WebNovels

Chapter 4 - The Red Riding Hood and A Totally Normal Village

Meridius berjalan beberapa langkah di belakang gadis bertudung merah itu.

Sejak pertarungan melawan kelinci-kelinci psikopat tadi, mereka belum bertukar satu kata pun.

Tak ada sapaan, tak ada pertanyaan, bahkan tidak juga “nice kill.”

Langit malam menggantung tinggi di atas mereka—penuh bintang kelap-kelip dan bulan sabit tipis yang terlihat seperti retakan di langit.

Garden of Beginning, yang siang tadi terlihat tenang dan kosong, kini terasa seperti level tutorial horor survival.

Ada suara dari semak-semak.

Bunyi dedaunan bergesek, ranting patah.

Kadang terdengar langkah kaki kecil di atas pohon.

Meridius melirik ke kiri… ke kanan…

Jantungnya mulai berdetak lebih cepat.

“Kenapa suasananya berbeda saat di malam hari… seolah dunia berubah jadi mimpi buruk.”

Berbanding terbalik dengan perasaannya, gadis bertudung merah di depannya—yang kini ia tahu bernama Ikarosia—berjalan tenang seperti sedang menikmati jogging pagi.

“AWOOOOOOOO!!”

Suara lolongan keras terdengar dari kejauhan.

“Uwaaa!!”

Meridius reflek mencabut pedangnya dari punggung, berputar ke segala arah dengan mata membelalak.

“APA ITU TADI? SERIGALA? WEREWOLF?!”

Ikarosia hanya menoleh sedikit, lalu menghela napas.

Dengan ekspresi datar, dia menggeleng pelan.

“...Tenang saja. Takkan ada yang menyerang... selama kita tidak menyalakan pencahayaan.”

Meridius terdiam.

Pedangnya masih terangkat.

Pandangannya bingung.

“…Ini game atau uji nyali sih?” gumamnya pelan.

Meridius merasa jantungnya masih belum stabil. Dia dengan gemetaran memasukkan pedangnya kembali ke sarungnya.

Suara lolongan, gesekan aneh, bayangan di balik pohon—semuanya seperti soundtrack jumpscare.

Akhirnya, dia mencoba melakukan satu hal yang bisa mengalihkan ketegangan:

Ngobrol.

“E-Eh… anu... Ikarosia, kan?”

Suaranya terdengar lebih lemah dari yang dia maksud.

Gadis bertudung merah itu tetap berjalan tanpa menoleh.

“Hmm?” gumamnya singkat.

Meridius memberanikan diri melanjutkan,

“Ka-kau sudah berapa lama main game ini?”

Ikarosia menjawab tanpa ragu:

“Baru kemarin.”

“Eh?”

Meridius menghentikan langkahnya.

Mulutnya terbuka setengah.

“Eh?! Baru… baru kemarin?!”

Ikarosia mengangkat tangan, menunjuk ke atas kepalanya.

Meridius mengikuti arah telunjuk itu.

Sebuah ikon hijau berputar perlahan—simbol player aktif.

Tepat di atasnya tertulis:

Ikarosia

 Level 10

“Level sepuluh… novice…” gumam Meridius.

Ia menoleh ke Ikarosia yang masih berjalan tenang tanpa beban.

“DIA BILANG BARU KEMARIN DAN SUDAH SEBEGINI?!”

Meridius langsung merasa seperti level 1 dalam kehidupan juga.

“Ah… begitu rupanya,”

Meridius mencoba tersenyum sambil tetap menjaga langkahnya.

“Kau lebih terlihat seperti veteran... daripada newbie di game tanpa tutorial ini.”

Ikarosia tiba-tiba berhenti.

Meridius hampir menabraknya karena tidak siap.

Gadis bertudung merah itu menoleh pelan dan menatapnya—ekspresinya... heran.

“Tanpa tutorial…?”

“Eh?”

“Kau... nggak lihat cahaya yang bersinar di rerumputan? Di tempat awal kau spawn?”

“...Cahaya?”

“Iya. Kalau kau jalan ke arah cahaya itu, kau akan ditarik masuk ke ruang tutorial.

Di sana kau akan diajarkan dasar-dasar game ini: gerakan, sistem stamina, serangan, elemental, semuanya.”

Meridius terdiam.

Mata menatap kosong ke kejauhan.

“Cahaya. Cahaya yang bersinar...”

Ia memutar ingatan.

...Ada.

Sesuatu yang bersinar samar di rerumputan saat pertama kali dia muncul.

Dan apa yang dia lakukan?

Dia malah lari ke arah utara.

“...AAAAAAAGH!!!”

Meridius memegangi kepalanya.

“Jadi semua penderitaanku…

Dibantai kelinci…

Mati tanpa tahu cara dodge…

Belajar stamina dari trauma sendiri...

SEMUA ITU BISA DIHINDARI?!”

Ikarosia mengangkat alis tipis.

“...Aku kira kau melewatkannya karena mau tantangan.”

Meridius jatuh terduduk.

“Bukan. Aku cuma... goblok.”

Ikarosia memandangnya sejenak, lalu mengangkat bahu kecilnya.

“...Jangan bilang kau juga melewatkan NPC yang bisa membuatmu langsung lompat ke level 5 hanya dengan memetik beberapa bunga?”

Meridius membeku.

Satu detik.

Dua detik.

Otaknya mencoba mencerna informasi itu sambil menghitung semua pilihan hidup yang salah dalam satu jam terakhir.

