WebNovels

Si KutuBuku

Vero_5148
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
441
Views
Synopsis
Audrey adalah definisi sempurna dari kata 'pemalu', 'cupu', dan 'kutubuku'. Dengan kacamata tebal dan tumpukan buku di pelukannya, ia pindah ke SMA DUNIABET, berharap bisa melewati masa remajanya tanpa menarik perhatian. Namun, semuanya berubah saat ia tanpa sengaja berurusan dengan Azril, sang ketua geng motor yang ditakuti sekaligus preman sekolah.
Table of contents
VIEW MORE

Chapter 1 - Si KutuBuku

Kacamata dan Tatapan Tajam

Hari pertama di SMA DUNIABET terasa seperti masuk ke arena gladiator bagi Audrey. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena ia takut terlambat, tapi karena deretan mata yang memindainya. Audrey merapatkan jaket denimnya, mencoba menjadi sekecil mungkin di koridor yang padat itu. Rambut cokelat gelapnya yang lurus menutupi sebagian wajahnya, berpadu sempurna dengan kacamata berbingkai tebal yang selalu bertengger di hidungnya. Di tangannya, buku fisika tebal seolah menjadi perisai.

"Permisi..." suaranya nyaris berbisik saat ia mencoba menerobos kerumunan siswa yang bergosip. Ia anak baru, pindahan dari kota lain, dan sejujurnya, ia berharap bisa melewati masa sekolah menengah ini tanpa insiden berarti. Menjadi 'anak baru yang aneh' adalah julukan yang sangat ingin ia hindari.

Saat pandangannya sibuk mencari papan pengumuman kelas, tanpa sengaja kakinya tersandung. Buku-buku di tangannya melayang, isinya berhamburan di lantai marmer yang licin.

"Aduh!" desis Audrey, buru-buru membungkuk untuk mengumpulkan harta karun pengetahuannya. Wajahnya memerah karena malu.

Sebuah sepatu sneakers hitam berhenti tepat di samping bukunya. Audrey mendongak, dan napasnya seolah tercekat. Di depannya berdiri seorang cowok dengan tinggi menjulang, jaket kulit hitam yang terbuka menampakkan kaos putih polos, dan rambut hitam yang disisir acak. Wajahnya tegas, dengan rahang keras dan tatapan mata yang tajam seperti elang. Ada tato kecil di lengan kanannya yang terlihat samar di balik lipatan jaket.

Itu dia. Azril.

Nama itu sudah ia dengar bahkan sebelum ia menginjakkan kaki di DUNIABET. Azril si preman sekolah, ketua geng motor yang paling ditakuti. Aura berbahaya memancar kuat darinya. Beberapa siswa yang tadi bergerombol di koridor, kini memilih untuk memberi jarak.

Azril menatap Audrey dengan sorot mata dingin, tanpa ekspresi. Tidak ada senyuman, bahkan tidak ada kerutan di dahinya. Hanya tatapan intens yang membuat bulu kuduk Audrey meremang. Audrey buru-buru mengumpulkan buku-bukunya, berharap bisa lenyap detik itu juga.

"Minggir." Suara Azril dalam dan serak, membuat Audrey tersentak.

Audrey mengangguk cepat, tangannya gemetar saat meraih buku terakhirnya. Ia mencoba berdiri, namun keseimbangannya goyah. Hampir saja ia terjatuh lagi, jika saja Azril tidak sigap meraih lengannya, menahannya agar tidak limbung. Sentuhan singkat itu membuat Audrey terkesiap. Telapak tangan Azril terasa hangat dan kuat.

Azril menarik tangannya dengan cepat, seolah sentuhan itu adalah sengatan listrik. Tatapannya masih tajam, tapi kali ini ada sedikit kerutan samar di antara kedua alisnya, seolah ia baru saja melihat sesuatu yang aneh.

"Lain kali, hati-hati," katanya singkat, lalu berbalik pergi tanpa menunggu jawaban. Gerombolan cowok di belakangnya, yang juga mengenakan jaket serupa Azril, mengikuti di belakangnya, meninggalkan Audrey yang masih terpaku di tempat, dengan buku-buku di dekapannya dan jantung yang berdetak tak karuan.

