WebNovels

Chapter 1 - Bab 1 - Kota Avivt dan Teman Lama

Padang berbatu yang terhampar luas di utara Benua Aldevra bergemuruh pelan oleh deru kendaraan tunggal yang melintas cepat. Roda baja besar hasil ciptaan magitek kuno menyapu debu jalanan, menyisakan jejak tipis sihir angin yang meliuk lembut di belakangnya. Di atas kendaraan berdesain unik yang tampak seperti gabungan antara makhluk buatan dan pusaka perang, duduk seorang wanita muda dengan rambut pendek kebiruan, menatap tajam ke cakrawala.

Namanya Gwen Vermilion.

Tubuhnya dibalut jaket abu yang terbuka, memperlihatkan crop top hitam yang menegaskan garis perutnya. Celana cokelat ketat dan sabuk kulit dengan gantungan logam putih mengayun di pinggangnya, melengkapi penampilannya sebagai arkeolog lepas yang tak terikat siapa pun. Di balik bajunya, tersembunyi sosok mungil berukuran ibu jari, bersayap kristal merah muda dengan rambut lembut yang ditata seperti kelopak bunga.

Veyrn. Peri Pengetahuan.

“Angin sore di tempat ini lumayan juga,” gumam Gwen, suaranya berat dan santai.

“Aku lebih menikmati hangatnya dada ini,” sahut suara kecil dari balik crop top-nya.

Gwen tersenyum miring. “Kau tahu saja tempat ternyaman.”

“Peri Agung butuh tahta yang megah,” sahut Veyrn dengan nada bangga.

Zura, kendaraan artefak yang mereka tunggangi, merespons dengan dengungan rendah. Getaran halus di kemudi menandakan protes kecil dari mesin yang diam-diam punya kesadaran sendiri. Gwen terkekeh pelan.

“Sepuluh meter lagi, Zura,” katanya sambil menepuk setang. “Saatnya berubah.”

Roda melambat, lalu berhenti tepat di depan batas pengaktifan sihir kota. Dengan satu sentuhan di bagian tengah kemudi, struktur tubuh Zura mulai bersinar. Bagian-bagian logamnya bergerak mundur, menyusut, dan dalam sekejap, kendaraan itu lenyap menjadi kilatan cahaya biru—meninggalkan sebuah kunci emas yang melayang di udara. Gwen menangkapnya tanpa ekspresi, lalu menggantungkannya ke sabuk kulit di pinggangnya.

“Aku selalu kagum,” gumam Gwen sambil berjalan menuju gerbang kota. “Kau tahu caranya membuat masuk kota jadi dramatis, Zura.”

Kota Avivt berdiri megah di hadapan mereka. Dinding batu berlumut, gerbang tinggi yang dijaga oleh dua dwarf berzirah lengkap, dan di baliknya, keramaian berbagai ras dari seluruh penjuru dunia. Elf, beastkin, manusia, bahkan segelintir orc terlihat lalu lalang di jalanan yang padat.

“Aku mencium aroma karamel… dan madu panggang… dan oh, lihat itu! Gadis beastkin telinga kelinci!” seru Veyrn, melesat keluar dari balik baju Gwen dan terbang rendah dengan gaya angkuh.

Gwen menyipitkan mata. Di dekat lapak teh herbal, seorang gadis remaja duduk sendirian. Rambut ombre ungu dan mata hijaunya tampak mencolok di balik jubah magenta yang terlalu besar. Senyum Gwen mengembang.

Ia melangkah pelan, mendekat dengan gaya santai dan nada suara rendah, “Hai, apa kau sendirian di sini, Nona muda?”

Gadis itu menoleh cepat. Matanya membesar, lalu wajahnya berubah pucat.

“M-Maaf! Saya tidak punya apa-apa! Jadi tolong jangan culik saya!”

Tanpa menunggu balasan, gadis itu melarikan diri sambil membawa kantong tehnya.

Gwen berdiri diam, lalu menengadah. “Siapa sangka godaan pertamaku hari ini akan gagal total.”