Jika ini kartun, dagunya mungkin sudah:

CLAK!

menabrak tanah sampai bergetar rumput sekitar.

“...Ada... NPC...

yang bisa...

naik level...

dengan metik bunga…?”

Suara Meridius terdengar seperti seseorang yang baru saja diberi tahu bahwa dia melewatkan warisan miliaran karena tidak buka email.

Ikarosia hanya mengangguk pelan.

“Kalau kau bicara padanya dan membantu petik tiga bunga di dekat tempatmu spawn, dia langsung kasih bonus exp dan auto naik level ke lima. Tutorial quest. Hampir semua pemain lama mulai dari situ.”

Meridius terbaring terlentang, menatap langit malam yang penuh bintang.

“...Tuhan, jika ini hukuman karena aku skip dialog di semua game selama hidupku... aku terima.”

Ikarosia diam sebentar, lalu berkata ringan:

“Oh ya, dia juga kasih item healing dan sabit kecil buat pemula.”

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA—!!!”

Mereka berjalan mengikuti jalan kecil yang mulai dipenuhi batu kerikil.

Pohon-pohon makin jarang, dan cahaya lampu lentera mulai terlihat di kejauhan.

Sebuah desa kecil muncul di depan mata mereka.

Plang kayu di gerbangnya bertuliskan:

Welcome to Harmony

“Where everyone is kind, and no one ever leaves.”

Namun sebelum sempat berpikir lebih jauh—

“...Newbie. Aku tahu kau payah dalam game ini.”

suara Ikarosia terdengar datar, tapi ada nada capek di ujungnya.

“Tapi tolong... hentikan tangisanmu.”

Meridius menunduk, kedua tangannya memegang hidungnya sendiri.

“...Aku tidak menangis...”

sniff.

“Ini... debu. Banyak debu di jalan masuk desa ini...”

Ikarosia hanya menatapnya datar selama tiga detik.

Lalu... melanjutkan langkah masuk ke desa.

Meridius mengikutinya, masih tersedu lirih, dengan wajah seperti orang yang baru saja kehilangan warisan dan petunjuk tutorial dalam sehari.

Ikarosia mendorong pintu kayu bar dengan satu tangan.

Kreeeekk.

Interiornya hangat dan kuno.

Dinding batu bata. Lampu kuning remang.

Rak-rak botol berjejer rapi di belakang meja kayu besar.

Tak ada pelanggan lain. Hanya satu pria berdiri di balik meja.

Seorang bartender dengan kumis spiral yang melingkar seolah mengikuti hukum fisika dunia kartun.

erius, kumisnya bisa dipakai untuk membuka tutup botol.

Tanpa ragu, Ikarosia berjalan langsung ke meja dan duduk.

“Satu vodka... dan satu susu untuk bayi di belakangku ini.” ucapnya dingin, tanpa menoleh.

Bartender mengangguk dengan santai.

“Oke.” jawabnya datar, seperti ini sudah jadi pesanan harian.

Meridius, yang baru masuk dan belum sempat duduk, memprotes.

“Oi! Siapa yang kau sebut bayi.”

Mereka duduk bersebelahan di meja kayu yang agak reyot.

Susu Meridius datang dalam gelas kaca tinggi dengan sedotan warna pink.

Vodka Ikarosia? Disajikan seperti air putih. Tanpa basa-basi.

Meridius mencengkeram gelasnya, lalu menatap lurus ke arah gadis bertudung merah itu.

“Aku tak ingin berbasa-basi, jadi aku langsung ke intinya saja.”

Ikarosia menoleh perlahan, ekspresinya netral seperti biasa.

“Aku mengikutimu karena aku punya satu permintaan.

Tolong ajarkan aku bermain game ini!”

Ikarosia menyesap sedikit vodkanya, lalu menjawab pelan:

“Tentu.”

“Eh?”

Meridius membeku.

Mulutnya terbuka sedikit.

“Eh? Semudah itu?”

Ikarosia meletakkan gelasnya dan menatapnya datar.

“Kau meminta diajarkan. Bukan minta dilayani.

Aku tidak butuh alasan untuk menolak.”

“...Tapi aku pikir kau bakal ketawa dulu atau lempar quest absurd atau...”

“Aku bukan NPC.”

Meridius menatap ke dalam gelas susunya.

“...Aku merasa seperti player paling goblok sedunia sekarang.”

Ikarosia menghela napas panjang, lalu menatap Meridius dengan sorot penuh tugas berat yang tak diminta.

“Jadi... sudah sejauh mana kau tahu soal game ini?”

Meridius menggaruk belakang kepalanya, agak malu.

“Err… cuma soal mekanik dasar dan quest dari raksasa-raksasa di awal.”

Ikarosia menaikkan alis.

“Hm. Setidaknya kau tidak skip cutscene saat para dewa Valhessia memberikan quest utama padamu.”

Meridius memiringkan kepala.

“Eh… mereka beneran dewa?”

Ikarosia diam sejenak, menatapnya, lalu memalingkan muka.

Ia tidak tertarik membahas lore 300 halaman kepada orang yang nyaris mati oleh kelinci.

“...Akan kuabaikan pertanyaan itu.”

Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, nada suaranya berubah jadi sedikit lebih instruktif.

“Baiklah. Aku akan mulai dari dasar yang mungkin kau lewati: stat distribution.

Buka profilmu. Sekarang.”