Ia tahu hari pertamanya di DUNIABET tidak akan berjalan mulus, tapi berurusan dengan Azril di jam pertama? Ini lebih dari sekadar 'tidak mulus'. Ini bencana. Dan yang ia tidak tahu, bencana itu baru saja dimulai, terutama saat sebuah tatapan tajam dari sudut koridor mengamati mereka. Tatapan yang menyimpan api cemburu dari seseorang bernama Cecil.

Audrey mencoba mengabaikan tatapan-tatapan penasaran yang mengikutinya sepanjang pagi. Berita tentang insiden di koridor tampaknya menyebar lebih cepat dari api. Di jam istirahat, saat ia memilih sudut kantin yang paling sepi dengan novel di tangannya, desas-desus itu terdengar jelas.

"Lihat tuh, anak baru itu. Udah berani deket-deket Azril." "Preman kayak Azril mana mau sama cewek cupu begitu?" "Tapi denger-denger Azril tadi nolongin dia," bisik yang lain, "padahal Azril gak pernah peduli sama siapa pun."

Audrey pura-pura tenggelam dalam bukunya, pipinya memanas. Ia tahu, tatapan cemburu yang ia rasakan tadi pagi berasal dari Cecil. Dari kejauhan, ia bisa melihat Cecil duduk di meja paling ramai, dikelilingi oleh antek-anteknya yang tertawa genit. Cecil adalah definisi sempurna dari 'ratu sekolah': rambut panjang hitam berkilau, bibir merah menyala, dan aura dominasi yang mematikan. Sekarang, tatapan matanya mengarah lurus ke Audrey, seolah bisa membakar.

Audrey menelan ludah. Ia tidak mau masalah, tidak mau konflik. Ia hanya ingin belajar, membaca, dan mungkin, suatu hari nanti, lulus dengan tenang. Kenapa harus Azril, preman sekolah itu, yang pertama ia temui?

Pulang sekolah, Audrey memilih jalan pintas melalui taman yang sepi, berharap bisa menghindari keramaian. Namun, nasib seolah punya rencana lain. Tiba-tiba, sebuah motor sport hitam melaju pelan di sampingnya. Jantung Audrey melonjak. Ia tahu siapa pengendaranya bahkan sebelum ia menoleh.

Azril.

Motor itu berhenti tepat di sampingnya. Azril melepas helmnya, rambut hitamnya sedikit berantakan. Tatapannya masih tajam, tapi kali ini tidak sedingin tadi pagi. Ada sesuatu yang sulit diartikan di sana.

"Baru pindah?" tanya Azril, suaranya sedikit lebih lembut dari yang Audrey bayangkan.

Audrey mengangguk kaku, memeluk bukunya erat. "I-iya."

Azril menyeringai tipis, sebuah ekspresi yang nyaris tidak terlihat namun cukup membuat Audrey terkejut. "Jaga diri baik-baik di DUNIABET. Di sini bukan cuma tentang buku."

Sebuah peringatan? Atau ancaman? Audrey tidak tahu. Ia hanya ingin lari.

"Audrey," lanjut Azril, menyebut namanya. Audrey terkesiap, terkejut Azril tahu namanya. "Gue Azril."

Azril tidak menunggu jawaban. Ia memakai helmnya lagi, lalu melaju pergi dengan raungan mesin motornya. Audrey terpaku di tempat, merasa campur aduk antara takut, bingung, dan... entah kenapa, sedikit penasaran.

Di saat yang sama, di ujung jalan, Cecil baru saja keluar dari mobil sport mewahnya. Ia melihat Azril melaju menjauh, dan kemudian matanya menangkap siluet Audrey yang masih berdiri di taman. Ekspresi di wajah Cecil berubah. Senyum manisnya lenyap, digantikan oleh kerutan tajam.

"Jadi, ini caramu menyambut anak baru di sekolah kita, Azril?" gumam Cecil pelan, namun nadanya dipenuhi amarah. "Kau bahkan belum tahu siapa dia sebenarnya."

Cecil tidak pernah suka kalau ada yang menarik perhatian Azril darinya. Dan Audrey, si gadis cupu berkacamata itu, baru saja masuk ke dalam daftar hitamnya.

Keesokan harinya, suasana di SMA DUNIABET terasa lebih mencekam bagi Audrey. Setiap langkahnya di koridor terasa diawasi. Bisikan-bisikan tentang dirinya dan Azril semakin santer terdengar, dan Audrey tahu siapa dalang di baliknya.

