WebNovels

Chapter 2 - Aroma Kesenangan di Teluk Tenang dan Bisikan Akar Busuk

Matahari pagi mulai merangkak naik, menyusup di antara dedaunan lebat Hutan Teluk Tenang, menebarkan cahaya keemasan yang hangat. Aroma tanah basah dan embun pagi terasa segar, seolah menghapus sisa-sisa bau perampok dan lumpur parit dari udara. Pangeran Kenthir melangkah santai di jalan setapak, bersenandung riang. Sesekali ia mencium Kapak Ketiak Wangi-nya. "Hmm, sudah tidak terlalu bau ketiak kura-kura lagi. Lumayan, ini bau sabun colek dicampur bau melati. Kapakku memang aneh!" gumamnya, terkekeh sendiri.

Tak lama, suara ramai terdengar dari kejauhan. Pangeran Kenthir tersenyum lebar. Itu pasti Desa Teluk Tenang, tempat yang menurut petunjuk Mbah Gundul Sejati, mungkin punya camilan enak. Dan benar saja, begitu ia memasuki gerbang desa, aroma sedap masakan langsung menyergap hidungnya: bau ikan bakar, sayur asem, dan kerupuk udang yang renyah. Perut Pangeran Kenthir langsung berbunyi "kruyuk-kruyuk" seolah menyambut aroma surgawi itu.

Warga desa menyambutnya dengan tatapan heran bercampur lega. Berita tentang pendekar nyentrik yang mengalahkan para perampok dengan "ilmu bau-bauan" sudah menyebar cepat. Kakek dan cucu yang ia tolong kemarin berlari menghampirinya.

"Tuan Pangeran Kenthir!" seru si kakek, matanya berbinar. "Syukurlah Tuan sudah sampai! Kami sedang merayakan keberanian Tuan. Ayo, mari makan bersama!"

Pangeran Kenthir, tanpa sungkan, langsung melesat ke meja makan yang penuh hidangan. "Wah, ini baru namanya hidup! Pendekar itu harus makan enak, biar jurusnya makin mantap!" Ia segera meraih sepotong ikan bakar besar dan melahapnya dengan lahap. Warga tertawa melihat tingkahnya yang polos dan lucu.

Di tengah keramaian itu, seorang wanita tua dengan rambut di sanggul tinggi dan sorot mata tajam menghampirinya. Ia adalah Nenek Gemblong, sesepuh Desa Teluk Tenang yang terkenal bijaksana dan konon punya ilmu titisan leluhur. Nenek Gemblong menatap Pangeran Kenthir dengan tatapan menelisik.

"Anak muda," katanya, suaranya tenang namun berwibawa. "Kami berterima kasih atas pertolonganmu. Para perampok itu sudah lama meresahkan kami. Tapi... ada hal lain yang lebih besar mengganggu desa kami, dan sepertinya kaulah yang ditakdirkan untuk menghadapinya."

Pangeran Kenthir menghentikan kunyahannya. "Oh ya? Masalah apa lagi, Nek? Kalau soal cucian kotor menumpuk, saya kurang ahli. Tapi kalau masalah perut lapar, saya jagonya!"

Nenek Gemblong tersenyum tipis. "Bukan itu. Akhir-akhir ini, panen kami selalu gagal. Tanaman layu sebelum waktunya, dan sumur-sumur desa mengering, padahal musim hujan belum habis. Lebih parah lagi, setiap malam, terdengar bisikan aneh dari arah hutan di utara, dan aroma busuk yang tak wajar mulai tercium, semakin kuat setiap harinya." Nenek Gemblong menatap Kapak Ketiak Wangi di pinggang Pangeran Kenthir. "Aku tahu kau punya indra penciuman yang tajam. Kapakmu... memancarkan aura aneh yang bisa merasakan hal-hal tak terlihat."

Pangeran Kenthir mengangguk serius. "Betul, Nek. Aroma busuk itu yang membawa saya kemari. Kata guru saya, itu petunjuk masalah baru." Ia menyentuhkan Kapak Ketiak Wangi-nya ke tanah di bawah meja. Bilah kapak bergetar samar, dan aroma busuk yang tadi ia cium kini terasa lebih pekat, seperti bau bangkai yang membusuk di bawah tanah. Kilatan bayangan samar muncul di benaknya: akar-akar pohon yang menghitam dan sesosok bayangan ramping yang menari-nari di tengah kabut.

"Ini bukan bau busuk biasa, Nek," kata Pangeran Kenthir, suaranya kini serius. "Ini bau seperti... jiwa yang busuk. Ada energi negatif yang menggerogoti tanah ini dari dalam."

Nenek Gemblong menghela napas. "Sudah kuduga. Aku pernah mendengar kisah dari leluhur. Kisah tentang 'Tanah yang Menangis', tempat yang konon akan dikuasai oleh kegelapan yang menguras kehidupan. Aroma itu... seperti desas-desus tentang Murka Gelap Jiwa, si Tukang Ngorok Maut. Ia dikabarkan sedang mencari kekuatan kuno yang tersembunyi di tempat seperti itu."

