WebNovels

Chapter 12 - Fugaku's ghost

Kompleks uchiha tampak sunyi di bawah tabir senja. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin adalah satu-satunya suara yang mengiringi Aiko saat ia melangkah di jalan setapak batu menuju kuil tua. langkah kaki menggema samar, berirama lembut dan penuh tekad di tengah kesunyian.

Sasuke sedang menjalankan misi rahasia, berbahaya, dan sendirian. Ia pergi tanpa sepatah kata pun pagi itu, hanya sekilas, seolah-olah berusaha mengunci semua yang tak bisa ia katakan ke dalam satu dokumen. Hal itu menghantuinya sekarang.

Tangan Aiko gemetar saat memegang sebuah amplop kecil usang, menguning, dan tersegel lambang Uchiha. Ia terlihat di dalam laci tersembunyi di lemari gulungan tua di ruang kerja pribadi mereka. Namanya tertulis di bagian depan dengan tulisan yang asing dan tebal.

Ia telah berdebat seharian apakah akan membukanya. Namun, ada sesuatu yang menariknya ke kuil, seolah-olah udara itu sendiri berbisik bahwa ia perlu berada di sana. Saat ia mendekati tangga batu, embusan angin menerpanya, mengangkat ujung jubahnya.

Pintu kuil berderit terbuka tanpa dia menyentuhnya.

Aiko menelan ludah dan melangkah masuk. Aroma dupa dan kayu tua memenuhi hidungnya. Ia dibaringkan di depan altar, menyalakan sebatang dupa, dan meletakkan surat itu di hadapannya.

Dengan jari gemetar, dia merusak segel itu.

Kepada Aiko-san,

Jika Anda membaca ini, maka anak saya telah melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah saya lakukan mengubur kebenaran untuk melindungi orang-orang yang kita cintai.

Aku Fugaku Uchiha. Dan aku tahu siapa dirimu.

Aiko membeku.

Udara di kuil terasa menebal, cahaya lilin yang berkelap-kelip menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari tak wajar di dinding. Napasnya tercekat di tenggorokan.

Aku tahu tentangmu sejak kau hadir di kehidupan Sasuke. Dia pikir dia bijaksana, tapi tak ada yang bisa disembunyikan dari mata seorang ayah, bahkan dalam kematian. Kau pasti bertanya-tanya bagaimana surat ini bisa ada aku menitipkannya pada Itachi, sebelum malam semuanya berubah. Aku meminta untuk mengantarkannya kepada Sasuke saat dia siap. Jelas, Sasuke tidak pernah melakukannya.

Aku melihatmu sebagai bukti bahwa jantung anakku masih berdetak. Kau bukan kelemahan, Aiko. Kau adalah jangkarnya. Tapi jangkar bisa menenggelamkan kapal jika badainya cukup kuat.

Aiko menggenggam surat itu lebih erat.

Akan tiba dimana keberadaanmu mengancam semua yang Sasuke coba bangun kembali. Dunia melihatnya sebagai pahlawan, tetapi dunia tidak tahu apa yang ia korbankan untuk menjadi pahlawan. Dosa-dosa Uchiha bukan hanya darah dan pengorbanan melainkan diam. Dan diam itu berbahaya.

Kamu tidak aman. Anak itu juga tidak aman.

Anak?

Jari-jari Aiko secara mendasar menghantam berkelok-kelok. Ia belum memberi tahu siapa pun bahkan Sasuke sekalipun. Ia bahkan tidak sepenuhnya yakin. Tapi tanda-tandanya... ada.

Air mata menggenang di matanya.

Lindungilah dia, Aiko. Meski begitu berarti melindunginya dari dirinya sendiri. Terutama saat itu.

FugakuUchiha

Pintu kuil terbanting menutup di belakangnya.

Aiko berdiri seketika, jantungnya berdebar kencang. Namun, tak ada siapa pun di sana. Hanya bayangan.

Malam itu, Aiko tak bisa tidur. Ia duduk di dekat jendela, jemarinya meraba tepi amplop yang halus. Pikirannya terguncang oleh kata-kata surat itu peringatannya, bebannya.