Meridius langsung menggesek udara ke bawah. Menu transparan muncul.

Ia menavigasi ke tab "Profile".

Di sana, ia melihatnya:

Total Stat Point: 25

Vigor: 1

Mind: 1

Endurance: 1

Strength: 1

Dexterity: 1

Intelligence: 1

Faith: 1

Luck: 1

Semua... masih angka satu.

Meridius menatap layar itu beberapa detik.

Lalu dengan suara datar, berkata:

“...Akan kuabaikan kesalahanku sebelumnya karena tidak membagi poinku ke stats ini... sebelum melawan kelinci itu.”

Ikarosia menenggak sisa minumannya dalam satu gerakan mulus.

Lalu, tanpa memandang Meridius, ia berkata:

“Aku yakin kau belum punya gaya bertarung sama sekali.”

Meridius ingin membantah... tapi tidak punya bukti.

“Jadi, biar kujelaskan.”

Ia mulai menggerakkan jarinya seolah menggarisbawahi poin-poin penting di udara.

“Vigor menaikkan total HP.

Mind untuk MP.

Endurance untuk Stamina.”

Ia berhenti sejenak, lalu melirik sekilas.

“Strength, Dexterity, Intelligence, Luck... kurasa cukup jelas bahkan untukmu.”

Meridius menunduk, merasa tertohok.

“Dan terakhir... Faith.

Faith memperkuat incantation—jika kau memilikinya.”

Ia menoleh sedikit ke arah Meridius, ekspresinya tenang.

“Incantation bisa menghasilkan damage maupun healing.

Bedanya dengan Magic?

Magic adalah kekuatan dari sesuatu yang tidak suci—liar, tak terkendali, alami.

Sementara Incantation... adalah sihir yang lahir dari keyakinan. Dari doa. Dari sesuatu yang dianggap sakral.”

Meridius mengangguk pelan, mulai memahami.

“Jadi satu kayak... ilmu. Yang satu lagi... iman?”

“Tepat. Tapi kalau kau pakai dua-duanya, kau cuma butuh satu hal: mana dan otak yang tidak kosong.”

Meridius terdiam sejenak.

Di dalam kepalanya, terjadi perang singkat antara mimpi jadi knight gagah berpedang besar... dan keinginan jadi mage yang bisa meledakkan monster dari jauh.

“…Kenapa harus memilih?”

Ia mulai membagi statnya, lalu menggeser jari-jarinya perlahan, berpikir keras.

 Vigor: 6

Mind: 5

Endurance: 3

Strength: 5

Dexterity: 3

Intelligence: 7

Faith: 1

Luck: 2

[Total digunakan: 25 Points]

Ikarosia menyilangkan tangan, menatap Meridius dengan datar.

“Sudah dibagi, bukan? Biar kutebak... kau juga belum punya sihir sama sekali.”

Meridius membuka mulut, ingin membantah—

Tapi kemudian menutupnya.

Karena ya… dia memang belum punya apa-apa.

Tanpa menunggu jawaban, Ikarosia membuka menunya.

Sebuah buku bersampul biru gelap muncul di tangannya, dengan lambang pedang bersilangan di tengahnya.

“Aku akan memberimu satu sihir dasar: Flying Swords.”

Dia meletakkan buku itu di atas meja dengan bunyi thump yang halus.

“Ini sihir dari cabang Conjuration.

Saat diaktifkan, tiga pedang sihir akan muncul dan melayang di udara.

Mereka akan menyerang musuh terdekat secara otomatis jika mendekat.”

Meridius menatap buku itu seolah baru saja melihat harta karun.

“Aku bisa punya pedang terbang?! Seperti—seperti—yang di film-film wuxia itu?!”

“Kurang lebih,” jawab Ikarosia, tanpa ekspresi.

Ia menunjuk ke buku itu dengan satu jari.

“Ketuk dua kali. Maka sihir itu akan langsung terdaftar di daftar sihirmu.”

Meridius langsung menyentuh buku itu dengan dua jari.

TAP. TAP.

Sebuah cahaya biru keluar dari buku, dan layar kecil muncul di depannya:

[Conjuration Spell Registered: Flying Swords]

Dia melihat daftar spell-nya yang sebelumnya kosong.

Sekarang ada satu nama.

Flying Swords – MP cost: 20 | Cooldown: 30s

Meridius tersenyum lebar.

“Terima kasih... Serius. Ini sihir pertamaku.”

Ikarosia mengangkat bahu ringan.

“Jangan berterima kasih dulu. Gunakan dengan benar.”

Meridius menghela napas panjang.

Orang ini... benar-benar tanpa jeda.

Baru saja dia mendapat spell pertamanya, sekarang sudah diseret ke langkah berikutnya.

“Selanjutnya… ayo kita ambil quest yang ada di desa ini,”

kata Ikarosia, sambil bangkit dari tempat duduknya.

Dia berjalan ke bartender dan meletakkan beberapa koin perak di meja.

“Untuk dua minuman. Dan satu pengalaman emosional yang sangat melelahkan.”

Bartender berkumis spiral hanya mengangguk kalem.

“Datanglah lagi kalau ingin susu... atau rasa malu lainnya.”

Mereka melangkah keluar dari bar.

Angin malam masih berhembus, tapi suasana desa tampak lebih tenang sekarang.

Lampu-lampu jalan kayu menyala dengan cahaya hangat.

Tak ada suara lain selain langkah kaki mereka di jalan batu.

