WebNovels

Chapter 3 - Bab. 3 Retak yang pelan pelan tak ter elakkan

Awalnya, aku kira itu cuma hari yang buruk. Sarah lebih pendiam dari biasanya. Senyumnya tak semanis kemarin. Dan matanya—yang dulu hangat menatapku—sekarang sering melihat ke tempat lain saat bicara.

"Minggu ini aku sibuk," katanya waktu itu. "Ada proyek kampus, deadline banyak banget."

Aku mengangguk, mencoba mengerti. "Nggak apa-apa, aku tungguin aja. Semangat ya."

Dia tersenyum tipis. Tapi aku tahu, itu bukan senyum yang sama seperti dulu.

Perubahan itu datang tak sekaligus. Ia datang dalam bentuk hal-hal kecil: balasan chat yang semakin singkat, suara yang tak lagi antusias, dan alasan-alasan yang makin sering terdengar seperti penolakan halus.

Dulu, kami bisa tertawa berjam-jam hanya karena membahas rasa kopi yang berbeda. Sekarang, bahkan untuk membalas "udah makan belum?" saja butuh waktu berjam-jam.

Aku mulai menyimpan banyak tanya dalam hati.

Apakah dia benar-benar sibuk?

Apakah dia mulai bosan?

Atau... apakah ada orang lain?

Tapi aku diam. Seperti biasa. Karena aku takut—kalau aku tanya, aku harus mendengar jawaban yang tak siap kudengar.

Suatu malam, kami sempat bertemu. Sarah terlihat lelah. Aku membawakan kopi favoritnya, tapi ia menolaknya.

"Maaf, lagi nggak mood," katanya pelan.

Aku duduk di sampingnya. Lama kami diam. Biasanya, diam kami terasa nyaman. Tapi kali ini, diam itu seperti jurang.

"Ada yang berubah, ya?" aku akhirnya bertanya.

Sarah menatapku lama. Seolah mencari kalimat yang cukup aman untuk tidak menyakitiku.

"Nggak tahu, Tio… Aku cuma… capek."

Capek. Kata sederhana yang menyimpan begitu banyak makna.

Capek dengan kuliah? Capek dengan hubungan ini? Atau... capek denganku?

Tapi seperti biasa, aku tidak bertanya lebih jauh. Aku hanya diam, menggenggam tangannya yang mulai dingin. Dan dia membiarkannya selama beberapa detik… sebelum akhirnya menariknya perlahan.

Hari-hari berikutnya, kami seperti dua orang asing yang pura-pura masih sama. Masih saling menyapa, tapi tidak sedekat dulu. Masih saling tanya kabar, tapi tak benar-benar peduli jawabannya.

Aku mencoba mengajak bicara. Mengajak bertemu. Tapi selalu ada alasan. Entah benar, entah tidak.

Sampai akhirnya, suatu malam, dia mengirim pesan singkat.

"Tio, aku pikir kita perlu waktu. Aku butuh ruang untuk sendiri."

Hatiku hancur. Tapi aku tetap mengetik balasan.

"Oke. Kalau itu yang kamu butuh."

Dan di situlah aku belajar: kadang, cinta tidak hilang karena pengkhianatan besar. Tapi karena dua orang yang dulu saling mencinta… perlahan berhenti saling bicara.

Bukan karena tak peduli. Tapi karena terlalu takut menyakiti, jadi akhirnya saling diam.

Dan diam itu… adalah awal dari segalanya retak.

...

More Chapters