WebNovels

Rahasia yang Tak Diinginkan

Kasiyah
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
68
Views
Synopsis
Aurelia, 18 tahun, tumbuh di keluarga yang tampak utuh—ayah yang penyayang, ibu yang disiplin, dan rumah yang tenang. Tapi semua itu runtuh saat ia menemukan surat tua tersembunyi di lemari ibunya. Sebuah surat yang mengungkap: ayah kandungnya bukan pria yang selama ini membesarkannya. Ia adalah anak dari hubungan gelap. Dan kini, kenyataan itu perlahan menghancurkan segalanya—termasuk siapa dirinya sebenarnya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Rahasia yang Tak Diinginkan

Surat yang Menghancurkan Segalanya

Hujan deras mengetuk kaca jendela malam itu. Petir menyambar langit hitam, seakan ikut bersekongkol menambah rasa takut yang merambati Aurelia. Gadis 18 tahun itu tertegun di depan lemari besar milik ibunya.

Niat awalnya hanya sederhana: mencari charger ponsel. Tapi matanya menangkap amplop kuning kusam yang terselip di antara tumpukan kain batik. Hatinya berdesir tak nyaman. Ia menarik amplop itu keluar.

Tangannya gemetar ketika membuka lipatan kertas di dalamnya. Tulisan tangan yang sudah mulai pudar terbaca jelas:

"Untuk Livia,Kuharap kamu tidak menyesal dengan pilihanmu. Anak kita akan tumbuh tanpa tahu siapa ayah kandungnya. Tapi itu lebih baik daripada melihatnya tumbuh dalam dosa. Aku mencintaimu, tapi aku bukan pria yang bisa kamu miliki."

—A

Aurelia menahan napas. Anak kita? Siapa A?

Ia memandangi tulisan itu dengan dada berdegup. Kepalanya berputar. Anak itu... siapa? Aku?

Dunia seakan berputar pelan. Selama ini ia percaya bahwa keluarganya sempurna. Ayahnya, Pak Haris, adalah pria paling sabar dan penyayang. Lalu... siapa pria bernama A ini?

Aurelia merasa tanah di bawahnya goyah. Apa aku... bukan anak Ayah

Tok! Tok! Tok!Ketukan keras terdengar dari pintu kamar.

Suara ibunya terdengar jelas.

"Aurel? Kamu ngapain di kamar Mama malam-malam?"

Aurelia spontan menyembunyikan surat itu ke balik jaketnya. Ia memejamkan mata, jantungnya berdegup kencang. Jika ibunya tahu ia menemukan surat itu, semuanya akan terbongkar malam ini.

Keesokan paginya, suasana sarapan terasa lebih dingin dari biasanya. Aurelia duduk menatap roti panggang di piring tanpa menyentuhnya. Ayahnya, Hendra, sibuk membaca koran, sementara Livia mengatur tas belanja.

"Aurel, kamu kenapa? Mukamu pucat," tanya Livia.

Aurelia hanya tersenyum hambar. "Enggak, Ma. Cuma capek belajar."

Dalam hati, ia ingin bertanya, "Siapa A itu, Ma? Siapa ayah kandungku?" Tapi ia belum berani.

Malam Hari – Kamar Aurelia

Aurelia membuka kembali surat itu. Matanya menatap tajam ke huruf "A". Mungkin ada petunjuk lain di rumah ini. Ia memutuskan akan mencari lagi di lemari ibunya malam nanti.

Saat ia sibuk memikirkan rencana, ponselnya berbunyi. Pesan dari sahabatnya, Reza:

"Aurel, gue denger kabar nggak enak. Ada cowok paruh baya nyariin nyokap lo di kampus gue. Namanya... Arman. Lo kenal?"

Nama itu membuat Aurelia terlonjak.

"Aurelia segera mengetik balasan"

"Reza, tolong… besok kalau dia datang lagi, kasih tahu gue. Gue harus ketemu dia."

Tapi sebelum pesannya terkirim, pintu kamarnya diketuk keras.

"Aurel! Mama mau bicara!"

Kamar Aurelia – Malam Hari

Tok! Tok! Tok!