Di depan mereka, berdiri sebuah rumah besar yang berbeda dari bangunan lainnya.

Dindingnya lebih tinggi, atapnya terbuat dari genteng batu, dan di depan pintunya ada simbol lambang desa berbentuk daun dan pedang silang.

Ikarosia berhenti beberapa langkah sebelum pintu rumah itu. Ia menoleh ke Meridius, mengangkat satu jarinya seperti guru TK yang mengajarkan hal krusial tapi sabar.

“Dengar baik-baik.”

“NPC di dunia ini bukan sekadar bot. Mereka merespons semua hal yang kau ucapkan.

Mereka punya emosi. Punya ingatan.

Mereka bisa senang... bisa marah... bisa curiga.”

“Dan yang akan kita hadapi sekarang… adalah kepala desa Harmony.”

Meridius menelan ludah.

“...O-Oke.”

Ikarosia mengetuk pintu kayu dengan ritme dua kali.

Tok. Tok.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka perlahan.

Di hadapan mereka berdiri seorang wanita muda—usia mungkin sekitar akhir dua puluhan, dengan rambut hitam diikat rapi ke belakang dan senyum ramah yang hampir terlalu sempurna.

“Halo. Ada apa kalian datang kemari?” ucapnya sopan, senyumnya tidak pudar sedikit pun.

Di atas kepalanya, Meridius melihat tanda seru berwarna emas muncul—ikon khas quest NPC yang sudah tertanam di benak semua gamer.

Mulutnya hampir refleks berkata,

“Oi, tanda seru itu—”

Tapi sebelum ia sempat membuka mulut,

tatapan tajam dari Ikarosia menusuk dari samping.

Meridius langsung membatalkan komentar.

Hanya batuk kecil, lalu berdiri tegak seperti siswa yang baru ditegur wali kelas.

Ikarosia melangkah maju sedikit, nada bicaranya tenang namun lugas:

“Kami adalah petualang.

Saya mendapat kabar burung bahwa kepala desa sedang mencari bantuan untuk membasmi serigala yang memangsa ternak warga di malam hari.”

Wanita itu mengedip pelan, masih tersenyum.

“Ah... saya kepala desanya.”

Meridius sedikit membelalakkan mata.

"Eh? Ini kepala desanya? Kok kelihatan lebih seperti NPC toko bunga…”

Ikarosia hanya mengangguk sopan.

“Kalau begitu, bisakah Anda menjelaskan lebih detail tentang masalah tersebut?”

Kepala desa mempersilakan mereka masuk.

Nada suaranya tetap ramah, gesturnya sopan.

“Silakan duduk dulu. Kalian pasti lelah.”

Mereka masuk ke rumah itu—cukup besar, tapi…

terlalu sunyi.

Di dalamnya, penuh dengan alat-alat bertani dan peternakan.

Tak ada mainan anak. Tak ada foto keluarga.

Tidak ada tanda-tanda bahwa rumah ini ditempati oleh siapa pun selain dirinya.

Lalu…

Hsss...

Meridius mencium sesuatu.

“Bau menyengat… dari dapur?”

Dia menoleh ke sudut ruangan, tapi tak ingin terlihat mencurigai.

Aromanya seperti... makanan yang dibiarkan terlalu lama.

Tengik, asam, dan menusuk.

Mereka duduk.

Kepala desa menyilangkan tangannya dan mulai bicara dengan nada pelan namun jelas:

“Jadi... sudah tiga malam terakhir kami diteror oleh serigala-serigala liar.

Mereka datang malam-malam dan menyerang kandang ternak.

Kami sempat mengirim warga untuk menyelidiki, dan mereka menemukan gua kecil di selatan desa. Sepertinya... itu sarangnya.”

Ia menatap mereka bergantian, senyumnya sedikit melunak.

“Kalau kalian bisa menyelesaikan masalah ini, aku akan memberikan hadiah sebesar 100 Gald.”

Meridius menoleh ke Ikarosia, lalu bergumam pelan:

“Gald... jadi itu mata uang dunia ini, ya...”

Ikarosia hanya menjawab datar.

“Dan sekarang kita butuh uang. Jadi anggap ini les pertamamu.”

Meridius menoleh sekali lagi ke arah dapur.

Bau basi itu masih menggantung, seakan tak mau hilang.

“Kami menerimanya.”

ucap Ikarosia singkat, tanpa jeda berpikir.

Tiba-tiba, di pandangan Meridius—

sebuah notifikasi muncul dengan suara ding khas sistem game:

 [New Quest Accepted!]

Deal with the Wolves in the South of the Village

Tulisan besar muncul seolah melayang di udara, lalu perlahan memudar ke sisi layar.

Namun sebelum dia sempat mencerna, muncul notifikasi lain di pojok kanan:

[Party Invitation Received from: Ikarosia]

“Eh?”

Meridius berkedip sebentar, lalu dengan cepat mengetuk ikon [Accept] di depannya.

Sekejap kemudian, di pojok kiri atas pandangannya, tampak perubahan besar:

[Meridius – Lv. 2 – HP: 100%]

[Ikarosia – Lv. 10 – HP: 100%]

Dua bar berdampingan, warna hijau stabil.

Meridius menatap UI itu, lalu tersenyum kecil.

"Akhirnya… punya party juga."

Ikarosia berdiri dan melangkah ke pintu keluar tanpa menoleh.