Saat jam makan siang, Audrey memutuskan untuk makan di perpustakaan, tempat ia merasa paling aman. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Pintu perpustakaan terbuka dengan suara berderit, dan siluet tinggi seorang gadis muncul di ambang pintu.

Cecil.

Ia tidak sendirian. Di belakangnya, dua gadis dengan riasan tebal dan tatapan sinis mengikutinya seperti bayangan. Audrey menunduk, berharap Cecil tidak melihatnya. Tapi itu adalah harapan yang sia-sia.

Langkah kaki Cecil yang berirama memenuhi keheningan perpustakaan, berhenti tepat di meja Audrey. Audrey mendongak perlahan, jantungnya berdegup kencang. Wajah Cecil yang biasanya cantik kini terlihat dingin dan penuh amarah.

"Jadi, ini 'anak baru' yang lagi jadi omongan?" Suara Cecil terdengar manis, namun ada nada mengancam yang terselip di setiap katanya. Ia menatap Audrey dari atas ke bawah, seolah menilai barang murahan. "Namamu siapa? Audrey, ya?"

Audrey mengangguk kaku, tidak berani menatap mata Cecil. "I-iya."

Cecil tersenyum sinis. "Dengar, Audrey. Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, atau kenapa kau mencoba menarik perhatian Azril. Tapi aku sarankan, jangan pernah dekat-dekat dengannya."

Salah satu teman Cecil terkikik. "Azril itu milik Cecil. Jangan coba-coba merebutnya, ya."

Audrey merasa wajahnya memerah padam. "Aku tidak... aku tidak bermaksud apa-apa," katanya pelan, suaranya nyaris tidak terdengar. "Aku hanya... tersandung."

"Tersandung?" Cecil mengangkat satu alisnya, ekspresinya meremehkan. "Alasan klasik. Dengar, DUNIABET ini punya aturannya sendiri. Dan aturanku adalah: jangan sentuh apa yang jadi milikku."

Cecil mendekat, mencondongkan tubuhnya ke arah Audrey. Aroma parfumnya yang kuat membuat Audrey sedikit pusing. "Azril itu pacarku. Dan dia akan tetap jadi pacarku. Jadi, jauhkan dirimu dari dia. Paham?"

Audrey hanya bisa mengangguk, tenggorokannya tercekat. Ia merasa sangat kecil di hadapan Cecil yang dominan.

Cecil tersenyum puas, lalu menegakkan tubuhnya. "Bagus. Aku harap kau mengerti. Jangan sampai aku harus memberimu pelajaran yang lebih keras."

Dengan itu, Cecil berbalik dan berjalan keluar perpustakaan, diikuti oleh kedua temannya yang masih terkikik. Audrey terdiam, napasnya tersengal. Buku yang tadi ia baca kini terasa berat di tangannya. Peringatan Cecil terasa begitu nyata, begitu mengancam.

Ia tahu ia harus menjauhi Azril. Tapi bagaimana jika Azril yang justru mendekatinya? Dan bagaimana ia bisa menghindari konflik ini jika Azril terus menunjukkan ketertarikan padanya? Audrey merasa terjebak dalam masalah yang tidak pernah ia minta.

Audrey mencoba sekuat tenaga untuk menghindari Azril. Ia mengambil rute memutar ke kelas, makan siang di sudut perpustakaan yang paling terpencil, bahkan sengaja pulang terlambat hanya untuk memastikan Azril tidak lagi muncul di hadapannya. Peringatan Cecil menggema di telinganya, memicu rasa takut yang belum pernah ia rasakan.

Namun, nasib seolah bermain-main dengannya.

Suatu sore, saat Audrey terpaksa melewati parkiran motor sekolah untuk mengambil buku yang tertinggal di lokernya, ia melihat Azril bersandar di motornya, dikelilingi oleh gengnya. Jantung Audrey mencelos. Ia berusaha berjalan cepat, menunduk, dan berpura-pura tidak melihat.

"Hei, anak baru!"

Suara Azril membelah udara. Audrey berhenti mendadak, tubuhnya menegang. Ia berbalik perlahan, menemukan Azril berjalan santai ke arahnya, senyum tipis yang entah kenapa membuat Audrey merasa semakin tidak nyaman.

"Kok buru-buru?" tanya Azril, berhenti beberapa langkah di depannya. "Gue mau ngajak lo ngobrol."