"Aurel! Mama mau bicara!"

Aurelia buru-buru menyembunyikan surat dan ponsel ke bawah bantal. Ia menarik napas dalam, lalu membuka pintu.

Livia berdiri di depan pintu dengan ekspresi tegang. Tatapannya tidak seperti biasanya—tak ada kelembutan, hanya ketegangan.

"Kamu masukin tangan ke lemari Mama tadi malam?"

Aurelia membeku. "Cuma nyari charger. Kenapa?"

Livia mengerutkan dahi. "Jangan pernah buka barang pribadi Mama lagi, ya. Apalagi lemari bawah. Itu... bukan untuk kamu."

"Kenapa? Ada rahasia, Ma?"

Livia menatapnya tajam. "Jangan mulai, Aurel."

Ruang Tamu – 10 Menit Kemudian

Livia duduk dengan gelisah di sofa, sementara Aurelia berdiri dengan tangan gemetar.

"Ma... aku cuma mau satu jawaban. Siapa A?"

Livia menoleh cepat. "Apa maksud kamu?"

"Surat itu. Dari seseorang bernama A... yang bilang aku bukan anak Ayah. Itu bohong, kan? Tolong bilang itu bohong…"

Air mata mulai menggenang di mata Aurelia.

Livia bangkit. "Kamu gak seharusnya tahu tentang itu!"

"Kenapa?! Karena itu benar?! Karena aku emang bukan anak Papa?!"

Livia membekap mulutnya. "Aurel... cukup. Jangan buat Papa tahu."

Aurelia mundur dua langkah, seperti tertusuk pisau.

"Jadi benar... semua ini cuma kebohongan besar."

Kamar Tidur – Tengah Malam

Aurelia mengurung diri di kamar, menangis dalam diam. Di tangannya, surat itu terasa lebih panas daripada bara api.

Ponselnya kembali bergetar.

Pesan dari Reza:

"Aurel, cowok itu ke kampus gue lagi. Dia nanya soal kamu."

Aurelia membalas cepat:

"Besok kita ketemu. Bawa gue ke sana."

Ia menghapus air matanya. Jika ibunya tak bisa menjawab, maka ia akan cari sendiri.

Aurelia membuka laci dan mengeluarkan akta kelahirannya. Di bawah nama "Ayah Kandung":Hendra Wijaya

Tapi di bawahnya, dengan tinta samar yang seperti pernah dihapus…ada satu nama yang muncul samar: Arman...

Aurelia menatap akta itu, lalu bergumam:

Mulai sekarang... aku akan cari tahu sendiri siapa aku. Dan kalian... jangan harap bisa menghentikanku

Dia yang Tak Pernah Datang Saat Aku Menangis

Kampus Universitas Trikarsa – Pukul 14.35 WIB

Aurelia berdiri di balik pohon besar dekat gerbang fakultas. Wajahnya disamarkan dengan masker dan hoodie abu-abu. Di sebelahnya, Reza mengintip ke dalam area parkiran dosen.

"Katanya dia sering duduk di warung kopi belakang kampus, nungguin seseorang," bisik Reza.

"Siapa?" tanya Aurel, suaranya gemetar.

Reza menggeleng. "Gak tahu. Tapi setiap minggu, selalu di jam dan tempat yang sama."

Aurelia menarik napas panjang, lalu melangkah keluar dari bayangan pohon.

Warung Kopi Belakang Kampus – Pukul 14.50 WIB

Seorang pria paruh baya duduk sendirian. Rambutnya mulai memutih di sisi pelipis, matanya sayu, mengenakan kemeja cokelat lusuh.

Aurelia berjalan perlahan, langkahnya berat, tapi tak terhentikan.

"Pak... Arman?"

Pria itu menoleh cepat. Matanya langsung berkaca-kaca.

"Aurel?" bisiknya lirih.

Aurelia menelan ludah. "Jadi benar... aku anak Bapak?"

Arman berdiri, ingin menyentuh bahunya, tapi Aurel mundur.

"Kenapa... kenapa selama ini Bapak gak pernah datang? Gak pernah nyari aku?"