Sasuke kembali tepat sebelum fajar, jubahnya robek dan bernoda. Sharingannya masih bersinar ketika ia memasuki ruangan.

"Aiko," gumamnya, lelah namun penuh pencarian. "Kau sudah bangun."

Dia berdiri perlahan. "Kamu tidak mengucapkan selamat tinggal."

"Aku tidak mau."

Hening terdiam. Lalu Aiko melangkah maju dan mengulurkan surat itu. "Seharusnya kau berikan ini padaku."

Sasuke membeku. Memandangnya di puncak gunung itu.

"Aku belum siap," bisiknya.

"Tapi aku memang begitu," katanya. "Aku berhak mengetahui apa yang kulindungi."

Ekspresinya sedikit retak. Dan dalam bayangan itu, ia melihat sosok lelaki yang dulu lelaki yang kehilangan segalanya. Lelaki yang berusaha untuk tidak kembali kehilangan itu.

"Kau tidak hanya melindungiku, Sasuke. Kita saling melindungi."

Ia kemudian meraihnya, menariknya ke dalam pelukannya dengan keputusasaan yang jarang ditunjukkan. Dan saat fajar menyingsing di Konoha, memancarkan cahaya hangat melalui jendela, Aiko tahu satu hal

Hantu Fugaku bukan sekedar kenangan.

Itu adalah sebuah ramalan.

Dan waktu mereka hampir habis. 

Saat Sasuke memasuki rumah, dia tahu ada sesuatu yang salah.

Udara terasa terlalu sunyi. Api di perapian telah padam. Aroma sakura dan rempah-rempah yang biasa Aiko racikan telah hilang. Matanya menyipit. Tak ada gerakan. Tak ada senandung lembut suaranya. Tak ada dentingan cangkir teh. Tak ada apa-apa.

"Aiko?" panggilnya.

Kesunyian.

Ia bergerak cepat, mengamati dapur, ruang duduk kecil, dan kamar tidur. Sandalnya masih di dekat pintu. Jubahnya masih tergantung di dinding.

Tapi dia sudah pergi.

Dan di atas meja tergeletak selembar kertas. Terlipat dua. Ditujukan kepadanya.

Tangannya sedikit gemetar saat dia membukanya.

> "Mereka datang untukku. Aku tidak melawan. Aku tidak ingin kau menanggung beban masa laluku, Sasuke. Maafkan aku, Aiko."

Untuk sesaat, jantung Sasuke berhenti berdetak.

Lalu, ia pun berubah menjadi amarah.

Dua jam kemudian, hutan di luar Konoha dipenuhi luka-luka amarahnya. Pepohonan terbelah dua. Kawah-kawah di tanah. Chakra hangus di udara. Burung-burung gagak berhamburan panik.

Sasuke berdiri sendirian, terengah-engah, Sharingannya berputar-putar karena kegilaan.

"Danzo..."

Nama itu.

Bayangan itu telah menghantuinya selama bertahun-tahun. Dan kini, bahkan setelah kematian Danzo, bayangannya kembali menghantuinya.

Tapi kenapa?

Aiko duduk diam, terikat borgol berisi chakra, di dalam ruangan dingin dan remang-remang di bawah reruntuhan bekas markas Root.

Dia tak melawan. Dia tak akan pernah melawan bayang-bayang masa lalunya.

Di hadapannya berdiri sesosok yang tidak pernah ia duga akan dilihatnya lagi.

"Masih setenang dulu, Nak," kata pria itu. Kerutan menghiasi wajahnya, tetapi matanya menyala dengan perhitungan dingin yang sama yang diingatnya dari bertahun-tahun lalu.

Bukan Danzo. Melainkan salah satu pengikutnya. Penerus setianya.

"Katakan padaku," desisnya, "apakah kamu masih menyimpan segelnya?"

Aiko tidak menjawab.

"Apakah kamu ingat siapa dirimu?"

Dia mendongak. "Aku bukan senjatamu lagi."

