familiar.

"Jadi… kamu sama Alia sering ngobrol, ya?" Suara itu milik Dina, salah satu karyawan tetap yang ramah.

Raka tertawa kecil. "Iya, kebetulan nyambung aja. Dia orangnya seru banget."

Aku berhenti di depan pintu pantry, tidak jadi masuk. Dadaku berdegup kencang. Aku tahu aku tidak berhak marah—Raka bukan siapa-siapaku, dan Alia sahabatku. Tapi rasanya tetap… sakit.

Aku kembali ke meja kerja, menyalakan komputer, berusaha mengalihkan pikiran ke desain. Namun mataku tak fokus. Garis-garis di layar terlihat kabur, seperti retakan halus yang pelan-pelan menyebar.

***

Sore harinya, aku akhirnya memberanikan diri menegur Alia. Kami bertemu di halte bus, sama-sama pulang kuliah.

"Li," kataku pelan. "Kamu sering banget ya ketemu Raka akhir-akhir ini?"

Alia menoleh, wajahnya polos. "Iya. Kenapa?"

Aku menggigit bibir, mencoba memilih kata. "Nggak apa-apa. Cuma… agak kaget aja. Soalnya aku nggak pernah tahu sebelumnya."

Ia tersenyum, seolah tidak peka pada kegelisahanku. "Nay, jangan kaku gitu. Aku kan cuma ngobrol sama dia. Lagian, kamu harusnya senang dong. Temanmu ternyata asik!"

Aku terdiam. Ada banyak kalimat yang ingin keluar—tentang perasaanku, tentang takut kehilangan, tentang janji masa kecil kami. Tapi yang keluar hanya satu kalimat pendek:

"Iya, aku senang."

Alia menautkan tanganku ke lengannya, seperti dulu saat kami pulang sekolah bareng. "Kamu jangan aneh-aneh, ya. Kita tetap sahabatan selamanya, kok."

Aku tersenyum hambar. Dari luar, kami terlihat seperti sahabat yang tak tergoyahkan. Tapi di dalam hatiku, aku tahu ada retakan pertama yang sudah muncul. Retakan kecil yang, kalau dibiarkan, bisa menghancurkan segalanya.

Persahabatan atau Cinta

Hari-hari berikutnya terasa berbeda.Aku masih bekerja di Duniabet, masih bertemu Raka setiap hari, masih mengirim pesan dengan Alia. Tapi di antara semua rutinitas itu, ada sesuatu yang terus mengganggu: rasa takut.

Takut kehilangan Raka sebelum sempat benar-benar mengenalnya.Takut kehilangan Alia—sahabat yang seharusnya selalu ada di sisiku.

***

Sore itu, aku dan Raka duduk di ruang desain. Deadline semakin dekat, jadi kami harus lembur. Raka sibuk mengatur warna di layar, sementara aku mengoreksi detail pada ilustrasi.

"Eh, besok kamu ikut Alia ke kampus?" tanyanya tiba-tiba.

Aku menoleh cepat. "Ikut? Maksudnya?"

"Katanya dia jadi host di acara seminar nasional. Dia undang aku buat nonton. Katanya seru kalau ada yang nemenin."

Aku terdiam. Jantungku berdebar. Jadi, Alia bukan cuma ngajak ngobrol Raka… tapi sudah mulai mengajaknya masuk ke dunianya.

"Kamu ikut?" tanyaku akhirnya.

Raka tersenyum. "Kayaknya iya. Dia bilang bakal ngenalin aku ke beberapa temannya. Mungkin bisa nambah relasi juga."

Aku memaksa tersenyum. "Oh… bagus."

Dalam hati, aku ingin sekali berkata: Kenapa bukan aku yang kamu ajak? Kenapa bukan aku yang ada di sisimu?Tapi lidahku kelu.

***

Malamnya, aku bertemu Alia di kosnya. Kami duduk di lantai, dikelilingi tumpukan kertas skrip MC. Ia tampak bersemangat, wajahnya bercahaya.

"Nay, aku deg-degan banget. Besok itu kesempatan besar. Kalau aku tampil bagus, aku bisa dilirik stasiun TV. Doain aku, ya."

Aku tersenyum tipis. "Pasti. Kamu pasti bisa."

Ia menatapku lama. "Kamu nggak keberatan kan kalau aku ngajak Raka? Aku ngerasa nyaman kalau ada dia."