Arman menunduk. "Mama kamu... dia yang minta aku pergi. Aku... pengecut. Tapi bukan karena aku gak sayang."

"Sayang?" Aurel tertawa miris. "Bapak tahu berapa kali aku ngerasa kosong saat kecil? Saat Ayah kandungku—yang ternyata bukan Ayahku—gak pernah benar-benar ngerti aku?"

Tiba-Tiba…

Suara sepatu berderap cepat dari arah belakang. Suara wanita.

"AURELIA!"

Aurelia dan Arman menoleh bersamaan.

Livia.

Dengan wajah merah padam, Livia berlari dan tanpa basa-basi…

Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi Arman.

"BERANI-BERANINYA KAMU MUNCUL LAGI!"

Arman tidak melawan. Ia hanya menunduk. "Aku cuma mau lihat anakku sekali…"

"Anakmu? Kau bahkan gak layak menyebut dia begitu!"

Aurelia berdiri di antara mereka, tangannya terangkat menghentikan.

"Cukup! Kalian pikir aku ini apa? Boneka yang bisa kalian sembunyikan dan pertengkarkan seenaknya?!"

Livia menatap Aurel, matanya berkaca. "Mama cuma ingin kamu punya kehidupan normal…"

Aurelia menatap dua orang itu—dua orang dewasa yang menyembunyikan kebenaran terlalu lama.

"Tapi nyatanya... aku tumbuh dalam kebohongan, Ma. Dan mulai hari ini... aku gak akan diam lagi."

Ponsel Aurel bergetar.

Pesan masuk dari nomor tak dikenal:

"Kamu nggak tahu semuanya, Aurel. Arman bukan cuma punya satu anak…"

Aurel menatap layar, jantungnya berdegup kencang.

"Siapa kamu?"

Kebenaran Kedua yang Lebih Menyakitkan

Malam Hari – Kamar Aurel

Aurelia duduk di sudut tempat tidurnya, memeluk lutut, menatap layar ponsel yang belum berpindah dari pesan terakhir:

"Kamu nggak tahu semuanya, Aurel. Arman bukan cuma punya satu anak…"

Tangannya gemetar saat ia mengetik balasan:

"Kamu siapa?"

Balasan muncul hampir seketika.

"Namaku Nadine. Aku adikmu. Dan aku tahu kenapa Papa kamu ditendang dari hidupmu."

Esok Pagi – Kafe Pinggir Jalan

Aurelia duduk berhadapan dengan Nadine, gadis berusia sekitar 16 tahun, berambut pendek dan mengenakan seragam SMA. Wajahnya mirip… terlalu mirip.

"Papa gak pernah cerita banyak tentang kamu," ujar Nadine membuka pembicaraan.

Aurelia diam. Ia masih berusaha memproses semua ini.

"Aku cuma tahu... ada seseorang yang dulu dilahirkan dari kesalahan Papa. Tapi waktu aku tanya, Papa selalu nangis."

Nadine mengeluarkan selembar foto. Arman, Nadine, dan seorang wanita. Wanita itu... bukan Livia.

"Papa menikah sama Mama aku tujuh tahun setelah kamu lahir. Tapi... sepertinya dia gak pernah bisa benar-benar melupakan kamu."

Aurelia menunduk. Air matanya nyaris jatuh.

"Aku tahu ini salah Papa. Tapi... kamu harus tahu juga, Aurel. Kamu bukan satu-satunya yang hidup dalam kebohongan. Papa juga hidup dalam penyesalan."

Sementara itu – Rumah Aurel

Hendra duduk sendiri di ruang tamu. Tangannya gemetar memegang surat yang diselipkan Livia tadi pagi:

"Aku minta maaf. Aku sudah terlalu lama diam. Aurel tahu semuanya."

Hendra meremas kertas itu. Tatapannya kosong.

Di ambang pintu, Livia berdiri dalam diam. Ia tak sanggup masuk. Tak sanggup bicara.

"Kenapa?" suara Hendra akhirnya pecah. "Kenapa kamu hancurkan semua yang udah kita bangun, Liv?"

