WebNovels

Chapter 13 - His warning to the word

Limusin hitam ramping itu berhenti di depan kantor pusat Leon Group, jendela-jendelanya yang gelap berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Saat pintu terbuka, Leon melangkah keluar dengan setelan jas tiga potong berwarna gelap khasnya, memancarkan aura berwibawa yang membuat semua orang di sekitarnya secara naluriah minggir. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda—tatapannya bukan sekadar dingin. Tatapannya berbahaya.

Hana mengikuti beberapa langkah di belakangnya, wajahnya tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Ia tahu Leon bukan lagi sekadar pria yang berusaha melindungi harga diri atau kekayaannya. Ia telah menjelma menjadi benteng yang siap melindunginya dari apa pun, bahkan dunia.

Peristiwa beberapa hari terakhir sudah cukup untuk menjungkirbalikkan dunia mereka. Media telah mengetahui latar belakang Hana yang misterius, memicu tsunami rumor. Foto-foto masa kecil Hana di panti asuhan, gambar-gambar buram dirinya bersama orang-orang tak dikenal, dan akta kelahiran yang "bocor" telah beredar di mana-mana. Dunia menginginkan jawaban, dan mereka tidak berbaik hati.

Leon tahu ini bukan kebetulan. Ada yang menggali terlalu dalam.

Di dalam ruang rapat, belasan eksekutif senior duduk mengelilingi meja. Kedatangan Leon yang tiba-tiba membuyarkan gumaman mereka.

"Semuanya keluar. Kecuali kamu," perintah Leon sambil menunjuk Andrew, kepala keamanan.

Ruangan menjadi bersih dalam hitungan detik.

"Pembaruan status," kata Leon sambil melangkah perlahan.

Andrew mengangguk. "Kami melacak kebocorannya. Kebocorannya berasal dari seseorang di departemen hukum. Seorang pekerja magang. Tapi kami yakin dia cuma pion."

Rahang Leon mengeras. "Temukan dalangnya. Dan pastikan tidak ada yang menyentuh istriku."

"Ya, Tuan."

Leon menoleh ke jendela, memandang ke bawah ke arah kota yang berdengung di bawah kakinya.

Dia berbisik lirih, "Jika mereka menginginkan perang, aku akan memberikannya."

Sementara itu, Hana duduk di ruang pribadi gedung, mencoba menenangkan diri. Ponselnya terus berdering. Teman-teman lama yang sudah bertahun-tahun tak terdengar tiba-tiba muncul kembali. Para jurnalis yang menyamar sebagai pekerja amal berusaha menghubunginya. Bahkan mantan kepala sekolah panti asuhannya menelepon, mengatakan bahwa para reporter sedang berkemah di luar gedung.

Dia merasa terekspos.

Pintu terbuka, dan Leon masuk. Ekspresinya melembut saat melihatnya. Ia menyeberangi ruangan dan berlutut di hadapannya.

"Hana, lihat aku."

Dia melakukannya, matanya berair.

"Aku tidak peduli apa kata mereka, atau siapa pun yang mereka kirim. Mulai sekarang, kau berada di bawah perlindunganku. Dan siapa pun yang ingin menyakitimu akan melewatiku."

Bibirnya bergetar. "Leon, aku tidak menginginkan ini. Aku tidak meminta untuk menjadi... apa pun yang mereka pikirkan tentangku."

Dia menggenggam tangannya. "Kamu tidak sendirian lagi. Dan kamu bukan sekadar 'apa pun'. Kamu istriku. Itu saja yang penting."

Dia mengangguk perlahan, tetapi di dalam hatinya, rasa takut masih menggerogotinya.

Menjelang sore, Leon mengambil langkah berani. Ia menjadwalkan konferensi pers.

Seluruh kota menyaksikan saat CEO Leon Group yang berkuasa berdiri di depan lautan kamera.

"Saya punya satu pernyataan," dia memulai.

Matanya mengamati kerumunan, tajam dan tak kenal ampun.

Ada rumor dan intrusi mengenai latar belakang istri saya. Izinkan saya menegaskan satu hal: Hana Leon bukan sekadar istri sah saya. Dialah wanita pilihan saya. Wanita yang akan saya lindungi dengan segala cara.

Dia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap.

"Jika ada yang berani melewati batas untuk mempertanyakan, melecehkan, atau menyakitinya, ketahuilah ini, aku tidak akan ragu untuk membakar semua yang kau perjuangkan."

Suara terkesiap memenuhi ruangan. Kamera berbunyi klik. Para jurnalis membeku.

Leon mengakhiri dengan tenang, "Ini satu-satunya peringatan untukmu."

Malam harinya, Hana menonton tayangan ulang konferensi pers dari ruang tamu mereka. Ia hampir tak percaya pria di layar itu adalah orang asing yang sama dinginnya dengan yang pernah dinikahinya.

Dia masuk dengan tenang sambil melonggarkan dasinya.

"Kau melihatnya?" tanyanya.

Dia mengangguk. "Kau tidak perlu melakukan itu."

"Ya, aku melakukannya."

Dia berdiri dan berjalan ke arahnya. "Kenapa?"