Pertanyaan itu seperti pisau. Aku ingin jujur—ingin bilang bahwa aku keberatan, bahwa aku juga menyukai Raka, bahwa aku takut kehilangan dua orang terpentingku sekaligus. Tapi begitu melihat mata Alia yang penuh harapan, suaraku hilang.

"Enggak, Li. Selama kamu senang…"

Alia langsung memelukku erat. "Aku sayang banget sama kamu, Nay. Kamu sahabat terbaikku."

Aku membalas pelukannya, tapi mataku basah. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa berpura-pura.

***

Keesokan harinya, aku melihat foto-foto di Instagram.Alia berdiri di atas panggung, cantik dengan blazer putih. Di barisan depan, ada Raka—tertawa lebar, memotret penampilannya.

Aku menatap layar lama sekali. Lalu meletakkan ponsel, menutup wajah dengan kedua tangan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa benar-benar terjebak:Jika aku jujur pada hatiku, aku mungkin kehilangan sahabatku.Jika aku memilih mempertahankan persahabatan, aku harus merelakan seseorang yang diam-diam kucintai.

Pertanyaannya hanya satu: mana yang lebih sanggup kulihat hancur—persahabatan, atau cintaku sendiri?

Dan aku belum punya jawabannya

Pengkhianatan yang Terungkap

Hari itu kantor Duniabet merayakan ulang tahun ke-12.Acara diadakan besar-besaran di ballroom sebuah hotel mewah di Jakarta. Semua karyawan, termasuk anak magang, diwajibkan hadir. Ada panggung dengan layar LED raksasa, musik live, dan dekorasi lampu yang membuat ruangan berkilau.

Aku datang mengenakan dress hitam sederhana. Rasanya gugup sekaligus bangga—ini pertama kalinya aku menghadiri acara sebesar ini sebagai bagian dari Duniabet.

Di tengah keramaian, aku mencari wajah yang familiar. Dan di sanalah aku melihatnya.

Alia.Ia berdiri di dekat panggung, bercakap dengan beberapa karyawan tetap. Dress merah anggun melekat di tubuhnya, wajahnya bercahaya di bawah sorot lampu. Aku terkejut—aku tidak tahu dia juga diundang.

Lalu mataku menangkap sesuatu yang lain.Raka.Ia berdiri di samping Alia, tertawa pada sesuatu yang ia katakan. Dan saat musik berganti ke lagu pelan, Raka menawarinya tangan. Dengan mudah, Alia menerimanya. Mereka berjalan ke lantai dansa, ikut berdansa di antara pasangan lain.

Aku terpaku.Dunia di sekitarku seakan membisu. Musik hanya jadi dengung samar. Yang kulihat hanyalah dua orang terdekatku—sahabatku, dan seseorang yang kusukai—berdansa seakan dunia hanya milik mereka.

Tanganku gemetar, gelas jus hampir tumpah. Aku melangkah mundur, mencari udara segar, keluar dari ballroom. Di koridor hotel yang sepi, aku bersandar pada dinding, menarik napas dengan dada sesak.

Jadi ini rasanya. Rahasiaku bukan lagi rahasia. Yang kuinginkan sudah berpindah tangan, bahkan sebelum sempat kuucapkan.

Aku mengusap mata, berharap air mata berhenti. Tapi saat aku hendak kembali masuk, suara mereka terdengar dari arah pintu balkon.

"Alia, aku nggak nyangka kamu bisa seramah ini sama aku," suara Raka.

"Tentu, kenapa nggak? Kamu orangnya tulus. Aku nyaman sama kamu." Suara Alia lembut, penuh ketulusan.

Aku mengintip sedikit. Mereka berdiri dekat sekali, terlalu dekat. Raka menunduk, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Alia.

Jantungku serasa berhenti.Dan saat bibir mereka hampir bersentuhan, aku tak sanggup lagi melihat. Aku berbalik, melangkah cepat meninggalkan tempat itu.

Di luar hotel, hujan rintik turun. Aku berdiri di bawah payung seadanya, menatap lampu kota Jakarta yang berkilau samar. Di kepalaku, janji masa kecil di bawah pohon mangga terulang lagi: "Kita nggak akan ninggalin satu sama lain."

Ironis. Karena malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar ditinggalkan.