Livia tak menjawab. Ia hanya menangis, dan untuk pertama kalinya, Hendra tak berusaha menghapus air matanya.

Malam Hari – Jalanan Jakarta

Aurelia naik motor Reza, membelah jalan kota yang lengang. Angin malam menusuk kulitnya. Tapi pikirannya lebih dingin dari udara mana pun.

"Kamu mau balik?" tanya Reza.

Aurelia menggeleng. "Gue mau ke tempat Papa."

"Yang kandung?"

Aurel mengangguk. "Gue butuh jawaban... dan penebusan."

Mereka tiba di sebuah rumah kontrakan sederhana. Lampu di dalam padam.

Reza mengetuk pintu. Tak ada jawaban.

"Pak Arman!" teriak Aurel.

Tetap sunyi.

Tapi ketika Reza menarik gagang pintu...

"Aurel... ini gak dikunci."

Mereka masuk perlahan. Rumah kosong. Tapi di atas meja kayu... ada surat. Ditujukan pada:

AURELIA RAMADHANI

Surat Terakhir Seorang Ayah

Rumah Kontrakan Arman – 21:47 WIB

Aurelia duduk di kursi reyot ruang tamu. Tangannya menggenggam surat yang ditujukan langsung padanya, dengan tulisan tangan yang nyaris tak terbaca—gemetar, tergesa, dan penuh emosi.

Di sebelahnya, Reza berdiri tegang, menatap ke sekeliling rumah yang gelap dan sunyi.

Aurelia membuka lipatan kertas itu perlahan. Kertas tua, sedikit basah, dan beraroma pahit—seperti kisah hidup yang tak selesai.

Aurelia anakku...

Kalau kamu membaca ini, berarti aku sudah tak punya cukup keberanian untuk menemuimu langsung. Maaf. Aku terlalu penakut untuk menghadapi mata anakku sendiri—mata yang pernah kutinggalkan tanpa penjelasan.

Dulu, saat kamu masih dalam kandungan, Mama kamu memintaku pergi. Bukan karena dia membenciku. Tapi karena dia ingin kamu tumbuh dalam keluarga yang utuh. Bukan di antara dua orang dewasa yang penuh kesalahan.

Aku menurut. Tapi sejak hari itu, aku hidup sebagai bayangan. Aku melihatmu dari jauh. Aku datang ke ulang tahunmu yang ke-5 diam-diam. Aku menyimpan fotomu yang kupotret dari pagar sekolah.

Setiap malam aku menyesal. Tapi yang paling membuatku tak bisa tidur adalah satu hal: aku pengecut. Dan aku sadar... mungkin memang lebih baik kamu membenciku, daripada tahu semuanya dan jadi hancur.

Tapi kamu tetap mencariku. Dan itu lebih dari yang pantas aku harapkan.

Maaf, Aurelia. Aku mencintaimu. Selalu. Tapi cinta seorang ayah seperti aku… tak layak untuk didengar, apalagi diminta.

Salam terakhir,Arman

Tangis dan Sunyi

Air mata Aurelia mengalir tanpa suara. Reza duduk di sebelahnya, meletakkan tangan di punggungnya.

"Dia... pergi?" suara Aurel pelan.

Reza mengangguk kecil. "Menurut tetangga... tadi pagi dia naik travel ke arah Bandung. Gak ada yang tahu pasti."

Aurelia menatap jendela kecil di ruang itu. Dalam gelap, ia merasa melihat bayangan seorang pria yang tersenyum—samar dan jauh.

"Papa... kenapa gak bisa tinggal sedikit lebih lama?"

Keesokan Hari – Rumah Aurel

Pagi itu, suasana rumah sunyi. Ayah (Hendra) tak keluar dari kamar sejak semalam. Livia duduk sendirian di dapur, dengan wajah lelah dan mata sembab.

Aurel masuk perlahan.

"Aurel..." Livia berdiri terburu-buru.

Tapi Aurel menghentikannya dengan satu kalimat:

"Aku udah baca semuanya. Surat dari Arman."

Livia menahan napas.

"Dan Mama salah satu alasan kenapa aku kehilangan sosok ayah… dua kali."