Audrey menggeleng. "Aku... aku harus pulang. Ada tugas."

Azril mengangkat alisnya. "Tugas? Lo nggak mau tahu kenapa gue tolongin lo kemarin?"

Audrey diam. Ia memang penasaran, tapi rasa takutnya lebih besar.

"Kenapa diam aja?" Azril melangkah lebih dekat, auranya yang dominan terasa menekan. "Gue nggak gigit, kok."

Saat Azril semakin mendekat, sebuah bayangan tiba-tiba muncul di antara mereka. Cecil! Ia muncul entah dari mana, wajahnya memerah karena marah, matanya menatap tajam ke arah Audrey.

"Jadi ini yang kamu lakukan, Azril?" Suara Cecil terdengar melengking, penuh amarah. "Di belakangku?"

Azril menoleh, rahangnya mengeras. "Bukan urusan lo, Cecil."

"Bukan urusanku?" Cecil tertawa sinis, tawa yang tak sampai ke matanya. "Dia itu siapa? Gadis cupu ini? Kau bercanda denganku, Azril?" Cecil lalu mengalihkan tatapannya yang penuh kebencian pada Audrey. "Kau benar-benar tidak dengar peringatanku, ya?!"

Audrey mundur selangkah, terkejut melihat kemarahan Cecil yang membara.

"Audrey, gue nggak mau lo kenapa-kenapa," Azril menatap Audrey, ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Mending lo pergi sekarang."

Audrey tidak butuh diperintah dua kali. Ia berbalik dan berlari secepat mungkin, meninggalkan Azril dan Cecil yang bertengkar di belakangnya. Ia mendengar teriakan Cecil yang memekakkan telinga, "Awas kau, Audrey!"

Malam harinya, Audrey tidak bisa tidur. Ancaman Cecil terasa begitu nyata. Ia tahu, Cecil bukan tipe yang hanya menggertak. Esok hari, pasti akan ada sesuatu yang lebih buruk menantinya.

Dan benar saja. Pagi berikutnya, saat Audrey sampai di lokernya, ia melihat sesuatu yang membuatnya pucat pasi. Lokernya terbuka paksa, dan di dalamnya, buku fisika kesayangannya tergeletak robek, halaman-halamannya tercabik-cabik. Di atas tumpukan kertas yang hancur, ada sebuah mawar merah yang kelopaknya sudah layu dan terinjak-injak, seolah baru saja dihancurkan.

Di cermin loker, yang kini retak di sudutnya, tertulis pesan dengan spidol merah terang:

JAUHI DIA. KAU SUDAH DIBERI PERINGATAN.

Audrey terisak pelan. Ini bukan lagi sekadar ancaman lisan. Ini adalah serangan. Dan ia tahu pasti siapa pelakunya. Cecil tidak main-main.

Isakan Audrey menarik perhatian seorang siswa yang kebetulan lewat. Berita tentang loker Audrey yang dirusak menyebar cepat, dan tidak lama kemudian, kabar itu sampai ke telinga Azril.

Azril tidak lagi terlihat dingin atau acuh. Wajahnya mengeras, rahangnya terkatup rapat, dan matanya menyala dengan amarah yang jarang terlihat. Ia tahu betul siapa pelakunya. Tanpa ragu, Azril melangkah cepat menuju kelas Cecil.

Cecil sedang tertawa riang bersama teman-temannya di dalam kelas, merasa puas dengan aksinya. Namun, tawa itu langsung lenyap saat Azril muncul di ambang pintu, auranya begitu gelap dan mengancam sehingga seluruh kelas terdiam.

Azril berjalan lurus menghampiri meja Cecil. Teman-teman Cecil buru-buru menyingkir, meninggalkan Cecil sendirian, terdiam kaku di kursinya.

"Lo... kenapa, Ril?" tanya Cecil, mencoba terdengar tenang, tapi suaranya bergetar.

Azril mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya bertumpu di meja, menatap Cecil dengan sorot mata yang penuh peringatan. "Apa yang lo lakuin ke Audrey?" Suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi mengandung ancaman yang lebih tajam dari teriakan apa pun.

Cecil mengerutkan kening. "Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apa-apa."

"Jangan bohong, Cecil," desis Azril, matanya tak berkedip. "Gue tahu lo yang ngerusak loker dia. Gue tahu lo yang ngancam dia."