Leon menatapnya, kerentanan tampak di matanya untuk pertama kalinya.

"Karena aku nggak tahan membayangkanmu terluka. Dan... karena kurasa aku jatuh cinta padamu, Hana."

Napasnya tercekat. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti.

Lalu dia berbisik, "Leon…"

Dia mencondongkan tubuhnya, menempelkan dahinya ke dahi wanita itu.

"Aku tidak peduli rahasia apa pun yang kau simpan. Aku hanya ingin menjadi orang yang cukup kau percayai untuk berbagi rahasia itu."

Dan di saat hening itu, ada sesuatu yang berubah di antara mereka, sesuatu yang lebih dalam dari sekedar perlindungan, lebih kuat dari sekedar kemarahan.

Itu adalah awal dari sesuatu yang nyata.

Tetapi, tak seorang pun dari mereka tahu bahwa badai sesungguhnya belum dimulai.

Detak jam kakek di sudut adalah satu-satunya suara yang memecah kesunyian di kediaman megah Leon. Hana berdiri di dekat jendela, melipat tangannya erat di dada, menatap kosong ke arah lampu-lampu kota di bawah. Di suatu tempat di dalam dirinya, sesuatu perlahan-lahan terurai, menyakitkan.

Kontrak itu tidak membahas perasaan apa pun. Isinya murni transaksional: tiga tahun pernikahan, satu syarat, dan jaminan dukungan finansial untuk perawatan ibunya. Namun, yang tidak dipersiapkan oleh satu klausul pun... adalah Leon.

Leon, pria yang tatapannya selalu dingin, tetapi malam ini tatapannya terlalu lama terpaku di bibirnya. Leon, CEO yang pernah memanggilnya "tak lebih dari sekadar tawaran", tetapi kini menggertakkan gigi ketika ada pria lain yang meliriknya.

Batasan antara tugas dan keinginan mulai kabur dan Hana tidak tahu sisi mana yang lebih membuatnya takut.

"Beginikah caramu membalas budiku?" Suaranya membelah udara bagai pedang.

Ia berbalik. Leon berdiri di pintu ruang kerja, matanya berkaca-kaca. Di tangannya, judul tabloid yang kusut "Istri CEO yang Misterius, Pewaris atau Penggali Emas?"

Hana menelan ludah. "Aku tidak membocorkannya."

"Aku tahu," katanya pelan. "Tapi sudah ketahuan. Dan sekarang dunia ingin tahu siapa istriku sebenarnya."

Dia membalas tatapannya. "Kalau begitu, beri tahu mereka. Atau lebih baik lagi, akhiri pernikahan ini dan selesaikanlah."

Leon melangkah maju perlahan. "Kau masih berpikir ini cuma kontrak?"

"Benarkah?" balasnya, suaranya lebih tajam dari yang ia maksudkan. "Kau menikah denganku demi kenyamanan. Aku menikah denganmu demi uang. Tak ada cinta di sini. Hanya... syarat."

Sesaat, ada sesuatu yang berkelebat di raut wajahnya. Rasa sakit? Penyesalan?

Lalu topengnya kembali. "Kau salah, Hana."

Dia tertawa getir. "Tentang apa? Bahwa semua ini palsu?"

"Tidak," katanya, sambil melangkah lebih dekat. "Kau salah mengira aku tidak peduli."

Suasana di antara mereka menjadi tegang. Hana

detak jantungnya bergemuruh di telinganya.

Ketegangan di dalam penthouse telah berubah menjadi medan perang yang sunyi. Kontrak yang mengikat mereka sah, ditandatangani dengan sikap acuh tak acuh. Namun, apa yang terjadi antara Leon dan Hana sekarang… jauh melampaui klausul dan tanda tangan.

Leon berdiri di dekat jendela setinggi langit-langit, menyilangkan tangan. Kota di bawah sana berkilauan bagai bintang-bintang bertaburan di jalanan. Namun, Hana tak melihat apa pun selain bayangan pria yang menghantuinya setiap saat akhir-akhir ini.

"Kau baca kontraknya lagi, kan?" tanya Leon tanpa menoleh.

Tangan Hana menggenggam amplop manila itu lebih erat. "Ya. Dan aku ingin membicarakannya."

Dia berbalik perlahan, tatapannya dingin tapi tidak kejam. "Bagian mana yang kau maksud? Bagian yang hanya menyebutmu istriku secara harfiah? Atau bagian di mana perasaan tak diizinkan?"

Dia tersentak. "Keduanya."

Dia mengangkat sebelah alisnya. "Lalu?"

"Dan kurasa sudah terlambat untuk berpura-pura kita hanya bermain peran." Suaranya bergetar tapi tak pecah. "Kau bilang kau tak percaya cinta. Aku juga. Tapi ada yang berubah, Leon. Kau telah berubah."

Leon melangkah mendekat, ketegangan di antara mereka semakin menebal. "Menurutmu apa yang berubah, Hana? Bahwa kita tidur di bawah atap yang sama? Bahwa kita saling berpandangan saat sarapan?"

