WebNovels

Chapter 2 - Panggil Aku Kirin!

Bangkok pagi itu hangat dan lengket seperti nasi pulen yang terlalu lama di kukusan. Di sebuah kedai kopi kecil yang menyatu dengan laundromat — kombinasi bisnis yang hanya masuk akal bagi pemiliknya dan mungkin iblis keuangan — Ornchanok Sangkrajang sedang menyusun strategi perang, setidaknya begitulah baginya.

Pakaiannya hari ini sederhana dengan jaket denim oversized, topi baseball tulisan "GHOSTING IS A WAR CRIME", ditambah sentuhan akhir kacamata hitam besar seperti nyamuk kelas sultan. Di mejanya telah tersaji satu es kopi latte tanpa gula, sepotong toast isi telur asin, dan sembilan screenshot wajah Janya dari berbagai sudut video viral yang ia kumpulkan berhari-hari setelah bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.

"Dari CCTV kedaj mie, dia keluar ke arah barat. Tapi nggak pake kendaraan, kemungkinan jalan kaki. Di area ini ada 17 gang sempit, enam apartemen, dan … satu toko senjata ilegal," gumamnya pelan, berbicara pada dirinya sendiri seperti FBI lokal yang over-caffeinated.

Tangannya membuka Google Maps, lalu TikTok, berlanjut membuka Twitter, hingga CCTV online dari sebuah minimarket yang tak sengaja merekam bayangan Janya, lalu yang terakhir ia buka adalah kanal Telegram konspirasi yang ia ikuti sejak SMA.

Di sana, seseorang mengunggah rekaman berbeda dari sudut lain, Kirin meninju preman dengan sudut slow motion, lengkap dengan efek suara menawan yang sedikit dramatis, seakan-akan pertarungan itu adalah simfoni patahan tulang.

"Gerakannya cepat, langkahnya juga konsisten, kaya ular — wait, ular kan ga punya kaki. — Mantan militer, maybe? Ada bekas luka di bahu. Kemungkinan kena serpihan dari efek ledakan, atau ... mantan pacarnya tukang lempar piring?"

Orn mencatat semuanya di tabnya, dibarengi mengunyah makanan, sejujurnya ia bukan orang bodoh. Hanya terlalu sedikit terlalu energik untuk kehidupannya yang datar-datar saja.

Tangannya bergerak cepat mencatat segala informasi berkaitan dengan Janya. Di mata sebagian orang, Orn memang seperti pencari sensasi. Tapi kali ini — dia benar-benar ingin tahu siapa perempuan itu. Bukan untuk bahan konten semata, tapi lebih penasaran akan ekspresi Janya yang membuatnya seolah terjebak dalam labirin dengan nuansa cerah; unicorn, permen kapas, pelangi, dinding kue dan air terjun susu.

Satu hal yang Orn tahu pasti, ia harus bertemu Janya Sutthipong atau yang sekarang lebih dikenal media "si penghancur kaki" lagi.

"Aku tahu aura-aura wajah itu. Itu bukan wajah orang yang cuma kuat. Itu ... lebih dari sekedar tampan, cantik, sekaligus hotties," gumamnya, lebih lembut kali ini.

Kemudian bunyi bel pintu kedai berdentang.

Orn tidak menoleh dulu. Tapi pelan-pelan, matanya mengarah ke pantulan kaca kulkas minuman.

Janya Sutthipong — berdiri di depan pintu memindai area sekitarnya, pakaian sederhana dengan celana training dan tanktop hitam. Masih sama dengan tatapan khasnya seperti baru ditinggal Tuhan.

Orn refleks menunduk, memasang senyum seperti anak kecil yang pura-pura tidur saat dimarahi.

Janya memesan kopi hitam tanpa gula, tanpa es, tanpa senyum juga — wajahnya selalu datar, mungkin saja otot wajahnya sudah kaku.

Setelah memesan, Janya berjalan dan duduk di pojok ruangan dekat dengan jendela sekaligus tempat dengan visi yang sempurna. Ia membuka buku catatan kecil dari kulit yang sudah mengelupas. Tangannya menari dengan cepat sekaligus anggun.