Aurel melangkah ke kamarnya, tapi Livia menyusul.

"Tapi Aurel... kamu belum tahu satu hal lagi."

Aurel menoleh dengan tatapan tajam.

"Apa lagi?"

Livia membuka dompetnya, dan mengeluarkan satu foto tua.

"Ini bukan cuma tentang Papa kamu. Ini... tentang kamu. Nama kamu sebenarnya bukan Aurelia."

Nama yang Disembunyikan

Dapur Rumah Aurel – Pagi Hari

Livia menyerahkan sebuah foto tua yang telah menguning. Di dalamnya, terlihat seorang bayi mungil dibedong selimut merah, digendong oleh Arman muda. Di belakang foto, tertera tulisan tangan samar:

"Untuk Arzalea, buah hatiku."

Aurelia memicingkan mata. "Arzalea?"

Livia menunduk, suaranya pelan dan berat. "Itu nama kamu... saat lahir."

"Kenapa diganti?" suara Aurel terdengar keras, nyaris bergetar.

"Karena Papa kamu tak pernah ingin melepasmu. Tapi aku... aku ingin menghapus semuanya. Aku ganti nama kamu jadi Aurelia. Nama yang... bersih. Nama yang tak punya jejak dari masa lalu."

Aurelia menggeleng perlahan, suaranya tercekat. "Jadi... bahkan namaku pun... hasil kebohongan?"

Sore Hari – Kamar Aurel

Aurelia memandangi akta kelahirannya dan foto itu bersamaan. Dua identitas. Dua kehidupan. Dan sekarang ia mulai tak tahu harus percaya pada siapa.

Di layar laptopnya, ia mulai mengetik:

"Arzalea Ramadhani…"

Ia mencoba mencari data apapun. Akta lama, berita rumah sakit, laporan RT. Tapi semuanya nihil.

Lalu, ia menemukan satu hal mencurigakan: akta lahirnya terbit setahun setelah tanggal kelahirannya. Bukan langsung saat lahir.

"Kenapa harus ditunda satu tahun?"

Sementara Itu – Ruang Tengah

Hendra akhirnya keluar kamar, wajahnya lusuh, mata sembab.

Ia memanggil Livia. "Kita harus bicara. Tentang semuanya."

Livia terdiam. Lalu duduk di hadapannya.

"Aurel... dia anak kita atau bukan?"

Livia tak langsung menjawab.

"Aku cuma ingin tahu... ada sedikit aja kebenaran yang bisa aku pegang."

Livia menggigit bibirnya. "Dia anak Arman. Tapi... darahku juga ada di dalamnya. Aku tidak pernah anggap dia 'hasil aib'. Dia tetap anakku."

Malam Hari – Kamar Aurel

Ponselnya berbunyi. Pesan dari Nadine.

"Aurel… ada sesuatu yang baru aku temukan di kamar Papa."

"Dia pernah menyumbangkan DNA ke sebuah laboratorium swasta."

"Dan nama yang terdaftar sebagai anak biologis… bukan cuma kamu."

Aurel terbelalak.

"Apa maksud kamu… BUKAN CUMA AKU?"

Nadine mengirimkan foto hasil cetakan laboratorium.

"Arman Hartono – Hasil uji: Ayah biologis dari Arzalea Ramadhani & [NAMA DISEMBUNYIKAN]"

Tapi nama satu lagi…telah dihitamkan dengan spidol.

"Nadine… siapa nama satunya?"

"Gue gak tahu. Tapi... dia tinggal di Jakarta. Dan kemungkinan besar... lo pernah ketemu."

Saudara yang Tak Pernah Kau Sadari

Kamar Aurelia – Pukul 23.07 WIB

Aurelia tak bisa tidur. Kata-kata Nadine terus berputar di kepalanya.

"Kemungkinan besar... lo pernah ketemu."

Ia membuka galeri foto ponselnya, menelusuri satu per satu wajah teman, guru, bahkan tetangga. Tidak ada yang tampak 'mencurigakan'. Sampai akhirnya matanya terpaku pada satu foto:

Reza.