Pertarungan Emosi

Sejak malam itu di acara Duniabet, aku berusaha menjaga jarak. Aku masih datang ke kantor, masih menyelesaikan desain, masih bercanda seperlunya dengan Raka. Tapi setiap kali Alia mengirim pesan, aku hanya membalas seperlunya.

Aku pikir aku bisa menyembunyikan perasaanku.Ternyata aku salah.

***

Hari Minggu sore, Alia tiba-tiba datang ke kosku tanpa kabar. Ia mengetuk pintu keras-keras sambil berseru, "Nay, buka pintunya!"

Aku membuka dengan malas. "Ada apa, Li?"

Ia masuk tanpa izin, duduk di kursi, wajahnya penuh emosi. "Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh? Pesanku singkat, ajakan ketemu kamu tolak. Kamu marah sama aku?"

Aku menelan ludah. "Aku nggak marah."

"Kalau nggak marah, kenapa menjauh?" Suaranya meninggi. "Kamu kan biasanya cerita apa aja ke aku. Sekarang malah kayak orang asing."

Aku terdiam. Semua kata yang kupendam selama ini ingin keluar. Rasa sakit melihat mereka berdua, rasa kecewa karena Alia tidak peka, rasa takut kehilangan.

Akhirnya aku berkata, pelan tapi tegas, "Aku lihat kamu sama Raka waktu acara itu, Li."

Alia terdiam.

Aku melanjutkan, suaraku bergetar. "Kamu tahu aku suka dia. Kamu tahu sejak awal aku nyaman sama dia. Tapi kenapa kamu…"Kalimatku terputus. Air mataku jatuh.

Alia menghela napas panjang, lalu tertawa miris. "Jadi ini masalahnya. Naya, kamu nggak pernah bilang ke aku kalau kamu suka Raka. Gimana aku bisa tahu?"

Aku menatapnya, tersengal. "Kamu sahabatku. Harusnya kamu peka. Harusnya kamu ngerti perasaan aku."

Wajah Alia menegang. "Dan kamu juga harusnya ngerti, Nay. Aku nggak mau terus-terusan hidup di bawah bayanganmu."

Kata-katanya menghantam dadaku.

"Apa maksudmu?" tanyaku, hampir berbisik.

"Sejak dulu orang-orang selalu bilang kamu berbakat, kamu pintar gambar, kamu kreatif. Aku? Aku cuma 'Alia yang cantik dan cerewet'. Kamu selalu punya sesuatu yang bikin orang kagum. Jadi kalau kali ini ada sesuatu—atau seseorang—yang bikin aku bahagia, aku nggak akan mundur. Sekalipun itu bikin kamu sakit."

Hening panjang mengisi kamar. Suara hujan di luar seperti gemuruh yang mengiringi pecahnya hati.

Aku berdiri, menatapnya dengan mata sembab. "Kalau gitu, mungkin kita harus berhenti dulu, Li. Aku nggak bisa pura-pura baik-baik aja."

Alia menggigit bibir, tapi tidak berkata apa-apa. Ia mengambil tasnya, melangkah pergi. Pintu tertutup keras di belakangnya.

Aku terduduk di lantai, tubuh gemetar.Itulah pertama kalinya kami benar-benar bertengkar hebat.Pertarungan emosi yang membuatku sadar: retakan kecil itu kini sudah menjadi jurang.

Luka yang Dalam

Sejak pertengkaran itu, aku dan Alia tidak lagi seperti dulu. Pesan singkatnya jarang kubalas, teleponnya lebih sering kuabaikan. Rasanya seperti ada tembok tinggi di antara kami—tembok yang kubangun sendiri demi melindungi hatiku.

Di kantor, aku berusaha mengalihkan semua rasa sakit itu dengan kerja. Duniabet sedang menyiapkan kampanye besar, dan aku dipercaya Mas Reza untuk menjadi salah satu desainer utama. Tugas itu berat, tapi juga kesempatan emas.

"Ini ide bagus, Nay," kata Mas Reza suatu siang, menatap konsep desain yang kubuat. "Kamu punya sentuhan yang berbeda. Kalau ini berhasil, aku bisa rekomendasikan kamu untuk posisi tetap setelah magang selesai."

Dadaku menghangat mendengar itu. Inilah saatnya. Inilah panggungku.