Dia tertawa. "Kau pikir menjadi istri Sasuke Uchiha menghapus masa lalumu?"

"Danzo menjadikanku alat. Sasuke menjadikanku manusia."

"Kamu bukan istri. Kamu produk. Kami yang membangunmu."

Jantung Aiko berdebar kencang. Kenangan akan latihan keras, malam-malam panjang misi, dan kesunyian kejam yang ia alami, semuanya kembali. Namun tangannya tidak gemetar. Suaranya tidak pecah.

"Sasuke akan datang menjemputku."

Pria itu menyeringai. "Biarkan saja. Aku ingin dia."

Naruto membanting berkas itu ke meja Lady Tsunade.

"Maksudmu Root masih punya sisa-sisa yang aktif? Setelah sekian lama?"

Wajah Tsunade muram. "Danzo punya rencana cadangan. Agen-agen nakal. Laboratorium-laboratorium tersembunyi. Kupikir kita sudah membereskan semuanya."

Naruto mengepalkan tangannya. "Mereka membawa Aiko, kan?"

Tsunade mengangguk pelan. "Dia bukan hanya istri Sasuke, Naruto. Masih ada lagi."

"Apa maksudmu?"

Tsunade mendesah. "Danzo pernah bereksperimen pada gadis-gadis yatim piatu, memadukan garis keturunan curian dan teknik terlarang. Aiko adalah satu-satunya subjek yang selamat."

Mata Naruto melebar.

"Dia bukan hanya dilatih oleh Root. Dia diciptakan oleh mereka."

Kilas balik.

Aiko berusia sebelas tahun.

Dia belum punya nama saat itu. Hanya sebuah angka: Subjek Sembilan.

Ia teringat suntikan itu. Rasa sakitnya. Kekuatan aneh yang terkadang berkelebat di pembuluh darahnya. Campuran cakra yang terlalu labil untuk dikendalikan.

Danzo akan mengawasi dari atas. Dingin. Terpisah.

"Dia akan menjadi penyusup yang sempurna," katanya suatu kali.

Tapi Aiko telah lari. Menghilang. Dan entah bagaimana, ia selamat.

Bertahun-tahun kemudian, Sasuke menemukannya sendirian, diburu, ketakutan. Tapi kuat. Begitu kuat.

Dia telah memintanya untuk tinggal.

Dan dia berhasil melakukannya.

Kembali ke masa sekarang.

Sasuke berdiri di mulut gua yang gelap, cakranya berkobar seperti badai.

Di dalam, agen Root sudah siap. Perangkap telah dipasang. Bala bantuan telah dipanggil.

Mereka tidak penting.

Karena tidak ada yang bisa menghentikan Uchiha Sasuke saat dia marah.

Pertarungan itu brutal.

Serangan senyap dalam kegelapan.

Shuriken beradu di udara.

Api dan petir merobek bumi.

Sasuke bergerak seolah-olah kematian itu sendiri yang terkendali, tepat, dan tanpa ampun.

Dia sampai di ruangan itu.

Dia melihatnya memar, pucat, tetapi hidup.

Dia melihat laki-laki itu mencoba melakukan segel pada tubuhnya.

Kemudian

Ledakan.

Dalam sekejap, pria itu lenyap. Chidori Sasuke telah menembusnya.

Darah di dinding.

Kesunyian.

Snow blanketed the outskirts of Konoha, turning the narrow forest paths into sheets of white silence. Each step crunched under Sasuke's boots as he moved through the cold, his cloak fluttering slightly in the wind. Behind him, Aiko's steps followed, quieter, more hesitant—but persistent.

The cold always reminded Sasuke of things he tried not to remember: the stone silence of his childhood home, the long winters when his family was still whole, and the freezing loneliness after the massacre. But this winter was different. Aiko was with him.

And yet… the distance between them today was sharper than the cold.

They hadn't spoken since they left Danzo's old research compound three days ago.

"You're walking too fast," Aiko finally said, her voice muffled under her scarf.

