WebNovels

Chapter 2 - Immortal Forsaken

Bab 1 – Bab 2 – Jalan yang Tidak Diampuni

Sejak hari pemakaman itu, Yan Xuan tak pernah lagi sama.

Langit telah mengambil segalanya.

Dan balasan hanyalah masalah waktu.

Selama berhari-hari ia hanya duduk di depan pusara ibunya, diam. Tidak makan. Tidak tidur. Tidak menangis lagi. Hatinya telah kering, tapi matanya menyala dengan api yang tak bisa padam.

> "Aku akan menjadi kuat, Bu...

Aku tidak akan membiarkan siapa pun lagi dirampas oleh dunia ini..."

---

Hari demi hari, ia mengayuh hidupnya seperti mayat berjalan.

Namun semangatnya masih menyala.

Ia mulai melatih tubuhnya di balik hutan. Menumbuk batu dengan tangan kosong, mengangkat batang pohon, dan berlari tanpa henti meski lututnya berdarah.

Tak ada guru.

Tak ada teknik.

Hanya dendam dan niat.

Sampai suatu malam—di tengah hujan lebat dan tubuhnya yang demam—ia pingsan di pinggir sungai.

---

Ketika ia membuka mata...

Ia berada di dalam sebuah gubuk tua.

Seseorang sedang menyiapkan ramuan pahit di atas tungku.

Orang itu adalah seorang lelaki tua berjenggot abu-abu, dengan mata tajam dan tangan kasar. Pakaiannya lusuh, namun aura di sekelilingnya berat—bagaikan gunung diam.

> "Kau masih hidup karena nasibmu belum selesai," ucapnya datar.

> "Siapa kau…?" tanya Yan Xuan lemah.

> "Namaku tak penting. Tapi aku melihat semangat di matamu—api yang bahkan badai pun tak bisa padam."

Orang tua itu adalah mantan kultivator... seseorang yang pernah menginjak ranah puncak, namun memilih menghilang dari dunia.

---

Ia mengajarkan Yan Xuan dasar-dasar kultivasi.

Tentang Qi. Tentang jalur meridian.

Tentang Ranah Immortal.

> "Ada 15 tahapan kultivasi utama dalam jalan menuju keabadian.

Tapi bagi orang seperti kita, yang dibuang langit—tiap langkah adalah siksaan."

> "Dan jalanmu, Yan Xuan, bukanlah jalan suci...

Tapi jalan berdarah yang takkan diampuni."

---

Ranah Kultivasi Immortal (Dasar):

1. Pengumpulan Qi (Qi Gathering)

2. Pembukaan Meridian (Meridian Opening)

3. Pematangan Inti (Core Foundation)

4. Pembentukan Inti (Core Formation)

5. Pemisahan Jiwa (Soul Split)

6. Penguatan Jiwa (Soul Tempering)

7. Langkah Immortal Awal (Initial Immortal Step)

8. Ranah Ascendant (Pendaki Surga)

9. Transendensi Tubuh (Body Transcendence)

10. Ranah Nirwana (Nirvana Realm)

11. Jantung Surga (Heart of Heaven)

12. Jiwa Langit (Heaven's Soul)

13. Pilar Keabadian (Immortal Pillar)

14. Tuan Surga (Heaven's Lord)

15. Immortal Sejati (True Immortal)

---

> "Namun ingat," kata si kakek, matanya menyipit,

"Semakin tinggi kau melangkah, semakin besar dosa yang akan kau timbun.

Karena untuk naik ke puncak… kau harus menginjak banyak kepala."

Lalu si kakek mengucap sebuah puisi pendek—datar, dingin, menusuk:

> "Langit tak adil bagi yang lemah,

Tanah tak merangkul mereka yang dibuang.

Tapi darah adalah tinta,

Dan dendam adalah jalanku untuk menulis ulang takdir."

---

Yan Xuan mengukir puisi itu dalam hatinya.