Wajah Cecil pucat. Ia tidak menyangka Azril akan semarah ini, dan akan tahu secepat ini. "Dia pantas mendapatkannya, Ril! Dia mencoba ngerebut kamu dari aku!"

Azril menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. "Dengar baik-baik, Cecil. Ini peringatan terakhir gue." Ia menegakkan tubuh, menatap Cecil dengan tatapan yang membuat Cecil tahu Azril serius.

"Kalau sampai lo sentuh Audrey lagi, atau lo berani ngancam dia sekecil apa pun... gue bakal putus dari lo."

Cecil terkesiap, matanya membelalak tak percaya. "Apa?! Kamu nggak bisa begitu, Azril! Kita sudah bersama!"

"Gue nggak peduli," kata Azril dingin. "Gue nggak suka cara lo main kotor. Kalau lo berani nyentuh dia lagi, hubungan kita selesai. Ngerti?"

Azril tidak menunggu jawaban. Ia berbalik dan meninggalkan kelas, meninggalkan Cecil yang membeku di tempatnya, menatap punggung Azril dengan campuran kaget, amarah, dan ketakutan. Ancaman Azril terasa begitu nyata, membuat dunia Cecil seolah runtuh. Ini adalah pertama kalinya Azril benar-benar melindung seseorang selain dirinya, dan itu adalah Audrey, gadis cupu yang baru datang.

Sementara itu, Audrey yang masih berusaha menenangkan diri di sudut sekolah, tidak tahu bahwa sebuah badai baru saja ia ciptakan, dan Azril baru saja mempertaruhkan hubungannya demi melindunginya.

Kabar tentang Azril yang menegur Cecil di depan umum menyebar lebih cepat dari rumor apa pun di DUNIABET. Ada yang tak percaya, ada yang bersorak dalam diam, tapi sebagian besar hanya terheran-heran. Azril, sang preman sekolah yang tak peduli, membela seorang gadis cupu.

Audrey mendengarnya dari bisik-bisik di koridor. Hatinya mencelos. Ia tidak tahu harus merasa takut atau lega. Takut karena tindakannya itu pasti akan membuat Cecil semakin membencinya, tapi lega karena... Azril membelanya? Kenapa?

Ia menghabiskan sisa jam pelajaran dengan gelisah. Saat istirahat, Audrey memilih bersembunyi di perpustakaan lagi, kali ini di sudut yang lebih terpencil di antara rak-rak buku tua. Namun, ketenangan itu kembali terpecah. Sebuah bayangan jatuh di mejanya.

Audrey mendongak dan melihat Azril berdiri di sana, tanpa jaket kulitnya, hanya kaos hitam polos yang menampilkan otot lengannya yang terbentuk. Ia membawa dua botol minuman dingin.

"Gue denger loker lo dirusak," kata Azril tanpa basa-basi, suaranya lebih lembut dari biasanya. Ia meletakkan salah satu botol di meja Audrey. "Buat lo."

Audrey menatap botol itu, lalu beralih ke wajah Azril. Tatapannya masih tajam, namun kali ini ada semacam... penyesalan? Atau kekhawatiran? Audrey tidak yakin.

"Kenapa... kenapa kamu melakukan itu?" tanya Audrey pelan, nyaris berbisik. "Kenapa kamu membela aku?"

Azril menyandarkan bahunya ke rak buku, menatap Audrey lurus. "Karena itu salah. Lo nggak salah apa-apa." Ia lalu menghela napas. "Dan karena dia emang udah keterlaluan."

Audrey merasa pipinya memanas. "Cecil... dia pasti makin marah sama aku."

"Itu urusan gue," Azril berkata tegas. "Gue udah bilang ke dia. Kalau dia macam-macam lagi, gue putus."

Hening. Audrey tidak tahu harus merespons apa. Seorang preman sekolah, ketua geng motor, rela putus dengan pacarnya yang paling populer demi membela gadis cupu sepertinya. Ini seperti skenario di novel yang sering ia baca, tapi terasa aneh dan tidak nyata.

"Gue juga udah bilang ke orang-orang geng gue. Nggak ada yang boleh ganggu lo," tambah Azril, seolah membaca pikirannya. "Kalau ada yang berani, lapor ke gue."