“Pesonamu terlalu dominan untuk anak seusianya,” komentar Veyrn sambil mengunyah sepotong buah dari gerobak yang lewat.

Suara berat tapi hangat memecah suasana dari arah belakang.

“Gwen Vermilion. Tidak kusangka kau benar-benar datang.”

Gwen menoleh. Seorang pria tinggi bertubuh kurus berdiri di sana. Rambutnya acak-acakan, kacamata bulatnya turun ke ujung hidung, dan ia memegang buku kecil bersampul kulit cokelat.

“Erwin Hawkins,” gumam Gwen. “Senang melihatmu masih hidup.”

“Aku juga senang kau mau menerima ajakkanku untuk datang ke Avivt. Para Peneliti lain pasti senang melihatmu di sini."

“Di mana sopan santunmu sebagai Tuan Rumah? Aku ini baru datang, jadi jangan bicara mengenai pekerjaan sekarang,” potong Gwen cepat, menyandarkan satu tangan di pinggul.

Erwin tertawa pelan. “Tenang. Aku tidak mengundangmu kemari untuk langsung kerja. Ayo, mari kita keliling kota dulu. Festival sedang berlangsung. Makanan enak, musik, dan kau mungkin bisa menangkap beberapa gadis manis yang bisa kau goda tanpa membuat mereka lari.” Erwin yang memang telah lama mengenal Gwen dengan segala sifatnya memberikan sindiran halus.

Sementara itu Veyrn sendiri bertepuk tangan kecil di udara. “Ajakan yang sangat profesional, Tuan Peneliti!”

Gwen mengangkat bahu. “Kalau begitu, mari nikmati Festival ini.”

Ia menepuk sabuknya, tempat kunci emas tergantung tenang.

“Istirahatlah sejenak, Sobat.” Zura merespon dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya yang kini menjadi kunci emas. Gwen menganggap gestur itu sebagai ucapan terima kasih dari teman seperjalanannya itu.

Dan demikian, Gwen berjalan menyusuri jalanan batu bersama Erwin dan Veyrn, menyusuri aroma rempah dan tawa pengunjung. Cahaya lentera menggantung rendah, musik gesek mengalun dari kejauhan, dan kehidupan kota Avivt menggeliat dalam irama yang meriah.

 ---

Keramaian festival malam Avivt menyebar seperti jaring cahaya dan suara yang menari di antara tenda-tenda makanan, panggung pertunjukan, dan kios kerajinan tangan. Musik petik khas elf dataran tinggi mengalun lembut dari kejauhan, mengiringi langkah Gwen Vermilion, Erwin Hawkins, dan Veyrn sang peri kecil yang sesekali menyelinap ke lapak manisan untuk mencuri sepotong kue madu tanpa rasa bersalah.

Gwen memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket sambil berjalan santai di tengah kerumunan. Mata kelabunya menyapu berbagai wajah: beastkin muda berjualan bunga, dwarf berjanggut panjang yang mabuk sambil bernyanyi, dan gadis-gadis manusia yang tertawa riang di balik kilauan lampu kristal.

Erwin berjalan di sampingnya, lebih tenang dari biasanya. Sorot matanya tajam seperti biasa, tapi tubuhnya tak lagi sekaku dua tahun lalu.

"Aku kira kau sudah menetap di salah satu kota pelabuhan, Gwen," ujar Erwin sambil melirik ke arah keramaian. "Atau paling tidak mendirikan toko artefakmu sendiri di Arvelia."

Gwen tersenyum miring. "Itu bukan gayaku, Erwin. Aku bukan tipe yang duduk manis di satu tempat sambil menghitung potongan kristal sihir. Aku lebih suka jalan, minum, tidur di atas batu, dan bangun dengan kepala pening di tempat asing."

Veyrn tertawa kecil sambil duduk di bahu kiri Gwen. "Dan mencium gadis-gadis asing, jangan lupa itu."

"Itu bagian dari penelitian sosial," sanggah Gwen santai. "Kau tahu sendiri."

Erwin menggeleng pelan. "Masih sama seperti dulu, ya."