Orn melirik, menyembunyikan wajahnya dengan tab, lalu membuka kamera ponsel. Dia tidak berniat merekam, hanya sekedar mengintip, sedikit.

Sudut layar menangkap tulisan tangan Janya,

"Step by step untuk lolos dari kekacauan:

– Periksa gang sempit belakang.

– Ganti SIM sebelum sore.

– Singkirkan penguntit bodoh bertopi "ghosting".

Orn tersentak. "Hah?!"

Ia mengintip lagi, lebih hati-hati kali ini, tulisan berikutnya berbunyi,

– Potensi eliminasi sebesar 5/10.

– Kemungkinan menjadi gangguan permanen jika berlanjut."

"Hah. Gangguan permanen? ... Itu aku, ya?" bisiknya sendiri.

Terlambat hanya untuk sekadar memahami maksud tulisannya, Janya sudah berdiri melangkah ke arah Orn, tatapannya lurus ke arahnya.

Orn mengangkat kedua tangannya seperti tersangka di sinetron sore. "Kopi aku belum habis!! Jangan bunuh aku dulu!!"

"Keluar," kata Janya, tenang.

"Kita bisa ngobrol di sini aja. Tempatnya cozy," Orn mencoba senyum. "Soalnya kamera CCTV-nya bagus banget, jernih model terbaru."

Janya menurunkan nada suaranya. "Aku sudah bilang, jangan cari aku."

Orn melipat tangannya. "Dihh, kepedean banget, dasar si penghancur kaki,"

Janya hanya menghela napasnya sekilas, menatap sekitarnya lagi untuk memastikan sesuatu, lalu menarik kursi di depan Orn. "Katakan, kenapa kau di sini?"

"Eumm, kerjalah, aku bukan pengangguran, ya." kata Orn, nada bercanda.

Tatapan Janya sangat tajam, tatapannya turun ke arah tumpukan lembar wajah dirinya di atas meja. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya, mencondongkan kepalanya. "Kerjaanmu jadi penguntit?"

Sikap Orn berubah seketika itu, menjadi sangat kikuk dan kaku. "Err ... "

"Aku tanya sekali lagi, kenapa kau terus mencariku?" pangkas Janya.

"Takdir yang mempertemukan kita ... maybe,"

"Termasuk empat hari terakhir ini?"

Orn menganggukkan kepalanya, jarinya memainkan ujung bajunya. "Itu juga,"

"Apa tujuanmu sebenarnya?" Janya merebut tab Orn, membaca hal-hal yang Orn tulis sebelumnya.

"Kumohon, nona penghancur kaki yang maha bijaksana nan arif, jangan bunuh aku," pinta Orn.

Janya kembali mengetuk-ngetuk meja, menimbang permintaan Orn, lalu menatap Orn sekali lagi yang kali ini raut wajahnya lebih kaku sekaligus sedikit takut.

Sebelum menjawab Janya menghela napasnya frustasi, "Kirin ... panggil aku Kirin, julukan itu membuatku muak,"

"Aaa, Kirin!! Nona Kirin terimakasih atas kebaikan hatimu," Raut wajah Orn kembali seperti sebelumnya, tangannya menggenggam tangan Janya.

"Aku rasa itu sudah cukup, aku akan bilang lagi, jangan ikuti atau mencariku lagi!" tegas Janya

"Dan aku bilang lagi, kamu itu keren, dan ... aku yakin aku bisa bantu kamu."

"Dengan konten nggak bergunamu?"

"Dengan kepalaku, dan mulutku, dan — eh, bukan dalam arti itu — maksudku ... ideku!"

Janya mendekat. Matanya tak menunjukkan kemarahan, tapi tekanan itu menyesakkan seisi ruangan. "Kau harus ingat, nona ... " Janya melirik sebentar ke arah foto identitas diri Orn di tab, "nona Ornchanok Sangkrajang, walau aku tidak membunuhmu hari ini bukan berarti aku menerimamu, namun karena aku nggak mau disuruh ganti rugi karpet kedai ini, camkan itu!"