Dan sejak hari itu, ia memulai pelatihan kultivasinya secara resmi, dimulai dari Ranah Pengumpulan Qi.

Tahun-tahun berlalu...

Di tengah malam yang sunyi, suara tinjunya memecah batu. Nafasnya menyatu dengan alam. Qi perlahan-lahan mengalir dari dunia masuk ke tubuhnya. Meridian-nya terbuka satu per satu dengan rasa sakit luar biasa.

---

Hingga suatu hari, ia kembali ke gubuk…

Dan mendapati si kakek tengah bertarung melawan sekelompok kultivator bertopeng.

Darah bercucuran. Tanah terbelah.

Yan Xuan hanya sempat melihat tubuh sang guru tertancap tombak hitam di dada sebelum roboh dengan senyum tipis di wajahnya.

> "Jangan ikuti jalanku...

Lewatilah aku."

---

Yan Xuan tidak menangis. Tidak teriak.

Ia tertawa—pelan... lalu makin keras.

Air matanya jatuh, tapi wajahnya tersenyum.

Rambutnya perlahan memutih, berubah warna karena pengaruh Qi yang liar dan guncangan emosi yang ekstrem.

> "Kalian... sudah mati."

"Cuma belum kubunuh saja."

Dan dengan itu...

Jalan tanpa ampun itu dimulai.

Hujan turun tanpa henti di atas tanah yang retak. Angin membawa bau darah, lumpur, dan kesepian. Di kaki gunung kecil itu, ada sebuah gubuk reyot, tempat seorang anak laki-laki berusia tiga belas tahun menggenggam tangan ibunya yang kurus dan pucat.

Nama anak itu adalah Yan Xuan.

Dan dunia telah menolaknya sejak ia dilahirkan.

---

Di masa lalu, Yan Xuan adalah anggota klan ternama: Klan Yan dari Lembah Angin Timur. Tapi ia bukan penerus, bukan juga anak jenius—melainkan cucu dari istri selir yang dituduh membawa sial. Ayahnya hilang dalam misi, dan ibunya... lumpuh karena kutukan yang tak pernah dijelaskan siapa pun.

Sejak itu, ia dan ibunya hidup seperti hantu di halaman belakang klan.

Dihina. Diabaikan. Dihujat.

Sampai pada hari yang memutuskan segalanya.

---

Hari itu, seluruh tetua klan berkumpul. Salah satu artefak leluhur retak tanpa sebab. Mereka menyebutnya sebagai "tanda malapetaka"—dan entah bagaimana, jari mereka menunjuk ke satu nama:

> "Yan Xuan! Anak sial yang membawa kutukan!"

Ibunya memohon sambil merangkak, namun hanya ditendang oleh sepupu-sepupu yang dulu mereka rawat seperti keluarga.

> "Keluar dari klan! Sebelum langit murka pada kita semua!"

---

Mereka terusir.

Dengan tubuh ibunya yang ringkih dan luka di punggungnya, Yan Xuan berjalan menyusuri hujan malam menuju hutan luar desa. Ia menemukan gubuk kosong dan tinggal di sana, makan akar liar dan menjual kayu bakar untuk membeli obat murahan.

Hidup mereka kini hanya bergantung pada secercah harapan.

Namun dunia belum selesai menyiksa mereka.

---

Suatu pagi, Yan Xuan turun ke pasar desa membawa kantong kecil berisi uang dari hasil mencari kayu dan tanaman herbal. Ia berniat membeli obat untuk ibunya yang demam tinggi.

Namun seorang preman pasar menghadangnya.

> "Serahkan uangmu, bocah! Atau kubiarkan kau mati di sini!"

Wajah Yan Xuan pucat. Ia berusaha lari, tapi terjatuh ke pelukan si preman. Ia gemetar, memikirkan ibunya. Lalu, dengan air mata di mata dan bibir gemetar, ia menyerahkan uangnya.

> "Maaf... Ibu... aku tak bisa..."