"Kau sendiri bagaimana? Terakhir kali kita bertemu, kau masih tenggelam dengan bebatuan di reruntuhan Taman Langit. Itu dua tahun lalu."

Erwin tersenyum kecil, lalu menghela napas panjang. "Ya, itu ekspedisi yang berat. Tapi aku bertahan. Setelah itu, aku menetap di Avivt selama setahun terakhir. Ada beberapa pekerjaan konservasi artefak geologis dari masa Pra-Konsolidasi yang cukup penting di sini."

"Batuan hidup?"

"Tidak separah itu," jawab Erwin. "Tapi beberapa dari mereka masih menyimpan jejak sihir alami yang perlu distabilkan. Kerjaannya tenang. Aku bisa tidur di kasur empuk. Makan tiga kali. Dan..." — ia ragu sejenak, lalu menatap Gwen — "aku sudah bertunangan."

Langkah Gwen terhenti sesaat. Veyrn mendongak cepat, lalu melayang ke depan wajah Erwin.

"Serius?"

"Serius," jawab Erwin sambil tersenyum lebih lebar. "Namanya Sarah. Dia pemilik toko roti di selatan kota ini. Aku sering beli roti isi keju di sana. Lama-lama... ya, begitulah."

Gwen mengangguk pelan, wajahnya datar tapi tidak kosong. Ia kemudian tersenyum tipis. "Kau berubah juga akhirnya."

"Kadang yang kita butuhkan bukan reruntuhan besar, tapi orang yang mau menunggu kita pulang," ujar Erwin sambil tertawa ringan.

Veyrn bersiul pelan. "Itu kalimat paling romantis yang pernah kudengar dari mulutmu. Kau demam?"

Mereka tertawa bertiga, dan Gwen membiarkan tawanya pecah sedikit lebih panjang dari biasanya. Rasanya ringan—langka.

Suasana menjadi lebih lembut ketika mereka tiba di alun-alun kecil yang dipenuhi lampion terbang. Di sana, anak-anak elf berlarian sambil memegang balon sihir yang bersinar, dan para penjual makanan menyusun semangkuk sup hangat dan tusuk daging panggang di meja-meja kayu sederhana.

"Kau ingat Carla?" tanya Erwin tiba-tiba.

Gwen menoleh, lalu tersenyum samar. "Gadis penyihir petir yang suka memukuli tiang akademi kalau gagal ujian?"

"Itu dia," jawab Erwin. "Aku dengar sekarang dia jadi kepala pasukan sihir di barat Arvelia."

"Hebat juga. Terakhir aku dengar, dia hampir membakar perpustakaan karena eksperimen gelombang guntur."

"Demian juga berubah," lanjut Erwin. "Ia jadi dosen di Akademi Sentral. Mengajar taktik tempur sihir."

"Demian? Yang selalu membawa bantal ke kelas?"

"Yang itu."

Veyrn menertawakan dirinya sendiri. "Dunia ini aneh. Semua orang dewasa."

"Kecuali aku dan Zura," kata Gwen ringan.

"Arnold jadi pengusaha tambang kristal. Kaya raya, katanya," ujar Erwin lagi.

"Aku tidak iri. Aku punya Zura," ucap Gwen sambil menunjuk sabuknya.

"Dan Tifa?" tanya Veyrn sambil terbang mengelilingi kepala Gwen. "Gadis penyihir alam yang membongkar kebenaran tentang Veyrn yang sejak kecil aku sembunyikan?"

Erwin mengangguk. "Dia sekarang tinggal di Utara. Jadi guru sekolah dasar sihir."

"Itu... mengejutkan," gumam Gwen.

Mereka melanjutkan perjalanan hingga lampu-lampu mulai meredup digantikan sinar lentera. Kerumunan tetap ramai, tapi suasananya menjadi lebih tenang. Musik berubah menjadi lebih pelan, lebih cocok untuk malam yang beranjak dalam.

Di salah satu sudut kota, mereka berhenti di depan sebuah bar kecil dengan papan kayu bertuliskan "Elarin's Horn". Suara musik akustik terdengar lembut dari dalam, diselingi aroma minuman hangat dan panggangan malam.