Ia mengetuk layar dan memperbesar fotonya. Bukan karena wajahnya... tapi karena matanya.

Bulat. Hitam pekat. Sama seperti miliknya. Sama seperti Arman.

Esok Pagi – Sekolah

Aurelia duduk di kantin, menatap Reza yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Setiap gerakannya tampak biasa—tapi hari ini, semuanya terasa... berbeda.

Saat Reza duduk di hadapannya, Aurelia langsung to the point.

"Reza, kamu tahu siapa ayah kandungmu?"

Reza terdiam. "Kenapa nanya gitu?"

"Jawab."

Reza terlihat gelisah. "Gue... gak tahu. Gue dibesarkan Mama sendiri. Katanya Papa pergi sebelum gue lahir."

Aurelia menelan ludah. Jantungnya berdetak keras.

"Lo pernah ikut tes DNA?"

Reza mengernyit. "Gila lu, Aurel. Enggak lah. Lagian buat apa?"

Aurel membuka ponselnya dan memperlihatkan hasil lab yang dikirim Nadine. Wajah Reza berubah seketika.

"Arman…?" gumamnya.

Aurelia menatapnya tajam. "Gue curiga… kita saudara, Rez."

Sore Hari – Rumah Nadine

Aurelia dan Reza datang tanpa janji. Nadine kaget, tapi segera membukakan pintu.

"Gue tahu lo bakal dateng," ujar Nadine pelan.

Aurelia menunjukkan wajah Reza ke Nadine.

"Lo pernah lihat dia?"

Nadine mengangguk lambat. "Pernah. Dia pernah dateng ke rumah, waktu Papa lagi sakit. Tapi Papa cuma bilang dia temennya waktu kecil."

Reza terduduk. "Berarti selama ini… gue hidup gak tahu siapa gue sebenarnya."

Nadine mengambil sebuah kotak dari bawah meja. "Papa sempat simpan ini. Gue nemu semalam."

Kotak kayu kecil. Di dalamnya, satu surat—belum terbuka. Ditujukan pada:

Reza Alfarizi

Reza membuka surat itu perlahan. Di halaman depan, tulisan tangan yang sama seperti surat untuk Aurel:

"Reza… maafkan Ayah."

Tapi sebelum ia sempat membacanya lebih lanjut…

BRAKKK!

Suara pintu depan dibanting. Nadine berlari ke arah pintu.

Aurel dan Reza menyusul… dan tertegun saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.

Hendra. Ayah Aurel.Dengan wajah dingin dan rahang mengeras.

"Kalian semua... pikir aku gak tahu?"

Ayah yang Patah dan Marah

Rumah Nadine – Pukul 17.36 WIB

Ketegangan menyelimuti ruangan.

Hendra, ayah yang selama ini diam dan tenang, kini berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam. Nadine menggenggam lengan Aurel dengan gugup. Sementara Reza mematung, masih memegang surat yang belum sempat ia baca.

"Pak... Ayah," Aurel membuka suara dengan pelan.

Hendra melangkah masuk. Setiap gerakannya berat, seolah mengusung luka bertahun-tahun yang belum pernah diucapkan.

"Kamu pikir aku gak tahu ke mana kamu pergi sejak kemarin?" suaranya pelan, tapi menyayat.

Aurel menunduk. "Aku cuma mau tahu... siapa aku sebenarnya."

Hendra tertawa pelan—bukan bahagia, tapi pahit.

"Siapa kamu sebenarnya? Kamu adalah anak yang aku besarkan! Anak yang aku mandikan waktu kecil, aku ajari naik sepeda, aku peluk tiap malam sebelum tidur!"

"Dan kamu memilih ninggalin semua itu demi... dia?" Hendra menunjuk Reza, lalu Nadine. "Demi keluarga yang bahkan gak pernah mau tanggung jawab dari awal?"

Nadine Menjawab

"Pak, dengan segala hormat... kami gak pernah minta Aurelia ikut ke sini. Dia datang karena butuh jawaban. Dan Reza..." Nadine menatap Reza, "...dia juga sama kosongnya."