---

Ia pulang dengan langkah goyah. Namun saat membuka pintu gubuk—

Ibunya tergelatak di tanah, tubuhnya menggigil dan kulitnya pucat membiru.

> "Ibu?! IBU!"

Ia berlari, menggendong ibunya, lalu memohon ke penduduk desa untuk bantuan.

> "Tolong! Tolong! Ibuku sekarat!"

Namun... tak satu pun mengulurkan tangan.

Desa itu tengah dilanda kekeringan dan kelaparan. Tak ada air. Tak ada belas kasihan.

> "Maaf, Xuan... kami juga berjuang untuk hidup."

---

Ia pun berjalan jauh, menyusuri jalan setapak ke kota terdekat sambil menggendong ibunya di punggungnya. Ia jatuh, bangkit, lalu jatuh lagi.

Di tengah hutan, saat hujan kembali turun, ia melihat seorang gadis berpakaian compang-camping berdiri di bawah pohon. Wajahnya lembut, tapi penuh luka.

Namanya adalah Lian Yu.

Melihat Yan Xuan yang lelah, gadis itu menawarkan tempat berteduh di gubuknya yang sederhana.

> "Tunggu di sini... aku akan cari tabib..."

---

Namun beberapa jam kemudian, Lian Yu kembali dengan tubuh penuh luka. Wajahnya lebam, bajunya robek.

> "Aku... Aku mencoba... tapi bandit mengambil semua uangku... mereka... memukuliku... karena aku tidak menyerahkan cincin ibu..."

Ia menangis, jatuh berlutut di depan Yan Xuan.

> "Maaf... aku gagal..."

Yan Xuan hanya menatap gadis itu. Ada kehancuran di matanya. Tapi ia tak berkata apa pun.

Malam itu, ibunya sadar sebentar. Ia memeluk tangan anaknya yang dingin.

> "Nak... tidak apa... ibu masih di sini... kau sudah berusaha..."

Esok paginya, Yan Xuan keluar sebentar untuk mengambil air hangat. Tapi ketika ia kembali...

Ibunya sudah tiada.

Tubuhnya membiru, matanya kosong, dan napasnya telah lenyap.

---

> "Ibu...? Ibu... bangun... aku sudah ambilkan teh... IBU!"

Ia mengguncang tubuh ibunya. Tapi tak ada jawaban.

Jeritan anak yang telah kehilangan segalanya menggema ke langit yang kelam. Dunia tak menjawab. Langit tetap diam.

---

Lian Yu memeluk Yan Xuan dari belakang. Ia gemetar, lalu berbisik:

> "Turut berduka, kak... Kita kuburkan beliau bersama..."

Mereka menguburkan ibunya di belakang gubuk.

Yan Xuan berdiri di depan pusara sederhana itu, lalu menunduk dan menggenggam tanah yang masih basah.

> "Langit menolak kami... dunia membuang kami... Tapi dengarlah ini, Ibu..."

"Aku... akan melawan semuanya."

Langit mengguntur perlahan, seakan menertawakannya.

Namun itulah awal.

Awal dari seorang anak terbuang yang kelak akan menantang surga.

Bab 3 – Ujian di Akademi Langit Timur

Tiga tahun telah berlalu sejak kematian sang guru.

Yan Xuan, kini remaja berusia tujuh belas, berjalan menuju gerbang Akademi Langit Timur—tempat para calon kultivator muda dari seluruh negeri mengadu nasib.

Pakaiannya lusuh. Tubuh kurusnya tampak biasa saja.

Tapi matanya... seperti jurang hitam yang menyimpan badai dendam.

Orang-orang memandangnya sinis.

> "Lihat dia... anak desa miskin ingin jadi kultivator?"

"Huh, jalan saja pakai alas kaki bolong, mau ikut ujian akademi?"

"Buang-buang tempat! Harusnya cuma bangsawan yang boleh daftar!"

Tawa dan hinaan menyambut langkah pertamanya.

Tapi ia diam saja.