Dia mengerjap, terkejut. "Kau peduli. Bahkan jika kau tak mengatakannya. Aku sudah melihatnya. Saat kau melawan pers. Saat kau memelukku setelah serangan panik itu. Saat kau menghadapi anak buah ayahku di rumah sakit."

"Cukup," kata Leon tajam. Lalu, lebih pelan, "Itu bukan tentang cinta. Itu tentang melindungi apa yang menjadi milikku."

"Kamu mengatakannya seolah-olah aku hanyalah properti."

Dia mengalihkan pandangannya. "Bukankah begitu?"

Keheningan yang mengikuti kalimat itu sungguh menyesakkan.

Tapi Hana tidak mundur. "Lalu kenapa kau menciumku seolah aku bukan siapa-siapa? Kenapa kau melihatku tidur padahal kau pikir aku tidak akan menyadarinya? Kenapa kau bertingkah seolah kau takut kehilanganku padahal ini seharusnya sebuah transaksi?"

Leon mundur selangkah, tangan di saku, rahang terkatup rapat. "Karena aku laki-laki, Hana. Bukan robot. Tapi jangan samakan naluri dengan emosi."

Hana tertawa getir. "Kalau begitu, mungkin sebaiknya kau berhenti mengirim sinyal yang membingungkan. Karena tindakanmu lebih bermakna daripada kata-kata dingin yang kau lontarkan padaku."

Dia tidak mengatakan apa pun.

Ia mengambil kontrak itu dari meja. "Kontrak ini menyatakan kita seharusnya menjadi orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama. Tapi kau malah membuatnya mustahil. Kau menyelamatkan nyawa ibuku. Kau memberiku kebebasan. Kau membuatku merasa aman. Kau membuatku merasa diperhatikan."

"Dan saya membayar semuanya."

"Tidak!" bentaknya. "Itulah bedanya sekarang. Kau tidak melakukannya lagi demi kontrak. Kau melakukannya karena kau peduli. Dan aku tahu itu membuatmu sangat takut."

Dia melangkah lebih dekat. "Jangan katakan apa yang kurasakan."

"Kalau begitu, ceritakan sendiri padaku," tantangnya.

Tangan Leon mengepal. Matanya berkilat marah. Namun untuk sekali ini, suaranya bergetar. "Aku tak ingin merasakan apa pun. Karena terakhir kali aku merasakannya, aku kehilangan segalanya. Ibuku. Kepercayaanku. Kedamaianku."

Suara Hana lembut. "Aku bukan mereka."

Dia menatapnya seolah-olah dia baru saja menghancurkan setiap tembok yang dibangunnya.

Tiba-tiba, dia berjalan menuju perapian, mengambil kontrak itu dari tangannya, dan tanpa sepatah kata pun melemparkannya ke dalam api.

Keheningan itu meledak-ledak.

"Apa yang kau lakukan?!" seru Hana tersentak.

"Mengakhiri kebohongan," kata Leon. "Sekarang tidak ada kontrak. Hanya kebenaran. Dan kebenarannya adalah... aku tidak ingin kau menjadi istriku hanya di atas kertas."

Hana membeku.

"Tapi aku nggak bisa janji cinta, Hana. Belum bisa."

Dia melangkah maju. "Kalau begitu, berjanjilah padaku untuk jujur. Berjanjilah padaku kita akan berhenti berpura-pura."

Dia mengangguk pelan. "Itu, aku bisa."

Tatapan mereka bertemu.

Tak ada ciuman selanjutnya. Tak ada pelukan. Hanya kebenaran yang akhirnya terungkap.

Dua hati terjebak dalam sebuah kontrak. Namun hanya satu jalan ke depan.

Dan tak seorang pun dari mereka ingin menjalaninya sendirian lagi.

Namun, saat mereka mengira api di antara mereka telah berubah menjadi percikan pengertian, ketukan di pintu penthouse menghancurkan momen rapuh itu.

Leon mengerutkan kening. "Aku tidak mengharapkan siapa pun."

Alis Hana berkerut. "Mungkin keamanan?"

Dia berjalan ke pintu, membukanya dan terdiam.

Berdiri di sana, mengenakan mantel desainer dan sepatu hak tinggi, adalah seorang wanita jangkung dengan fitur yang mencolok, rambut yang ditata sempurna, dan penampilan dingin yang cocok dengan senyum dinginnya.

"Leon," dengkurnya, melangkah masuk seolah-olah dia pemilik tempat ini. "Sudah lama sekali."

Hana secara naluriah melangkah mundur, jantungnya berdebar kencang.

Suara Leon terdengar tercekat. "Isabelle."

Perut Hana terasa mulas.

Mantan tunangan.

Mata Isabelle mengamati ruangan dan tertuju pada Hana. Senyumnya tak sampai ke matanya. "Jadi... ini istri barunya. Manis."

Leon berdiri protektif di depan Hana, tetapi kerusakan telah terjadi. Badai yang mereka pikir telah berlalu ternyata baru saja dimulai.

Karena beberapa kontrak

Tak tertulis di atas kertas. Terukir di bekas luka. Dan Isabelle adalah satu luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

More Chapters