"Bar ini punya minuman madu terbaik di seluruh Avivt," ujar Erwin sambil membuka pintu. "Kau harus coba."

Gwen menyeringai. "Kau tahu cara memikatku."

Mereka masuk, dan suara denting gelas serta tawa rendah menyambut seperti rumah yang sudah lama ditinggalkan. Gwen melirik ke arah kursi di dekat jendela dan segera duduk. Veyrn mendarat di atas meja, menyilangkan kaki kecilnya dan mengetuk permukaan kayu dengan tongkat kecilnya.

Erwin memesan tiga gelas: dua bir ringan dan satu gelas kecil madu pekat untuk Veyrn.

"Untuk reuni setelah dua tahun tidak bertemu," ucapnya sambil mengangkat gelas.

"Dan untuk semua hal manis di dunia ini," tambah Veyrn.

Gwen tertawa, mengangkat gelasnya tinggi. "Untuk Zura juga. Yang sabar menunggu di sabukku, walau tahu aku suka membuat masalah."

Mereka menenggak minuman, dan di dalam bar kecil itu, tiga sosok yang berbeda latar dan usia berkumpul seperti dulu.

Di luar, langit Avivt bersih dan berkilau. Festival belum usai. Tapi bagi Gwen Vermilion, malam ini bukan tentang pelarian atau perburuan artefak.

Ini tentang kenangan, tawa, dan sedikit jeda sebelum Erwin membahas tentang pekerjaan dengan dirinya.

 ---

Udara di dalam Elarin's Horn semakin menghangat. Percakapan antar meja terdengar samar, dan musik petik dari pojok ruangan berpadu manis dengan aroma kayu bakar dan madu fermentasi. Gwen menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, lengan disilangkan, dan wajahnya menatap santai ke arah Erwin yang kini tampak lebih serius.

Veyrn, yang tadinya bersandar malas di gelas kecil berisi madu, mengangkat kepalanya. Matanya menyipit—ia bisa membaca atmosfer dengan sangat baik.

Erwin meletakkan buku kulitnya di meja, membuka beberapa halaman yang sudah dipenuhi catatan dan sketsa simbol. Di tengah lembaran itu, terdapat gambar sebuah batu kristal berwarna kehijauan, dengan retakan simetris di salah satu sisinya.

"Aku tidak memanggilmu ke Avivt hanya untuk bernostalgia," ujar Erwin perlahan. "Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu."

Gwen tidak menjawab. Matanya hanya menatap gambar di buku itu, lalu berpindah pada Erwin. Ia menunggu.

"Tiga bulan lalu, seorang penambang lokal menemukan sebuah kristal saat menggali di reruntuhan utara perbukitan Yusren. Awalnya dikira hanya sisa sihir alam biasa. Tapi setelah kami bawa ke laboratorium konservasi, kami mendapati—" Erwin berhenti sejenak, menatap Gwen dalam-dalam. "—bahwa struktur sihirnya tidak cocok dengan era mana pun yang pernah tercatat."

Gwen mengangkat satu alis. "Tidak cocok?"

"Tidak hanya itu," lanjut Erwin, kini suaranya nyaris berbisik. "Jejak waktu pada kristal itu menunjukkan usia sekitar empat ribu tahun. Itu... jauh sebelum Kerajaan Arvelia berdiri. Bahkan sebelum Benua Aldevra mengalami konsolidasi peradaban sihir."

Veyrn bersiul pelan. "Zaman Magianoia."

Gwen mengangguk pelan. "Itu bukan era yang bisa dimengerti hanya dengan membacanya di perpustakaan. Tidak banyak artefak yang bisa bertahan dari masa itu, apalagi yang masih aktif."

"Dan di sinilah aku butuh bantuanmu," kata Erwin, memutar buku agar gambar kristal itu menghadap Gwen. "Kami tidak berani menyentuhnya lebih jauh. Struktur sihirnya terlalu rumit. Timku bisa saja memicunya tanpa sengaja. Aku ingin kau menganalisisnya. Menggunakan sihirmu."