Karena dalam pikirannya, mereka semua... hanya bayangan yang bisa dilindas suatu saat nanti.

---

Tes Pertama: Batu Pengukur Potensi Qi

Di hadapan peserta, sebuah batu kristal besar berpendar biru.

Setiap calon harus menyentuhnya. Semakin kuat sinar yang muncul, semakin besar potensi kultivasi mereka.

Bangsawan satu per satu maju.

Ada yang mengeluarkan cahaya hijau terang.

Ada pula yang membuat batu bergemuruh. Semua bertepuk tangan.

Saat giliran Yan Xuan tiba, orang-orang menguap.

> "Hah, dia bisa bikin batu itu bersinar aja udah keajaiban."

Yan Xuan menempelkan tangannya...

…tak terjadi apa-apa.

Sunyi. Tak ada cahaya. Tak ada getaran.

> "Hahahaha! Nihil! Nol! Gak ada bakat!"

"Dia cuma pengganggu. Suruh pulang kampung!"

Tapi para tetua penguji justru menatap tajam, raut wajah mereka berubah tegang.

> "Tunggu... kenapa kristalnya dingin...? Tak wajar..."

Batu itu tidak mati, tapi ketakutan.

Batu itu, yang terbentuk dari energi langit, menolak mengukur aura seseorang yang telah 'dimurkai langit'.

Seorang... yang berada di luar takdir.

---

Meski begitu, karena desakan peserta lain, Yan Xuan tetap diizinkan masuk...

Sebagai murid luar, status terendah yang hanya diberi hak tinggal dan belajar dasar, tanpa pelindung, tanpa sumber daya, dan penuh penghinaan.

---

Hari-Hari di Akademi

Hari-hari berlalu dengan perlakuan kejam.

Di ladang latihan, ia jadi bahan tertawaan.

Di ruang makan, makanannya disabotase.

Di tempat tidur, ia dilempari lumpur.

Ia bersabar.

Tapi seperti embun di pagi hari, kesabaran juga bisa menguap.

---

Hingga suatu hari, di tengah sesi latihan bela diri...

Seorang murid bangsawan menendang dadanya, membuatnya jatuh ke tanah keras.

> "Kau cocoknya menyembah kami, bukan jadi murid di sini!"

Tawa meledak.

Tapi untuk pertama kalinya, Yan Xuan tak tinggal diam.

Ia berdiri perlahan. Mata menyala. Qi-nya melonjak liar.

> "Yang kuat akan dihormati…

Yang lemah hanya akan diinjak.

Maka hari ini… biarlah kukenalkan rasa diinjak pada kalian!"

Ia menyerang balik.

Bertarung tak seperti murid biasa.

Tiap pukulan mengandung kemarahan yang telah lama terpendam.

Namun... meski ia berhasil melukai lawannya, dia tetap kalah jumlah. Beberapa murid lain menyerangnya bersama-sama.

Tubuhnya terkapar. Darah di bibir.

Namun sebelum pingsan, ia berteriak:

> "Kau semua boleh mencaciku...

Tapi satu hari nanti, kalian akan menyembah tanah yang kupijak!"

---

Ia kabur ke hutan terlarang di belakang akademi.

Tubuhnya luka, tetapi semangatnya masih utuh.

Dan di sanalah, di sebuah jurang tersembunyi...

Ia bertemu dengan seorang lelaki tua, berjubah hitam, yang tengah berdiri di atas bambu, seperti tak tersentuh angin.

> "Bocah, kau membawa luka yang lebih dalam dari luka di tubuhmu...

Apa kau ingin membalas takdir?"

> "Tidak," ujar Yan Xuan dengan mata tajam.

"Aku ingin menghancurkan takdir."

Kakek itu tertawa pelan.

> "Bagus. Maka kuajarkan padamu seni bela diri yang dunia telah lupakan...

Ilmu yang hanya diwarisi oleh mereka yang telah dibuang langit dan dikutuk bumi."

More Chapters