Audrey tertegun. Ia merasa semacam proteksi yang kuat melingkupinya, tapi di sisi lain, ia juga merasa terperangkap dalam masalah yang lebih besar. Azril kini secara terang-terangan menjadikannya "urusan"nya, dan itu artinya Cecil tidak akan tinggal diam. Audrey menatap botol minum di depannya. Dinginnya menyengat jari. Ia tahu, bayangan Cecil tidak akan pernah lepas dari dirinya selama Azril terus mendekat.

Sejak kejadian di perpustakaan, Azril mulai menunjukkan perhatian yang lebih terang-terangan pada Audrey. Ia sering terlihat di dekat kelas Audrey saat jam ganti pelajaran, atau kadang hanya berdiri di kejauhan, memastikan tidak ada yang mengganggu gadis itu. Teman-teman gengnya pun, mengikuti instruksi Azril, bersikap netral bahkan sesekali melempar senyum canggung pada Audrey. Situasi ini membuat Audrey merasa dilema. Di satu sisi, ia merasa aman dari gangguan siswa lain, tapi di sisi lain, perhatian Azril justru menarik lebih banyak mata dan bisikan.

Cecil, setelah ultimatum Azril, memang tidak lagi mengancam secara langsung. Namun, auranya yang dingin dan tatapan matanya yang penuh dendam setiap kali melihat Audrey sudah cukup menjadi ancaman tersendiri. Ia mulai menggalang 'kekuatan'nya sendiri, menyebarkan desas-desus yang lebih kejam tentang Audrey, mencoba mengisolasi gadis itu dari siswa lain. Audrey sering menemukan mejanya dipenuhi coretan, atau lokernya dilem dengan permen karet. Itu adalah serangan diam-diam yang lebih sulit dibuktikan.

Suatu sore, saat pulang sekolah, hujan turun begitu deras. Audrey tidak membawa payung. Ia berdiri di halte bus yang sepi, menggigil kedinginan. Tiba-tiba, sebuah motor berhenti di depannya. Azril.

"Nggak bawa payung?" tanya Azril, melepas helmnya. Rambutnya sedikit basah.

Audrey menggeleng.

"Naik," perintah Azril. "Gue anter."

Audrey ragu. Ia tahu ini akan semakin memperburuk situasi dengan Cecil, tapi hawa dingin sudah menusuk tulangnya. "Tapi..."

"Nggak ada 'tapi'," potong Azril. "Naik."

Dengan berat hati, Audrey naik ke boncengan motor Azril. Ia merasa canggung memeluk pinggang Azril agar tidak terjatuh. Aroma jaket kulit Azril yang khas, perpaduan bensin dan parfum maskulin, memenuhi indranya. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bicara. Hanya suara hujan dan deru motor. Entah kenapa, di tengah dinginnya hujan, Audrey merasa sedikit... hangat dan aman.

Saat tiba di depan rumah Audrey, Azril hanya mengangguk singkat. "Besok, jangan lupa bawa payung."

"Makasih," kata Audrey pelan.

Azril hanya menatapnya sejenak, tatapan yang sulit diartikan, lalu melaju pergi. Audrey berdiri di depan rumahnya, menatap kepergian Azril. Hatinya berdesir. Mungkin, preman sekolah ini tidak seburuk yang ia duga. Mungkin, ada sesuatu yang lain di balik tatapan tajam dan sikap dinginnya.

Sejak kejadian hujan itu, interaksi antara Audrey dan Azril menjadi lebih sering, meski masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari pantauan Cecil. Azril sering menunggu Audrey di gerbang belakang sekolah atau mengantar Audrey pulang jika hujan. Audrey sendiri mulai terbiasa dengan kehadiran Azril, bahkan mulai merasa nyaman. Ia melihat Azril yang berbeda: perhatian, tenang, dan kadang-kadang, sedikit canggung. Ia bahkan pernah memergoki Azril membaca buku komik di sudut kantin yang sepi.

Suatu hari, Azril mengirimkan pesan singkat ke ponsel Audrey – nomornya ia dapat entah dari mana.

Temuin gue di kafe dekat taman kota, habis pulang sekolah. Penting.

Audrey awalnya ragu, tapi rasa penasarannya lebih besar. Setelah pulang sekolah, ia memberanikan diri pergi ke kafe yang dimaksud. Azril sudah menunggu di sana, duduk di meja pojok, menyeruput kopi hitam. Ia tidak memakai jaket kulitnya, hanya kemeja flanel. Terlihat lebih... normal.

