WebNovels

Chapter 2 - Bab 2: Hari Pertama di Rumah Lady Valtina

Kereta kuda berguncang lembut di jalan berbatu. Di dalamnya, aku duduk diam, memandangi hutan yang perlahan berganti menjadi padang rumput, lalu ladang, hingga akhirnya—tembok kota. Kota Luthienne. Tempat yang hanya kudengar lewat cerita ibu dulu.

Aku belum pernah melihat bangunan setinggi itu. Atau jembatan batu dengan air mancur di bawahnya. Orang-orang berjalan cepat dengan pakaian bersih dan aneh—ada yang mengenakan topi tinggi, ada yang membawa alat musik, bahkan ada yang membawa binatang eksotis di pundaknya.

"Pertama kali ke kota besar?" tanya Lady Valtina tanpa menoleh.

Aku hanya mengangguk, memeluk buntalan kain yang berisi semua barang milikku—dua baju ganti, sepotong roti, dan boneka rajutan pemberian ibu.

"Jangan takut. Rumahku mungkin besar, tapi tak sekejam dunia luar."

Tak lama kemudian, kereta berhenti di depan gerbang besi tinggi yang dihiasi lambang singa bersayap. Seorang penjaga membukanya begitu melihat Lady Valtina, dan aku ternganga saat melihat rumahnya.

(Bukan rumah. Lebih seperti istana kecil.)

Bangunan itu berdiri megah dengan empat lantai, jendela besar berderet simetris, taman bunga yang luas, dan pohon-pohon rindang yang berjajar indah. Di tengah taman, ada air mancur berbentuk peri memegang bunga yang menyemburkan air dari kelopaknya. Kupu-kupu beterbangan di antara bunga. Angin membawa aroma lavender dan mawar putih.

Aku menelan ludah.

"Selamat datang di kediaman keluarga Valtina," kata sang Lady, lalu berjalan masuk.

Aku mengikuti dari belakang, langkahku ragu-ragu. Pintu besar dibuka oleh seorang pria tinggi dengan rambut putih dan setelan hitam. Ia menunduk dalam.

"Selamat datang kembali, Lady."

"Terima kasih, Duren. Ini Liana. Dia akan tinggal bersama kita mulai hari ini. Arahkan dia ke kamar pelayan muda."

Pelayan itu—Duren—memandangku sejenak, lalu tersenyum tipis. "Tentu, Nona Liana. Mari ikut saya."

Aku digiring melewati lorong-lorong panjang dengan karpet merah dan dinding penuh lukisan. Langkah kakiku tenggelam dalam sunyi. Semua terasa terlalu mewah… terlalu asing.

Kamar yang ditunjukkan padaku berada di lantai dua, di sayap timur mansion. Sederhana, tapi hangat. Ada tempat tidur kecil, meja kayu, jendela besar menghadap taman, dan… selimut lembut berwarna hijau zamrud.

"Silakan istirahat. Besok pagi kamu akan mulai pekerjaan pertamamu."

Setelah Duren pergi, aku duduk di ranjang, membelai selimut lembut itu. Jantungku masih berdebar—bukan karena takut, tapi… campuran antara gugup dan harapan.

Aku membuka jendela. Angin sore menyapu rambutku, membawa aroma bunga dan suara lonceng jauh di kota. Seekor kupu-kupu hinggap di jendela, mengepak pelan seolah menyapa.

"Aku di tempat baru sekarang, Bu…" bisikku. "Aku nggak tahu ini tempat yang benar… tapi aku akan mencoba."

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku tidur tanpa merasa sendirian.

Pagi pertama di rumah Lady Valtina dimulai dengan suara ketukan pelan di pintu.

Tok tok.

"Liana, sudah pagi. Saatnya mulai bekerja," suara lembut itu milik seorang perempuan, terdengar dari balik pintu.

Aku membuka mata, sedikit bingung… sampai ingat aku bukan lagi di rumah kecilku di pinggir hutan. Aku buru-buru bangun, merapikan rambut dan telingaku, lalu membuka pintu.

Di depanku berdiri seorang gadis berambut pirang pendek dengan seragam maid rapi. Senyumannya ramah, dan ada semacam kehangatan yang terasa dari caranya menatapku.

"Namaku Mira. Aku maid senior di sini. Hari ini aku yang akan membimbingmu," katanya sambil menyodorkan baki kecil berisi sepatu dan dasi hitam kecil.

Aku mengangguk cepat. "Aku… Liana. Senang bertemu denganmu!"

"Ya, ya. Nanti kita ngobrol sambil kerja. Sekarang ganti baju, kita mulai dari ruang makan utama."

---

Ruang makan utama adalah aula panjang dengan meja kayu berkilap, dihiasi taplak bersulam dan vas bunga segar. Tugas pertamaku adalah… mengelap sendok.

Bukan pekerjaan sulit. Tapi dengan lusinan sendok, garpu, dan pisau perak yang harus berkilau sempurna, aku jadi sadar: menjadi maid itu tidak semudah kelihatannya.

Saat aku sedang mengelap sendok ke-37, Mira datang dari dapur sambil membawa sepiring besar roti dan selai buah.

"Semangat, Liana! Jangan takut membuat kesalahan. Kita semua pernah menjatuhkan piring pertama kita kok," katanya sambil terkekeh.

Aku tertawa kecil. "Aku takut malah bikin malu."

"Kalau bikin malu, tinggal senyum dan minta maaf. Lalu belajar biar besok nggak terulang. Gitu aja kok."

---

Setelah ruang makan, kami berkeliling ke taman, dapur, ruang baca, dan gudang. Setiap ruangan punya aturan dan urutan pembersihan yang berbeda.

"Ada beberapa penghuni di rumah ini yang perlu kamu tahu," kata Mira sambil membersihkan rak buku.

"Penghuni?"

"Iya. Selain Lady Valtina, ada putri angkatnya—Nona Elvira. Dia penyendiri, suka buku dan teh panas. Jangan ganggu kalau dia lagi membaca."

Aku mengangguk, mencatat dalam hati.

"Kemudian ada Sir Kael. Dia kepala pelayan, dan... galak. Tapi aslinya perhatian. Oh, dan yang paling penting…"

Mira mencondongkan tubuh, berbisik.

"Jangan ganggu kamar yang paling ujung di lantai tiga. Tidak ada yang masuk ke sana. Kalau kamu mendengar suara... abaikan saja."

Aku menatapnya, penasaran. "Ada apa di sana?"

"Tidak ada," Mira tersenyum misterius. "Dan semoga tetap tidak ada."

---

Hari itu, aku belajar banyak. Tentang cara menyapu tanpa meninggalkan jejak kaki, cara mencuci gelas kristal dengan air hangat dan bunga mawar, dan—yang terpenting—cara menyapa para penghuni rumah dengan sopan dan penuh senyum, meskipun kakimu gemetar.

Sore harinya, aku duduk di taman belakang, memandangi matahari tenggelam. Kucing-kucing liar dari desa sepertinya menyusulku ke sini, karena ada dua ekor yang duduk di pangkuanku, mengeong pelan.

"Kehidupan baruku… agak aneh, ya," kataku sambil membelai kepala kucing itu. "Tapi untuk pertama kalinya… aku tidak merasa sendiri."

More Chapters