Orn meraih gelasnya, meminum kopi dalam satu tegukan. Lalu berkata dengan penuh kegembiraan, "Deal. Tapi setidaknya kasih aku lima menit. Lima menit aja. Kalau aku gagal meyakinkan kamu ... aku bakal ngilang dari hidupmu. Sumpah!"

"Empat."

"Enam."

"Empat, Orn."

Orn tersenyum kecil. "Oke. Empat. Tapi aku akan pakai tiap detiknya."

Mereka duduk berhadap-hadapan. Untuk sesaat, waktu berhenti dengan kontak mata mereka, lalu —

BRAKK!!

Pintu kedai terbuka keras, dua pria berpakaian biasa masuk, salah satunya langsung mengarahkan sesuatu ke arah wajah Janya.

Bukan pistol atau pisau, tapi scanner wajah dari ponsel dengan pelindung metal.

"Target Kirin ditemukan. Konfirmasi visual, memanggil bala bantuan," kata salah satu pria itu.

Janya langsung menyambar mejanya dan melemparnya ke arah pria itu. Kopi dan toast terbang bersamaan.

Orn berteriak, bukan karena takut, melainkan karena toast telur asinnya ikut hancur.

"TOAST GUEEE!!!"

Pria kedua mencoba menarik senjata dari balik jaket — Janya menendang bangku ke arahnya, lalu memukul lehernya dengan siku kanan, hanya sekali pukul ia langsung kehilangan kesadaran.

Gerakan Janya begitu cepat, presisi, seperti mesin terlatih, tangganya begitu lihai sama halnya ketika ia menulis sebelumnya.

Scanner jatuh, namun layar masih menyala, memunculkan tulisan berbunyi,

[Unit 42 – Laporan, Subjek Kirin terdeteksi. Lokasi: Café Mookda, distrik Thonburi.]

Janya menyumpah pelan. "Para bedebah itu, seperti serangga,"

Orn berdiri gemetar, lalu tertawa. "Oke. Aku mau revisi penilaian. Kamu bukan cuma keren, kamu kayak film aksi yang beneran nyata, kayak John Wick sama Rambo, badas! Menyala queen!!"

Janya menatap pria yang mulai tersadar di lantai. Mencabut kartu SIM dari ponsel mereka, lalu menginjak layarnya hingga hancur.

Orn berdiri, tubuhnya gemetar setengah kagum setengah kaget. "Kamu benar-benar ... gila, tapi keren, tapi gila, tapi keren, tapi — "

Janya tidak menjawab, hanya menatap Orn dengan tatapan aneh, ia meraih tas, menarik Orn dengan menarik kerahnya, dan berkata, "Tutup mulutmu atau aku buang ke selokan!"

"Aku boleh bawa kopi?" Orn menunjuk minuman sisa yang sudah bercampur serpihan meja.

Tatapan Janya menjawab semuanya.

Mereka kabur keluar pintu belakang kedai, melintasi dapur dan menabrak satu rak berisi susu kaleng.

Orn berteriak, "Maaf, Kak Baristaaa!"

Suara teriakan di belakang menyusul. Lebih banyak orang. Sepatu berderap cepat. Terdengar motor-motor menyala. Sekilas terdengar seseorang memanggil di radio.

"Target bergerak ke arah timur. Koordinasi perimeter, jangan biarkan dia lepas."

Janya berlari lurus, tubuhnya seperti diprogram untuk memindai rute alternatif sambil berlari. Ia melompat ke dinding, naik ke pagar besi, dan memutar lewat atap toko sembako.

Orn? Jatuh dua kali. Tapi tetap mengikuti Janya dengan susah payah.

"KAMU LATIHAN NINJA WARRIOR SEJAK DARI DALAM RAHIM APA GIMANA?!"

"Turun ke bawah! Lewat gang sempit di kanan! Jangan lawan arah, dongo!" bentak Janya.

Orn berbelok ke kanan. Disambut dua anjing liar yang terus menggonggong padanya.

"AARGH KENAPA SEMUANYA MAU GIGIT GUE?!"

"JANGAN LAWAN ARAH!" bentak Janya lebih keras.

More Chapters