Pangeran Kenthir menatap Nenek Gemblong dengan mata membulat. "Murka Gelap Jiwa? Si Tukang Ngorok Maut itu? Wah, padahal saya kira cuma ngorok pas tidur. Ternyata ngoroknya bisa menghisap kekuatan!" Ia menggaruk kepalanya. "Tapi, Nek, 'Tanah yang Menangis' itu di mana?"

"Di balik Hutan Bisikan Angin di utara desa ini," jawab Nenek Gemblong. "Hutan itu sekarang dihuni oleh Nona Kribo Ilusi, pendekar yang gemar menyebarkan kabut ilusi dan menguras semangat hidup. Jika Murka Gelap Jiwa memang ada di balik itu, maka Nona Kribo Ilusi pasti adalah pembuka jalannya."

Pangeran Kenthir mengangguk. Petunjuk Mbah Gundul Sejati kian jelas. Ia harus melewati Hutan Bisikan Angin dan menghadapi Nona Kribo Ilusi untuk menuju jejak Murka Gelap Jiwa.

"Baiklah, Nek!" Pangeran Kenthir berdiri, mengencangkan ikatan jubahnya. "Saya akan ke sana. Pendekar tidak boleh diam saja kalau ada yang mengganggu ketenangan dan panen warga!"

Pangeran Kenthir menghabiskan sisa hari di Desa Teluk Tenang. Ia membantu warga membereskan sisa-sisa perampokan, dan dengan Kapak Ketiak Wangi-nya, ia mencoba menyerap sedikit "aroma busuk jiwa" yang merasuki tanah agar tanamannya tidak terlalu layu. Kapaknya bergetar dan mengeluarkan bau seperti "bau ketiak naga yang baru bangun tidur" saat menyerapnya, membuat beberapa warga terhuyung.

Menjelang senja, saat Pangeran Kenthir bersiap untuk melanjutkan perjalanan, ia menyempatkan diri untuk menghampiri sumur desa yang kering. Ia menyentuhkan Kapak Ketiak Wangi-nya ke dasar sumur. Bilah kapak itu bergetar lebih kuat, dan dari sumur, muncul bayangan samar-samar: siluet tetesan air yang menghilang ke dalam tanah yang retak, dan sebuah akar besar yang menghitam jauh di dalam bumi, seolah mengisap kehidupan dari segala penjuru.

"Akar ini... sumbernya," gumam Pangeran Kenthir. "Murka Gelap Jiwa pasti menggunakan akar itu untuk menguras kekuatan tanah."

Tiba-tiba, dari arah gerbang desa, terdengar suara keributan. Beberapa warga berteriak panik. "Ada orang asing! Dia menari-nari di pinggir hutan!"

Pangeran Kenthir segera melesat ke arah suara. Di pinggir Hutan Bisikan Angin, seorang wanita muda sedang menari. Pakaiannya adalah gaun sutra berwarna biru langit, dan rambut hitam panjangnya terurai, dihiasi jepit perak berbentuk bintang. Gerakannya sangat anggun, seolah meniru gerakan angin, namun ada kepanikan samar di matanya. Di tangannya, ia mengibas-ngibaskan sebuah Selendang Pelangi Senyum yang sesekali memancarkan kilauan aneh.

Wanita itu, Cempluk Ceria, Sang Penari Angin Malam, tampak sedang kesulitan. Di sekelilingnya, udara terasa berat, dan beberapa ranting pohon kering tiba-tiba melesat ke arahnya, seolah ada yang mengendalikannya dari dalam hutan.

"Aduh, angin ini kenapa jadi bandel begini?" gumam Cempluk Ceria, mencoba menangkis ranting-ranting dengan selendangnya. "Aku kan cuma mau menari!"

Pangeran Kenthir menyeringai. "Wah, wah, wah. Ada gadis cantik sedang menari di tengah hutan yang lagi ngambek? Ini pasti namanya pertunjukan yang gratis!"

Ia melompat ke tengah-tengah. "Nona Penari! Butuh bantuan? Ranting-ranting ini sepertinya iri melihat tarianmu yang indah!"

Cempluk Ceria terkejut melihat Pangeran Kenthir, namun sesaat kemudian ia tersenyum geli. "Tuan Pendekar Kocak! Senang bertemu lagi! Ranting-ranting ini sepertinya dikendalikan oleh sesuatu yang jahat."

Tiba-tiba, dari dalam Hutan Bisikan Angin yang semakin gelap, terdengar suara tawa melengking, dingin dan menusuk. Kabut tipis mulai merayap keluar dari pepohonan, membawa aroma aneh, seperti bau jamur busuk.

"Ilusi..." bisik Pangeran Kenthir, Kapak Ketiak Wangi-nya sedikit bergetar, mengeluarkan bau seperti "roti bakar gosong". "Nah, ini baru namanya masalah. Dan baunya... seperti ada yang mau iseng!"

More Chapters