Hendra menatap Reza penuh benci. "Kamu anak dari pria yang menghancurkan rumah tangga saya."

Reza berdiri. "Dan Bapak... adalah pria yang bohongin anaknya selama 18 tahun."

Hening.

Livia Muncul

Pintu rumah terbuka kembali. Livia masuk dengan wajah lelah, rambut berantakan. Seperti sudah lama menangis.

"Aku yang salah..." katanya.

Semua mata beralih padanya.

"Aku yang berbohong. Aku yang menyembunyikan semuanya. Tapi jangan salahkan mereka."

Hendra menggeleng, lirih. "Kamu tahu... aku terima kamu kembali waktu itu. Aku tahu kamu hamil anak orang lain. Tapi aku pikir... mungkin cinta bisa tumbuh dari pengampunan."

Air mata Hendra menetes. Suara yang dulunya kokoh, kini retak.

"Tapi aku salah. Karena ternyata... cinta gak cukup untuk ngelawan rasa dikhianati."

Hendra menatap Aurel, lalu berkata dengan suara bergetar:

"Kalau kamu pilih cari tahu lebih banyak tentang keluarga mereka… maka kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini."

Aurel menatap ibunya.

"Ma… ini beneran?"

Livia diam. Tak mengangguk. Tapi juga tak membantah.

Reza melangkah maju, berdiri di samping Aurel.

"Kamu gak harus balik kalau kamu gak mau, Aurel. Tapi kalau kamu ikut gue… lo bakal tahu semua sisi cerita yang selama ini ditutup."

Jalan Dua Nama

Rumah Nadine – Malam Hari

Setelah kepergian Hendra, keheningan menyelimuti ruang tamu. Reza duduk dengan wajah muram, memandangi surat dari Arman yang masih terlipat rapi di tangannya.

Aurelia duduk di dekat jendela, menatap lampu jalanan yang remang.

"Buka aja," katanya pelan.

Reza mengangguk, lalu membuka surat itu. Tangan gemetar. Nadine duduk di sampingnya, sementara Aurel memejamkan mata, mendengarkan.

Reza…

Aku minta maaf karena tak pernah hadir di hidupmu. Tapi percayalah, bukan karena aku tak mau. Mamamu melarangku. Dan aku… terlalu penakut untuk memperjuangkan hakku.

*Kamu anak yang cerdas. Aku ikuti kabarmu dari jauh. Sama seperti Aurel.

Kalian berdua adalah dua bagian dari hidupku yang terpisah tapi selalu bersinggungan. Tapi kalian juga adalah dua kesempatan untukku belajar… bahwa mencintai itu gak cukup tanpa keberanian.

Kalau kamu membaca ini bersama Aurel, tolong jaga dia. Karena dia keras kepala seperti ibunya. Tapi dia punya hati sekuat batu karang.

Dan untuk Aurel—Arzalea—maafkan aku, Nak. Namamu indah karena kamu selalu jadi yang paling indah di masa kelam hidupku.

Kalian bukan kesalahan. Kalian adalah anugerah… yang lahir dari dua cinta yang salah waktu, bukan salah rasa.

—Ayah, Arman

Beberapa Hari Kemudian – Taman Kota

Aurelia duduk di bangku taman sambil menulis di buku hariannya.

Hari ini aku menulis dua nama: Aurelia dan Arzalea.

Yang satu adalah aku yang tumbuh dalam kebohongan, tapi penuh cinta. Yang satu lagi adalah aku yang lahir dari kebenaran, tapi dibungkam.

Dan hari ini, aku menerima keduanya.

Aku bukan anak yang ditolak. Aku adalah anak yang dicintai dari dua sisi yang saling bertentangan.

Sementara Itu – Rumah Hendra

Livia duduk bersama Hendra di meja makan. Mereka belum bicara banyak sejak malam itu.

Livia menyodorkan secangkir teh.

"Dia gak marah, Hen," bisik Livia.

Hendra menatap kosong.

"Dia cuma… butuh waktu untuk berdamai dengan dua dunia."

Hendra mengangguk perlahan.

"Kalau dia butuh pulang… rumah ini tetap terbuka."