"Ada apa?" tanya Audrey begitu ia duduk.

Azril meletakkan kopinya. "Gue mau ngomong sesuatu." Ia menghela napas. "Cecil... dia makin gila."

Audrey menegang. "Kenapa?"

"Gue denger, dia nyewa orang buat nyebarin fitnah tentang lo di internet," kata Azril, suaranya serius. "Foto-foto editan, cerita bohong. Reputasi lo bisa hancur."

Audrey merasa dunianya runtuh. Ini lebih buruk dari loker yang dirusak atau ancaman lisan. Ini adalah serangan yang bisa menghancurkan masa depannya. "Apa... apa yang harus aku lakukan?" Air matanya mulai menggenang.

Azril menatap Audrey dengan sorot mata lembut yang belum pernah Audrey lihat. "Gue nggak akan biarin itu terjadi. Tapi... ini bakal jadi perang yang lebih besar. Lo nggak bisa sendiri."

Ia mengambil napas dalam-dalam. "Gue... gue nggak tahu kenapa, tapi gue ngerasa harus lindungin lo, Aud. Sejak pertama kali ketemu lo, ada yang beda."

Audrey menatap Azril, terkejut dengan pengakuannya. Ia melihat kejujuran di mata preman itu. Ia merasakan detak jantungnya sendiri berpacu. Azril, sang preman sekolah, menyatakan perasaannya secara tidak langsung.

"Gue putus sama Cecil," Azril melanjutkan, suaranya datar. "Dia nggak terima. Makanya dia ngelakuin ini. Gue udah mencoba cara baik-baik, tapi dia nggak denger."

Audrey terpaku. Azril benar-benar melakukan apa yang ia katakan. Ia mengakhiri hubungannya demi Audrey.

"Lo mau nggak..." Azril ragu, sedikit terlihat gugup. "Lo mau nggak... kita hadapi ini bareng?"

Audrey menatap Azril, pria yang dulu ia takuti, kini menawarkan perlindungan. Ini adalah pertaruhan besar. Tetapi melihat ketulusan di mata Azril, Audrey merasa ada secercah harapan. Mungkin, ia tidak sendirian lagi.

Kabar putusnya Azril dan Cecil langsung menjadi topik utama di SMA DUNIABET. Sementara itu, fitnah dan foto editan tentang Audrey mulai menyebar di media sosial sekolah. Akun-akun anonim bermunculan, menyebarkan kebohongan tentang Audrey yang disebut sebagai 'perebut pacar' dan 'gadis murahan'. Audrey merasa terpuruk, reputasinya hancur dalam semalam. Ia tidak berani menatap siapa pun di sekolah.

Azril, mengetahui hal ini, naik pitam. Ia tidak bisa lagi menahan diri. Di jam istirahat, ia menarik Audrey yang sedang menangis di pojok koridor.

"Kita nggak bisa diam aja, Aud," kata Azril, matanya penuh tekad. "Kita harus lawan."

Azril membawa Audrey ke kantin yang sedang ramai. Semua mata tertuju pada mereka. Cecil dan gengnya terlihat sinis di salah satu meja.

Azril menggenggam tangan Audrey, mengejutkan Audrey dan semua orang di kantin. "Dengar semuanya!" suara Azril menggelegar, membungkam semua bisikan. "Gue tahu siapa yang nyebarin fitnah tentang Audrey!"

Mata Azril menatap tajam ke arah Cecil. "Cecil, lo yang nyebarin itu semua, kan?!"

Cecil pucat pasi. "Apaan sih, Ril! Ngawur aja kamu!"

"Nggak usah bohong!" Azril berteriak. "Gue putus sama lo bukan karena Audrey, tapi karena lo itu obsesif dan bahaya! Audrey nggak ada hubungannya sama ini!"

Kantin hening. Lalu, Azril berbalik menatap Audrey. Ada keraguan, tapi juga keteguhan di matanya. Ia lalu menatap seluruh isi kantin.

"Dengar semuanya," kata Azril, suaranya lebih lembut namun penuh kekuatan. "Audrey nggak seperti yang kalian kira. Dia... dia cewek yang baik. Dia nggak pantas diginiin."

Ia menatap Audrey, dan tatapan itu mengandung sesuatu yang membuat jantung Audrey berdebar kencang. "Gue nggak peduli kalian mau ngomong apa tentang gue atau dia. Karena... karena gue suka sama Audrey."