“Ayo. Kita selesaikan ini sebelum malam makin gelap.”

Meridius buru-buru berdiri, lalu menyusul di belakangnya.

Quest pertama...

Party pertama...

Dan partner yang... bisa membunuh 50 kelinci dalam 10 detik.

"Yah… kalau aku mati di jalan, setidaknya ada saksi."

Mereka berjalan melewati jalan utama desa menuju gerbang selatan.

Malam yang sunyi.

Angin dingin bertiup, menggoyangkan lentera-lentera gantung.

Namun tepat di depan gerbang keluar desa,

Ikarosia berhenti.

Meridius nyaris menabraknya.

“Eh? Kenapa berhenti?”

Ikarosia menoleh setengah, suaranya datar tapi tegas:

“Kau berangkat sendirian. Aku tidak ikut.”

Meridius terbelalak.

“APA?! Yang benar saja?!”

Ikarosia menatapnya langsung.

“Kau sadar ‘kan... ada yang aneh dengan kepala desa itu?”

“Rumah terlalu sepi. Bau basi dari dapur. Warga desa tak satu pun terlihat.

Semua terlalu rapi. Terlalu... diam.”

Dia menyipitkan mata ke arah pusat desa.

“Aku rasa, ada sesuatu yang terjadi di tempat ini.

Dan aku berniat menyelidikinya.”

Meridius menoleh ke belakang, ke arah desa.

Tiba-tiba suasana yang tadi hangat terasa dingin.

Sunyi. Seolah semua lampu yang menyala cuma pajangan, bukan tanda kehidupan.

“Tapi… kau serius? Kau akan membiarkan aku menghadapi serigala sendirian?”

Ikarosia mengangguk.

“Kau bilang ingin belajar, ‘kan?

Anggap ini uji kelayakan.”

Dia berbalik, mulai berjalan kembali ke dalam desa.

“Kalau kau mati, aku akan anggap itu bagian dari statistik.”

“Good luck.”

Meridius berdiri diam di depan gerbang.

Angin malam menyapu rambut mullet-nya.

Quest masih aktif di pojok layar.

Bar party Ikarosia tetap ada—tapi dia hanya diam di satu titik.

"...Aku... ditinggal... oleh gadis bertudung merah... demi investigasi horror di desa penuh NPC aneh... dan sekarang harus memburu serigala sendirian."

Ia menunduk. Menghela napas panjang.

“Yah. Ini pasti sudah takdir.”

Meridius melangkah ke arah selatan desa.

Semakin jauh ia berjalan, semakin sunyi sekelilingnya.

Lentera-lentera desa tak lagi terlihat.

Dan di hadapannya, berdiri barisan pepohonan gelap yang seperti menutup langit.

Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk ke hutan.

“Oke... ini hutan. Hanya hutan. Tak ada jumpscare. Tak ada kelinci ber kecepatan jet lagi…”

Suara langkah kakinya terdengar jelas saat melewati daun-daun kering dan ranting patah.

Aroma tanah basah, jamur, dan udara dingin bercampur jadi satu.

Namun begitu melewati batas tiga pohon besar pertama,

rasa itu datang.

Seperti... ada sesuatu yang memperhatikannya dari balik semak.

Dari atas pohon.

Dari... mana pun yang tidak terlihat mata.

Meridius berhenti sejenak, menahan napas.

“...Ada yang ngintip. Seratus persen.”

Tapi dia tahu, tidak ada jalan mundur.

Quest masih aktif. Bar EXP masih nol.

Dia berjalan lagi. Perlahan.

Kegelapan mulai menelan sekelilingnya.

Bahkan bintang di langit tak tampak.

“Pasti enak ya jadi elf...

Mereka lahir-lahir udah punya darkvision.”

Ia menggerutu pelan sambil memicingkan mata, mencoba membiasakan diri dengan gelap.

“Kalau aku nyalain lampu sekarang… bisa-bisa diserbu satu keluarga serigala dalam lima detik.”

Rerumputan bergoyang. Daun jatuh.

Satu suara kecil crack terdengar dari kejauhan—seperti ranting diinjak.

“Ayo, Meridius… kau bisa. Ini hanya... pelatihan.

Pelatihan yang bisa membuatmu berakhir jadi mayat.”

Akhirnya, setelah menyibak semak dan batang pohon mati, Meridius melihatnya—

Sebuah gua.

Terletak di bawah cekungan tanah kecil, mulut guanya gelap dan lembap, seperti rongga rahang monster yang sedang tidur.

Meridius berdiri di tepi batu, menatap ke arah gua itu.

“Oke… ini dia. Sarangnya.

Tenang saja… kalau aku mati, aku akan respawn…”

Ia menegakkan tubuh, menarik napas dalam-dalam.

Namun sebelum ia sempat melangkah maju...

GRRRRRRRRRRR…

Suara itu datang dari belakangnya.

Meridius membeku.

Matanya melebar.

Pelan-pelan, ia menoleh.

Dan di sana...Tiga ekor serigala besar berdiri, jaraknya tak sampai lima meter dari punggungnya.

Bulu mereka kelabu gelap.

Mata mereka menyala seperti bara merah.

Taring mereka terbuka, meneteskan liur, siap menyergap.

Mereka tidak datang dari dalam gua.

Mereka datang untuk menjebaknya.

Meridius menggenggam pedangnya erat-erat.

Napasnya berat.

Langkah kecil mundur.