Gwen mengambil buku itu, menatap gambar dengan serius. Jemarinya menyusuri garis-garis ukiran kristal di kertas, seolah bisa merasakan energi di balik goresan tinta.

"Kau tahu aku tidak datang dengan gratis," ujar Gwen akhirnya. "Bahkan untuk teman lama."

Erwin menyandarkan tubuh ke kursi, wajahnya pasrah. "Kau ingin apa kali ini?"

Gwen menoleh perlahan, senyumnya menyungging penuh teka-teki. "Kenalkan aku pada tunanganmu."

Veyrn tertawa terpingkal-pingkal hingga hampir tumpah dari gelasnya. "Oh, ini akan jadi menyenangkan!"

Erwin mengerjap. "Tunggu, kau ingin bertemu Sarah?"

"Tentu saja. Aku ingin tahu seperti apa wanita yang bisa membuat pria pendiam pencinta batuan seperti dirimu memutuskan untuk bertunangan."

"Dan kalau aku tidak setuju?"

"Maka aku tidak akan menyentuh kristalmu. Dan mungkin aku akan menyebarkan desas-desus bahwa Erwin Hawkins terlibat dalam sindikat penyelundupan artefak zaman kuno," ujar Gwen sambil menyeruput birnya dengan santai.

Erwin mendesah panjang. "Kau tidak berubah sama sekali."

"Aku anggap itu sebagai pujian."

 ---

Keesokan paginya, matahari baru saja naik ketika Gwen dan Veyrn berjalan menyusuri distrik selatan kota Avivt. Daerah itu lebih tenang dari pusat kota—dipenuhi toko-toko kecil, pemukiman, dan aroma roti hangat yang keluar dari oven tanah liat.

"Kau yakin dia akan mengenalkan kita langsung?" tanya Veyrn sambil duduk di bahu Gwen, tangannya sibuk memainkan bunga kecil.

"Kalau dia tidak mau, aku akan menyelinap ke rumahnya dan mencuri resep roti Sarah."

Veyrn terkekeh. "Itu lebih jahat dari menyebarkan desas-desus."

Mereka berhenti di depan sebuah toko roti sederhana dengan papan kayu bertuliskan: "Roti Sarah – Hangat dari Hati". Dari jendela, tampak seorang wanita muda berambut cokelat gelap sedang menyusun roti di etalase. Senyum lembut menghiasi wajahnya saat ia berbicara dengan pelanggan.

Erwin berdiri di dekat pintu, melambai ke arah Gwen. Ia tampak lebih gugup dari biasanya.

"Kau siap?" tanyanya.

"Selalu," jawab Gwen ringan.

Sarah menoleh saat mereka masuk. Ia langsung tersenyum saat melihat Erwin, lalu mengalihkan pandangannya pada Gwen dan Veyrn.

"Ini dia orang yang kuceritakan padamu," kata Erwin. "Gwen Vermilion."

Sarah tersenyum lebih lebar. "Akhirnya aku bertemu dengan sahabat paling merepotkan milik tunanganku."

Gwen terkekeh. "Kau tahu, aku lebih suka disebut luar biasa daripada merepotkan."

Veyrn melayang turun dan membungkuk dengan gaya berlebihan. "Saya Veyrn, peri pengetahuan dan penghibur pribadi Gwen."

Sarah tertawa. "Senang bertemu kalian. Silakan duduk. Aku akan buatkan roti isi keju dan teh madu."

Erwin menatap Gwen dengan tatapan seolah berkata: puas sekarang?

Dan Gwen, sambil memandang Sarah yang mulai menyiapkan hidangan, hanya menjawab dengan senyum lebar dan mata yang berbinar. Tapi jauh di dalam benaknya, Gwen tahu—perjalanan kali ini tidak akan sesederhana membantu seorang teman.

Karena artefak dari zaman Magianoia tidak pernah muncul tanpa membawa sesuatu yang jauh lebih besar.

Sesuatu yang mungkin akan membuka pintu rahasia dunia yang seharusnya tetap terkubur selamanya.

More Chapters