Sebuah bisikan kaget menyebar di kantin. Audrey terbelalak, tak percaya Azril akan mengatakan hal itu di depan semua orang. Cecil yang mendengar itu, bangkit berdiri dengan wajah merah padam karena amarah dan penghinaan.

"Kamu?!" Cecil berteriak, maju menerjang Audrey. Namun, Azril sigap berdiri di depan Audrey, menghalangi Cecil.

"Udah cukup, Cecil!" Azril membentak, matanya berkilat marah. "Kalau lo maju selangkah lagi, gue nggak akan segan-segan ngelaporin semua perbuatan lo ke kepala sekolah!"

Ancaman itu berhasil membuat Cecil terdiam. Ia tahu Azril tidak main-main. Dengan wajah hancur dan air mata yang mengalir, Cecil berbalik dan berlari keluar kantin, diikuti oleh teman-temannya.

Audrey masih terpaku, menatap Azril yang kini menatapnya dengan lembut. "Gue serius, Aud."

Air mata mengalir di pipi Audrey, bukan karena sedih, tapi karena lega dan... terharu. Ia tidak menyangka Azril akan mempertaruhkan segalanya untuknya. Ia merasakan genggaman tangan Azril mengerat, dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa takut lagi.

Setelah insiden di kantin, situasi di DUNIABET berangsur pulih. Pihak sekolah akhirnya turun tangan setelah laporan dan bukti-bukti fitnah online yang dikumpulkan Azril (dengan bantuan teman-temannya yang diam-diam merekam aksi Cecil). Cecil dikenai sanksi, dan desas-desus tentang Audrey pun mereda. Namun, efek dari pengakuan Azril di kantin tidak bisa dihapus. Mereka menjadi pusat perhatian yang berbeda.

Azril tidak lagi menyembunyikan perhatiannya pada Audrey. Ia sering menemani Audrey saat makan siang, bahkan kadang duduk di perpustakaan bersamanya, meski hanya untuk tidur siang sementara Audrey membaca. Para siswa masih terkejut, namun perlahan mulai terbiasa melihat Azril yang lembut di samping Audrey yang pemalu. Geng motor Azril pun kini memiliki "maskot" baru yang harus mereka lindungi.

Suatu sore, Azril mengajak Audrey ke taman yang dulu menjadi saksi pertemuan singkat mereka di tengah hujan. Mereka duduk di bangku di bawah pohon rindang.

"Lo udah nggak takut lagi sama gue?" tanya Azril tiba-tiba, menatap langit.

Audrey tersenyum kecil. "Nggak. Aku malah... makasih banget sama kamu, Ril."

Azril menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. "Lo tahu, gue nggak pernah nyangka bakal suka sama cewek kayak lo. Yang hobinya cuma baca buku."

"Aku juga," balas Audrey, menatap Azril. "Aku nggak pernah nyangka bakal suka sama... preman sekolah."

Azril tertawa pelan. "Jadi, lo beneran suka sama gue?"

Audrey merona. "Mungkin. Sedikit."

Azril mendekat, meraih tangan Audrey. Kali ini, tidak ada kecanggungan. Hanya kehangatan yang mengalir. "Gue nggak maksa lo jadi apa-apa, Aud. Gue cuma pengen lo tahu, gue serius sama lo."

Audrey menatap Azril, di matanya ia melihat lebih dari sekadar preman. Ia melihat seseorang yang berani, protektif, dan memiliki hati yang tulus di balik citra kasarnya. Ia melihat Azril yang mempertaruhkan segalanya untuknya.

"Aku juga serius," kata Audrey, suaranya tegas. "Aku mau coba."

Azril tersenyum lebar, senyum yang jarang ia tunjukkan, dan itu membuat wajahnya terlihat tampan dan ramah. Ia meremas tangan Audrey pelan.

Mulai hari itu, di SMA DUNIABET, kisah Audrey si kutubuku pemalu dan Azril si preman sekolah yang menakutkan, dimulai. Sebuah kisah tentang dua dunia yang berbeda, yang menemukan titik temu di tengah badai drama remaja, membuktikan bahwa cinta bisa tumbuh di tempat yang paling tak terduga, mengubah segalanya, dan menciptakan babak baru yang penuh warna.