Satu kata keluar dari bibirnya:

“...Kalian ini NPC, ‘kan? Bisa diajak... diskusi?”

Satu serigala melangkah maju.

Menggeram lebih dalam.

“Oke. Enggak bisa diskusi. Paham. SIP!”

Tiga serigala mulai mengepung.

Geraman mereka semakin keras.

Taring mereka terlihat semakin panjang.

Meridius panik.

Peluh dingin mulai muncul di pelipisnya.

Dan dengan suara setengah teriak, setengah putus asa, ia berseru:

“Flying Swords!”

...

Tidak ada apa-apa.

Tidak ada cahaya.

Tidak ada pedang-pedang terbang muncul dari udara.

Hanya... sunyi. Dan suara daun tergesek angin.

“Eh…?”

Meridius menatap ke atas, ke sisi layar...

Tidak ada notifikasi sihir aktif. Tidak ada MP berkurang.

Dia kembali menatap tangan dan sekeliling.

Lalu, seolah bohlam imajiner menyala di atas kepalanya,

ia sadar sesuatu.

“Benar juga…

IKAROSIA TIDAK PERNAH MENGAJARKAN CARA MEMAKAI SIHIR!”

Ia tertawa.

Bukan karena lucu.

Lebih karena... tak ada pilihan lain.

Tawa datar. Kosong. Pasrah.

“Hahahaha...

...kocak banget, hidup ini.”

Serigala di depannya mendekat.

Gusi berdarah. Nafas berat. Mata menyala.

Meridius menarik pedangnya dari punggungnya dan menggenggamnya.

“Oke. Plan B.

Yaitu... nggak mati.”

Serigala A menerjang.

Meridius melompat ke samping, side-dodge dengan refleks yang kini mulai terasah.

Belum sempat mengatur napas,

Serigala B dan C menyusul, satu dari kiri, satu lagi rendah mengincar kakinya.

Meridius menggertakkan gigi, lalu melompat mundur.

“Oke… mereka cepat. Tapi aku masih bisa baca pola mereka… tinggal cari celah…”

Tiba-tiba, layar visornya berkedip.

Sebuah notifikasi dari sistem Infinity Imagination muncul di tengah pandangan:

[Incoming Call: Ega 📞]

Meridius melotot.

“SERIUSAN?! SEKARANG?!”

Dia tetap menggesek ikon [Accept] karena panik.

“Halo?!”

Suara ceria muncul dari speaker dalam helmnya:

“Yo, kawanku Awan!

Sehat? HP-mu nggak aktif, jadi aku punya firasat kau nyobain mesinku. Ternyata… bener, ya?”

Sementara itu, Serigala A kembali melompat ke arahnya.

Meridius berputar, lalu roll ke kiri, nyaris tersayat.

“Ck… BERISIK! Aku lagi sibuk! Telpon nanti la—”

Ia berhenti bicara sejenak.

Matanya melebar.

“Tunggu… EGA.”

“APA?”

“Cari di search engine—cara pakai sihir di TFGO! Cepat!”

Ega di seberang diam sejenak.

“…Tunggu, jadi kamu masuk game...

DAN NGGAK TAHU CARA PAKAI SIHIR?!”

“INI BUKAN WAKTUNYA MENGHAKIMI, CARI AJA CEPAT!!”

Meridius side-step lagi—kali ini dengan presisi.

Keringat menetes, napas berat.

“Satu detik saja... kasih aku satu langkah unggul…”

Suara Ega terdengar kembali di dalam helm:

“Oke, disini dikatakan ada dua jenis: Incantation dan Magic.

Incantation butuh katalis kayak bel atau jimat.

Magic butuh… Magic Staff.”

Magic Staff.

Meridius langsung teringat.

Semua senjata dasar sudah ada di inventory.

Dia cuma belum pernah menyentuhnya.

“Ega…untuk pertama kalinya, kau berguna bagi bangsa dan negara. Aku bangga padamu.”

“Oi, apa maksud—”

Beep.

Meridius memutus sambungan sebelum Ega bisa membalas.

Sekarang bukan saatnya bercanda.

Tiga serigala masih mengepungnya.

Tapi dia sudah tahu apa yang harus dilakukan.

Ia berlari ke arah samping, menembus celah antara dua serigala.

Staminanya turun.

Bar hijau di kiri mulai menipis.

“Harus efisien. Lari bodoh artinya jadi daging asap.”

Saat berlari, ia membuka menu dengan satu swipe cepat.

Menavigasi ke Inventory.

Senjata dasar: Shortsword… Club…

Magic Staff – Wooden (Default).

“Equip… kiri.”

Klik.

Sekejap kemudian, di tangan kirinya muncul sebatang tongkat kayu, dengan ujung bulat kecil dan simbol rune sederhana.

Tangan kanannya tetap menggenggam Shortsword.

Dua senjata.

Dua gaya bertarung.

“Oke… game ini mungkin brengsek. Tapi… ini mulai terasa keren.”

Dari kejauhan, ketiga serigala menyadari perubahan sikapnya.

Mereka menggeram lebih keras.

Tapi Meridius... kini tersenyum.

Meridius menggenggam tongkat di tangan kirinya, lalu mengangkatnya tinggi ke udara.

Dia menggambar gerakan melingkar di depan dirinya, menciptakan jejak cahaya biru yang menyala samar.

“Flying Swords.”

Dari pusaran cahaya itu, muncul tiga pedang sihir berwarna biru—

transparan, elegan, namun memancarkan aura tajam yang mematikan.

