WebNovels

Chapter 14 - Eps14: Antara Dua Cahaya

Langit pagi di Kota Aurath perlahan mulai terbuka. Awan bergeser, dan sinar matahari menembus jendela kuil, menyinari wajah Elira yang baru saja tersadar.

Ia mengerjapkan mata pelan, lalu menghela napas.

“Sudah pagi?” gumamnya.

Dari kursi di samping tempat tidurnya, Abbas langsung berdiri. “Elira... kau sadar.”

Elira menoleh perlahan. Matanya lemah, tapi ada kehangatan yang belum pernah Abbas lihat sebelumnya. Ia tersenyum kecil. “Kau menepati janji.”

Abbas menunduk, suaranya rendah. “Aku takut kehilanganmu.”

“Dan aku takut... melihatmu hilang di antara cahaya yang membakar jiwamu,” bisik Elira. Ia meraih tangan Abbas dan menggenggamnya lemah. “Apa yang terjadi? Aku hanya ingat pedang Zhun menembusku.”

“Kau hampir mati,” jawab Abbas jujur. “Tapi aku mengorbankan sebagian Solara untuk menyelamatkanmu.”

Mata Elira melebar. “Tidak... Abbas, itu kekuatanmu!”

“Bukan. Itu bukan milikku,” potong Abbas. “Cahaya itu hanya alat. Tapi alasan kenapa aku masih bertahan... itu karena kau.”

Hening sejenak.

Elira menggigit bibir bawahnya. “Abbas... ada sesuatu yang harus kau tahu.”

Abbas menatapnya dengan lembut. “Tentang Zhun?”

Elira mengangguk perlahan. “Dia dulu manusia. Seorang pelindung. Seperti kita. Tapi dia adalah... kakakku.”

Abbas membeku.

“Aku menyaksikan sendiri saat ia berubah. Dikhianati oleh dunia, dikhianati oleh cahaya yang tak memberinya pilihan. Ia memilih bayangan karena hanya itu yang tidak menghakiminya,” lanjut Elira, suara gemetar.

“Kenapa kau tak pernah bilang?”

“Aku takut... jika kau tahu, kau akan menganggapku seperti dia. Tapi sekarang, setelah kau melihat apa yang bisa dilakukan cahaya dan kegelapan, aku tahu... kau bisa memahaminya.”

Abbas duduk di tepi ranjang, lalu menyentuh pipi Elira. “Aku tidak takut akan masa lalumu. Aku hanya takut... kalau kau harus menanggung semuanya sendirian.”

Mata Elira berkaca-kaca. “Abbas... aku tak pernah punya tempat untuk merasa seperti ini. Bahkan sebelum dunia ini retak.”

Sementara itu, di ruang bawah tanah kuil, Kaelus dan Maelya berbicara serius.

“Dia telah menyentuh Kristal Elarian?” tanya Maelya.

Kaelus mengangguk. “Dan dia bangkit, dengan kekuatan yang lebih stabil daripada sebelumnya. Mungkin... bentuk baru dari Solara.”

Maelya memandang peta. “Zhun tidak akan diam. Dia hanya memberi waktu agar semua ini meledak bersamaan. Dan ketika waktunya tiba... satu-satunya jalan untuk menghentikannya adalah jika Abbas dan Elira berdiri bersama.”

Kaelus tampak ragu. “Tapi Elira adalah saudara Zhun.”

“Itulah sebabnya dia harus memilih. Dan pilihan itu akan menentukan apakah dunia ini tetap ada... atau runtuh.”

Malam hari tiba dengan tenang. Elira mulai bisa duduk. Abbas menemaninya di balkon luar, tempat yang mereka sukai. Di tangan Elira, segelas teh herbal hangat. Di tangan Abbas, secarik kain putih yang dulu dipakai sebagai pelindung tangannya saat bertarung.

“Lucu ya,” kata Elira. “Setelah semua pertarungan, luka, dan kehilangan... momen seperti ini yang paling kurindukan.”

Abbas menoleh. “Tenang?”

“Bersamamu,” jawab Elira, perlahan.

Abbas terdiam.

“Dulu aku berpikir, kita ini hanya alat. Dipakai oleh cahaya untuk melawan kegelapan. Tapi sekarang aku sadar... kita adalah jembatan. Bukan sekadar terang atau gelap, tapi keduanya.”

“Dan kita yang memilih mau jadi apa,” sambung Abbas.

Angin malam bertiup pelan. Bulan menggantung tinggi, menyinari dua hati yang mulai menyatu meski masih dikepung bahaya.

Elira bersandar di bahu Abbas. “Kalau kita selamat dari ini semua... apa kau akan tetap di sini?”

Abbas menoleh padanya. “Kalau kau ada di sini... ya.”

Elira tersenyum. Tapi sebelum ia bisa menjawab, tiba-tiba langit berubah merah. Kilat menyambar tanpa suara. Lonceng darurat berbunyi dari menara penjaga.

Abbas dan Elira langsung berdiri.

Kaelus muncul di balkon. “Satu dari Pilar Selatan Hutan Veir telah runtuh. Kegelapan muncul dari dalam tanah. Dan... ada tanda Val’Tharok.”

Elira menegang. “Dia bangkit?”

Kaelus mengangguk. “Dan dia akan memanggil seluruh pelayannya. Termasuk... Zhun.”

Abbas mengepalkan tangan. Tapi kali ini, bukan karena takut. Melainkan karena ia tahu... waktu untuk bersiap telah habis.

“Bawa aku ke medan tempur,” kata Abbas. “Cahaya penuh atau tidak, aku tidak akan menunggu dunia terbakar.”

Dan malam itu, dua hati yang baru terhubung... kembali berjalan ke dalam gelap. Tapi kini, mereka tak lagi hanya membawa cahaya mereka membawa harapan.

More Chapters