Sasuke stopped. He turned, glancing over his shoulder. Her cheeks were red from the wind, her eyes slightly narrowed in annoyance, but also concern. "You should've said something."

"I just did," she muttered, stepping beside him. "You've been silent since we left that cursed place."

Sasuke's gaze drifted away. "There's nothing to say."

Aiko shook her head. "There's everything to say. You saw what Danzo did to those children… to your clan's bloodline. And you saw what he planned to do with me."

The mere memory sent a jolt of rage through Sasuke's veins.

Aiko had been marked. Her blood somehow related to a forbidden technique Danzo wanted to revive was now a hunted prize. The compound had revealed classified scrolls, targeting Aiko as a potential vessel for cursed Uchiha DNA experiments.

The idea disgusted Sasuke.

"You should never have come with me," he said coldly.

Aiko blinked. "Excuse me?"

"You're not a shinobi, Aiko. You weren't trained for this."

"I chose this path when I married you," she said, her voice hardening. "You don't get to act like I'm baggage just because I'm not throwing kunai every second."

Sasuke's hand clenched.

He hated this part of himself the coldness, the instinct to push people away. But he'd seen too many people die around him. And now Aiko was on every list of enemies his enemies kept.

"You could've been killed," he said, softer now. "That place was a trap."

She stepped closer, the distance shrinking. Her hand reached for his but he flinched, as if burned.

"Why won't you let me touch you?" she whispered, pain lacing her voice. "You look at me like I'm already gone."

Sasuke stared down at his gloved hand. Cold.

Because he'd seen too many ghosts in his life. Too many who smiled once… only to fade away.

He exhaled sharply. "Because I'm afraid."

Aiko froze.

The last Uchiha rarely admitted fear.

"Of what?"

"Of losing you like I lost everyone else."

For a moment, silence settled. Even the wind seemed to hold its breath.

Aiko slowly reached for his hand again. This time, Sasuke didn't pull away. Her hand was warm against his. Tender. Alive.

"You won't lose me," she said. "Not unless you push me away first."

His fingers tightened around hers. A flicker of warmth bloomed in his chest.

They started walking again, hand in hand, the cold no longer quite so biting.

Later That Night Temporary Shelter, Edge of the Border

They found refuge in a small cave, shielded by vines and chakra-blocking seals. Aiko started a small fire, her hands rubbing together for warmth. Sasuke sat across from her, brooding silently, but no longer distant.

"I was thinking," Aiko said, poking at the fire. "What if we made this cave ours?"

Sasuke raised a brow. "What?"

"Not permanently. But just… a place. Just for us. No Hokage. No missions. No ghosts."

He studied her face the flush on her cheeks, the determined sparkle in her eyes. He wanted to believe such a thing was possible.

"We could leave it marked," she continued. "So even if we don't return for months, we'll know it's ours."

A long pause.

"…Draw the mark."

She blinked. "Really?"

He nodded.

With a smile, Aiko took a kunai and carved two initials into the cave wall. Just a small heart between "A + S". Simple. Childish.

And yet, something in Sasuke's heart shifted.

"You're warming up," she teased as she returned to her spot.

"…I'm trying," he murmured.

She leaned closer, resting her head on his shoulder. "That's all I ever ask."

His arm wrapped around her, pulling her closer. The fire crackled. And for the first time in days, they slept without nightmares.

At Dawn Trouble Brews

The peace didn't last long.

By dawn, a burst of chakra near the cave entrance jolted Sasuke awake. He rolled to his feet, sharingan blazing, sword in hand.

"Aiko," he hissed. "Wake up."

She stirred, grabbing her cloak. "What is it?"

"ANBU. Three signatures. And one of them…"

He narrowed his eyes.

"Itachi's old comrade."

The man approaching was wearing a porcelain fox mask, his chakra cold and familiar. He wasn't here for tea.

Aiko moved to Sasuke's side, tension in her body. "What now?"

Sasuke stepped forward, shielding her with his body.

"Now?" he said, drawing his sword.

"We remind them why some secrets are worth protecting."

More Chapters