Tapi rasa bangga itu hanya bertahan sampai aku membuka Instagram malam harinya.Ada foto terbaru: Alia dan Raka, duduk berdua di sebuah kafe, wajah mereka penuh tawa. Caption-nya sederhana: "Good talk, good vibes."

Hatiku kembali hancur.Bagiku, Raka adalah rahasia kecil yang kujaga. Tapi bagi Alia, ia hanyalah bagian dari dunia yang bisa ia ambil kapan saja.

***

Malam itu, aku memutuskan menulis di buku harian. Tulisan tanganku bergetar:

"Aku lelah, Li. Lelah jadi orang yang selalu mengalah. Lelah berpura-pura tidak peduli. Kalau ini yang kamu sebut persahabatan, kenapa rasanya seperti pengkhianatan?"

Air mataku menodai halaman.

***

Hari berikutnya di kantor, aku mempresentasikan draft desain di depan tim. Raka duduk di seberang meja, matanya fokus ke layar, sesekali mengangguk.

"Bagus banget, Nay," katanya setelah aku selesai. "Kamu berbakat banget. Aku kagum sama detail yang kamu pikirin."

Kata-katanya membuatku tersenyum samar. Tapi senyum itu cepat memudar ketika ia menambahkan, "Aku cerita ke Alia soal ini, dan dia juga bilang idemu keren. Katanya kamu memang selalu punya daya tarik sendiri."

Alia lagi.Selalu Alia.

Aku hanya bisa mengangguk, pura-pura tidak terganggu. Tapi di dalam hati, luka itu semakin dalam.

***

Malamnya, aku menerima pesan dari Alia.

Alia: "Nay, aku tau kamu masih marah. Tapi aku cuma mau bilang… aku beneran serius sama Raka. Aku nggak bisa mundur kali ini."

Aku menatap layar lama sekali. Lalu mengetik balasan pendek:

Aku: "Kalau itu bikin kamu bahagia, ambil aja. Aku nggak akan ganggu."

Setelah mengirim pesan itu, aku menutup ponsel dengan tangan gemetar. Air mata mengalir tanpa bisa kutahan. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa kehilangan dua hal sekaligus: sahabat yang kucintai seperti keluarga, dan cinta yang bahkan belum sempat kuucapkan.

Dan malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri:Jika aku harus memilih antara menyelamatkan persahabatan atau menyelamatkan diriku sendiri—aku akan memilih diriku. 

Cahaya Baru

Hari-hari berikutnya aku memutuskan untuk menutup telinga dari semua kabar tentang Alia dan Raka. Aku hanya fokus pada satu hal: pekerjaanku di Duniabet.

Proyek besar kampanye digital itu akhirnya masuk tahap akhir. Timku bekerja siang malam, revisi tak terhitung, desain berlapis-lapis. Aku bahkan rela tidur di kantor, hanya untuk memastikan semua detail sempurna.

Suatu sore, Mas Reza memanggilku ke ruangannya. "Naya, duduk."

Aku duduk dengan hati berdebar.Di mejanya ada cetakan desain terakhir yang kubuat—poster utama kampanye "Shine Your Game, Shine Your Life."

"Aku udah lihat semua karya tim, dan jujur… desainmu yang paling menonjol. Manajemen setuju untuk menjadikan desain ini sebagai wajah utama kampanye kita."

Aku terperangah. "S-serius, Mas?"

Mas Reza mengangguk. "Kamu berbakat, Nay. Kalau kamu mau, setelah magang selesai, aku bisa rekomendasikan kamu untuk posisi junior designer di sini."

Dunia seakan berhenti berputar. Aku menutup mulut dengan tangan, menahan air mata. Selama ini aku merasa tertinggal, tersisih, bahkan ditinggalkan. Tapi kali ini… ada cahaya baru yang menyinariku.

***

Hari peluncuran kampanye, seluruh tim berkumpul di auditorium. Layarnya menampilkan desainku: warna-warna cerah, tipografi berani, visual yang memancarkan semangat. Tepuk tangan bergema di ruangan.

Aku berdiri di antara mereka, jantung berdegup keras, tapi kali ini bukan karena takut. Ini rasa bangga.

Di tengah euforia itu, aku menoleh ke pintu auditorium—dan mataku bertemu dengan seseorang.