Mereka melayang di udara, mengorbit tubuh Meridius seperti satelit bersenjata.

Meridius melangkah maju.

Serigala-serigala itu mendesis, menyiapkan serangan balasan.

Pedang-pedang sihir itu bergetar... lalu MELUNCUR!

Whoosh! Whoosh! Whoosh!

Tiga serangan sihir terarah itu menabrak target dengan akurasi tinggi—

masing-masing satu pedang untuk satu serigala.

BOOM.

Ketiganya terhempas ke belakang, melolong.

Bar HP mereka terpotong hingga setengah, dan efek visual stagger membuat mereka sulit bangkit.

Meridius tak membuang waktu.

Ia menggenggam Shortsword-nya lebih kuat, lalu menjejak tanah.

“Charge... and Slash!”

Cahaya putih-biru mulai menyelimuti pedangnya.

Semakin terang... semakin padat... hingga berkilat menyilaukan.

Saat serigala A berusaha bangkit,

Meridius melompat ke depan—pedang diangkat tinggi—lalu mengayunkannya ke bawah.

CRAAACK!!

Serangan itu menghantam langsung ke leher bagian atas serigala A.

HP serigala A langsung habis. Tubuhnya menghilang menjadi butiran cahaya.

Meridius berdiri dengan napas berat.

Dua serigala tersisa... dan dia baru mulai panas.

“Oke... siapa selanjutnya?”

Di tempat lain.

Ikarosia melangkah keluar dari bar, membiarkan pintu kayu menutup perlahan di belakangnya.

Udara malam terasa dingin, tapi pikirannya tetap tajam.

Ia menghela napas.

“Bartender itu tak bisa dibayar.

Pintu-pintu rumah lain juga tak ada jawaban… semua terkunci.”

Tatapannya menyapu desa Harmony yang sunyi.

Lampu-lampu jalan masih menyala,

tapi tidak ada satu pun warga desa yang tampak.

Tidak ada langkah kaki.

Tidak ada suara.

“Cara lain adalah...”

Matanya berhenti pada satu tempat.

Kandang ternak.

Bangunan kayu kecil di ujung desa.

Dindingnya tampak tua, tapi bersih. Terlalu bersih.

“Di sana.”

Dia melangkah cepat namun senyap, seperti bayangan.

Sampai di depan kandang, ia meraih pegangan pintunya.

Ceklek.

Terkunci.

Tentu saja.

Dia menghela napas pelan, lalu membuka menu kecil di sudut penglihatannya.

Di dalam Inventory, hanya ada satu benda yang cocok.

[Lockpick – x1]

Ia menarik napas panjang.

“Satu-satunya... dan mungkin satu-satunya kesempatan.”

Dia menarik lockpick itu dari sistem, memutarnya pelan di jari, lalu menyisipkannya ke lubang kunci kandang.

Klik... klik...…klik.

Ia menahan napas.

“Jangan rusak. Jangan rusak. Jangan rusak...”

CRACK.

Kunci berputar.

Pintu kandang terbuka perlahan, menimbulkan suara kreeek panjang dan seram di keheningan.

Ikarosia menarik napas, lalu melangkah masuk.

“Mari kita lihat... apa yang sebenarnya kalian sembunyikan, Harmony.”

Pintu kandang terbuka sepenuhnya.

Ikarosia melangkah masuk, langkahnya hati-hati.

Namun...

begitu cahaya bulan masuk ke dalam celah-celah dinding kayu—ia melihatnya.

Gunungan tubuh.

Puluhan tubuh kering, tanpa darah, menumpuk seperti limbah.

Anak-anak.

Orang tua.

Wanita. Pria.

Dan di antara mereka...seorang pria tua dengan tongkat kayu dan kalung lambang desa.

“...Kepala desa…”

Ikarosia membeku.

Matanya membelalak—ekspresi yang sangat langka dari gadis bertudung merah itu.

Lalu, tanpa bisa ditahan, ia membungkuk dan muntah.

Suara kecil, tapi nyata.

Tangannya menutup mulutnya.

Meski ini dunia virtual,

bau mayat, tekstur kulit kering, detail wajah membeku dalam ketakutan...terlalu nyata.

Ia menatap kembali dengan wajah pucat.

Wajah cantik yang biasanya datar kini dipenuhi rasa jijik dan kemarahan yang tertahan.

“...Pantas saja…Quest ini... berbeda dari yang pernah kualami sebelumnya…”

Tangannya gemetar ringan saat mengusap mulutnya.

“TFGO adalah game yang menggunakan sistem hidup.

NPC di sini memiliki kesadaran. Mereka bisa berkembang sendiri.

Meski dunia ini ditinggalkan... sistem dunia tetap berjalan.”

Ia menatap kembali ke arah pintu.

Ingin lari...tapi rasa penasaran mengalahkan rasa takut.

“Dengan kata lain... desa ini—telah diinvasi oleh sesuatu.”

Napaknya mengeras.

Aura di sekeliling tubuhnya berubah.

Dingin. Terfokus.

Dan... sedikit bergetar karena adrenalin.

“...Ini bukan quest biasa.

Ini... skenario langka.”

Langkah kaki terdengar di ambang pintu kandang.

Ikarosia membalikkan badan secara refleks.

Kepala desa.

Tidak.

Palsu.

Wajahnya masih memancarkan senyuman lebar yang terlalu sempurna.

Terlalu simetris. Terlalu tenang.

“Wah... kukira kau akan ikut bersama petualang satunya. Rupanya kau tak sebodoh itu,”

Suara wanita itu terdengar lembut... tapi ada nada mengejek yang sangat dalam.

Dan saat itu juga—perubahan dimulai.

Rambut hitamnya memutih perlahan, berubah menjadi putih pucat mengilap seperti perak.

Matanya...dari cokelat lembut menjadi merah menyala—bukan hanya pupil, tapi keseluruhan bola matanya.

Kulitnya tetap halus dan cantik, tapi terlalu pucat untuk disebut hidup.

Pakaiannya berubah. Gaun sederhana desa itu hancur seperti kertas... lalu berganti.

Gaun panjang berwarna hitam pekat, dengan renda-renda halus menempel di sisi lengan.

Lengan dan kaki panjangnya kini tertutup kaus kaki panjang berenda hitam, dipadukan dengan sepatu hak tinggi tajam yang mengeluarkan suara klik-klak di lantai kayu.

Wajahnya tetap menawan. Terlalu menawan. Tapi ada telinga panjang yang runcing muncul dari balik rambutnya. Dan saat ia tersenyum lagi, sepasang taring putih panjang menyembul dari bibir merah darahnya.

Ikarosia berdiri diam.

Matanya menyipit. Tangannya perlahan bergerak ke arah sabit di punggungnya.

“Jika firasatku benar…”

Matanya menatap lurus ke mata merah yang menyala itu.

“…Dia adalah Vampir.”

Suara langkah berat terdengar di ambang pintu kandang.

Bartender.

Masih dengan senyum sopan dan kumis melingkarnya yang komikal.

Tangannya seperti biasa—menyeka gelas dengan kain lap.

Namun si kepala desa palsu menoleh, dan berkata dengan nada ringan:

“Terry... Kurasa sudah waktunya berhenti bermain peran sebagai orang lain.”

“Kita sudah menemukan mangsa baru.”

Bartender itu berhenti menyeka gelas.

Lalu, tanpa ekspresi, menjatuhkan kain dan gelasnya ke lantai.

Suara pecahannya bergema di antara mayat-mayat.

Tubuhnya mulai... mengembang.

Kulitnya—yang tadi cokelat sehat—menjadi abu-abu kelam seperti arang.

Otot-ototnya membesar tak proporsional, hingga seragam bartending-nya robek dalam suara krak-krak mengerikan.

Lengan kirinya terpecah menjadi dua—membentuk cakar besar dari tulang dan daging.

Wajahnya ikut berubah.

Kumisnya terbakar dalam nyala hitam, dan matanya…

Tumbuh empat. Dua vertikal, dua horizontal.

Mulutnya terbuka…

dan terbuka…

dan terus terbuka.

Hingga membentuk rahang melengkung seperti ular, dipenuhi gigi-gigi kecil yang terus bergerak.

“Grnghhhhh…”

Suara desis dan dengus seperti hyena cacat terdengar dari tenggorokannya.

Ikarosia mundur setengah langkah.

Wajahnya tetap tenang, tapi matanya kini benar-benar fokus.

“Satu vampir dan satu… ‘Terry’.”

Ia mencabut sabit merahnya dari punggung.

Aura darah menyelubungi bilah sabit itu.

“Kalau ini memang skenario langka…”

“Maka seharusnya… reward-nya juga sepadan.”

Sementara itu di tempat berbeda…

CRACK!

Shortsword Meridius menembus tengkorak serigala terakhir dengan dorongan kuat.

Makhluk itu mengeluarkan suara terakhirnya sebelum berubah menjadi partikel cahaya.

“Fiuh…”

Meridius berdiri, mengayunkan pedangnya ke tanah untuk menghilangkan sisa darah digital.

Ia menyarungkannya kembali.

[Item Drop: Wolf Fang x3]

Notifikasi muncul, melayang di sisi kanan pandangannya.

Namun...sebelum ia sempat membuka Inventory...

“Seseorang... tolong...”

Suara itu...suara wanita.

Lemah. Serak. Seperti habis menangis.

“Eh? Ada orang?”

Meridius menoleh ke arah gua. Tidak ada cahaya. Tanpa ragu, ia membuka menu dan mengeluarkan torch dari inventory.

Dengan obor di tangan, ia masuk perlahan ke dalam gua. Cahaya jingga dari torch menyapu dinding batu kasar...dan akhirnya…menerangi sosok di ujung gua.

Seorang wanita berambut putih, panjang dan kusut. Gaun hitam menjuntai hingga tumit. Sepatu hak tinggi, berlapis renda. Wajahnya… cantik, sangat cantik. Telinga panjang, khas elf…dan taring kecil menyembul dari bibirnya.

Tangannya dirantai ke dinding, begitu juga kedua kakinya. Tubuhnya tampak lemah, bergetar.

“Tolong… kakakku… Dia… membunuh semua orang...”

Meridius terdiam. Torch-nya bergetar sedikit.

“...Kakak?”

Dan saat itu juga—di tengah ruang gelap itu—

Notifikasi muncul.

[Quest Updated!]

RARE SCENARIO UNLOCKED

'End the Nightmare'

Objective:

✅ 1. Deal with the wolves in the south of the village

✅ 2. (Optional) Investigate the village

🔄 3. Bring the woman back to the village

Malam yang panjang akan dimulai.

More Chapters