Alia.Ia datang, entah diundang siapa. Wajahnya cantik seperti biasa, tapi tatapannya berbeda. Ada sesuatu di matanya—sedikit keruh, sedikit kosong.

Setelah acara selesai, ia menghampiriku. "Nay… desainmu luar biasa. Aku bangga sama kamu."

Aku mengangguk singkat. "Terima kasih."

Hening sejenak. Lalu ia berbisik, suaranya hampir patah. "Raka… dia nggak datang hari ini. Aku nggak tau kenapa, tapi… kayaknya dia mulai menjauh."

Aku menatapnya, ingin merasakan puas, ingin berkata bahwa itu pantas ia terima. Tapi entah kenapa, yang kurasakan hanya lelah.

"Li," kataku akhirnya, pelan. "Mungkin kali ini kita harus jalan di jalannya masing-masing dulu. Kamu dengan pilihanmu, aku dengan pilihanku. Kalau memang masih ada ruang buat kita nanti, mungkin kita bisa kembali."

Alia terdiam. Air matanya jatuh, cepat-cepat ia hapus. "Aku ngerti."

Ia berbalik pergi, meninggalkanku berdiri sendirian.Dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sendirian. Karena di balik luka yang masih ada, aku tahu: aku punya cahaya baru yang harus kuikuti.

Cahaya itu bernama mimpiku sendiri.

Retak yang Menguatkan

Beberapa minggu setelah peluncuran kampanye Duniabet, hidupku perlahan menemukan ritme baru.Namaku mulai dikenal di kantor, beberapa senior bahkan meminta bantuanku untuk proyek mereka. Aku tidak lagi sekadar anak magang yang duduk di pojok ruangan. Aku mulai punya suara.

Setiap kali menatap hasil kerjaku terpampang di layar besar, aku merasa… utuh. Luka yang dulu menganga perlahan tertutup oleh keyakinan bahwa aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri.

***

Suatu sore, aku sedang merapikan file ketika Raka menghampiriku."Nay, selamat ya. Desainmu benar-benar bikin semua orang kagum. Aku bangga bisa kerja bareng kamu."

Aku tersenyum. "Terima kasih, Rak."

Ia ragu sejenak, lalu berkata pelan, "Aku… aku tahu hubunganmu dengan Alia lagi renggang. Aku nggak mau jadi alasan kalian berantem. Jujur, aku sempat dekat sama dia, tapi… sepertinya aku salah langkah. Aku lebih menghargai persahabatan kalian daripada apa pun."

Aku menatapnya, perasaan campur aduk. Ada kelegaan, ada sisa sakit, ada harapan samar. Tapi aku sadar: perasaan padanya bukan lagi pusat hidupku. Ada hal yang lebih penting—diriku sendiri.

"Aku menghargai itu, Raka," jawabku tenang. "Tapi untuk sekarang, aku cuma mau fokus sama mimpiku dulu."

Ia mengangguk, dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar bebas.

***

Malam itu, aku menerima pesan singkat dari Alia.

Alia: "Nay, aku nggak tau kita bisa balik kayak dulu atau nggak. Tapi aku ingin kamu tau, aku menyesal. Aku terlalu egois. Aku kehilangan kamu, dan aku nggak tau gimana cara memperbaikinya."

Aku membaca pesan itu berulang kali. Hatiku masih sakit, tapi di balik sakit itu ada sisa sayang yang tak pernah hilang.

Lalu kubalas pelan:

Aku: "Aku juga nggak tau, Li. Tapi mungkin waktu yang bisa jawab. Untuk sekarang, aku cuma berharap kita sama-sama bahagia, meski nggak lagi di jalan yang sama."

***

Aku menutup ponsel, lalu menatap langit malam dari jendela kos. Lampu-lampu kota berkilau, sama seperti dulu yang kami impikan di bawah pohon mangga. Bedanya, kali ini aku berdiri sendirian—bukan sebagai bayangan siapa pun, tapi sebagai diriku sendiri.

Retakan itu memang menyakitkan. Tapi justru dari retakan itulah aku belajar: ada kalanya kita harus kehilangan untuk menemukan diri kita yang sebenarnya.

Dan meski aku tidak tahu apakah persahabatan kami bisa pulih suatu hari nanti, aku yakin satu hal—retakan ini tidak melemahkanku. Ia justru membuatku lebih kuat.

TAMAT

More Chapters