WebNovels

Chapter 2 - 1. THIS IS THE BEGINNING

Akhir-akhir ini, setiap sore di kota selalu disambut oleh hujan gerimis yang turun perlahan—membasahi jalanan yang sepi dan lengang, seolah alam pun sedang bersedih dalam diam. Angin kecil menyusup lembut namun menusuk kulit, dingin yang merayap hingga ke tulang, membuat Liane memeluk tubuhnya sendiri sambil mengeratkan jaket pink yang melekat di badannya. Bukan hanya untuk menghangatkan diri, tapi juga seakan menjadi bentuk perlindungan terakhir dari dunia yang terasa begitu keras dan asing.

Sore itu terasa lebih pilu dari biasanya. Langit menggantungkan awan kelabu yang berat, nyaris seperti hatinya sendiri yang penuh beban tak bernama. Liane berdiri di halte tua, sendirian, sambil menatap hujan yang jatuh membentuk pola-pola abstrak di atas aspal. Dalam hati, ia bertanya pelan, "Cobaan apalagi yang harus aku hadapi sekarang?" Rasanya tubuhnya remuk—tidak hanya lelah secara fisik, tapi juga jiwanya yang terasa hancur perlahan, digerus oleh luka dan kecewa yang datang silih berganti.

"Sudahlah... tidak ada gunanya berharap pada lelaki," batinnya lirih, mencoba menenangkan diri sendiri. "Bahkan Ayah pun seperti itu..."

Kalimat itu menusuk lebih dalam dari yang ia duga. Di usia yang seharusnya penuh warna dan semangat, ia justru dihadapkan pada kenyataan pahit tentang pengkhianatan dan perpisahan. Masa remaja baginya bukan tentang cinta pertama yang manis atau sahabat yang seru—melainkan tentang bagaimana bertahan dari rasa sakit dan berusaha tetap percaya, padahal hatinya sudah berkali-kali retak.

Keluarganya? Jangan tanya. Seluk-beluknya terlalu rumit untuk dijelaskan. Sebagian orang mungkin menyebutnya "keluarga baru", tapi bagi Liane itu adalah reruntuhan dari rumah tangga yang tak lagi utuh. Ia hidup di antara dua dunia, tanpa benar-benar merasa dimiliki oleh keduanya.

Namanya Liane Fadellaeva. Gadis dengan rambut panjang yang kerap terurai bebas, menyembunyikan mata sendu dan pikiran yang jauh dari kata sederhana. Terlahir dari keluarga yang retak membuatnya selalu waspada, terutama pada lawan jenis. Ia sulit percaya, dan siapa pun yang masuk ke dalam hidupnya harus menghadapi dinding tinggi yang ia bangun sejak lama.

Hampir dua puluh menit ia menunggu bus yang tak kunjung datang. Hujan belum juga reda, dan halte itu hanya diisi oleh suara hujan serta deru kendaraan yang sesekali melintas. Lalu tiba-tiba, suara bising dari knalpot motor-motor besar mengusik ketenangannya. Sekelompok geng motor melaju cepat di hadapannya, menebar suara dan aura yang mengintimidasi. Liane langsung tahu siapa mereka—para berandalan sekolah yang kerap menjadi idola diam-diam di kalangan ABG.

Tatapannya tanpa sadar terkunci pada sosok di paling depan. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar yang tampak lebih menonjol daripada yang lain. Motor Chopper yang ia kendarai terlihat garang dan mahal, membuatnya semakin menonjol. *Pasti dia ketuanya...* pikir Liane.

Tapi yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat adalah ketika pria itu menoleh—hanya sesaat, tapi cukup untuk mempertemukan mata mereka dalam tatapan singkat yang mengejutkan. Ada sesuatu di matanya. Liane pun reflek memalingkan wajah, gugup oleh pertemuan yang tak terduga.

"Dia untukmu."

Suara berat itu membuat Liane melompat kecil. Ia baru menyadari, ada seseorang yang sedang berbicara di telepon tak jauh darinya. Tapi nada kalimat itu seolah ditujukan padanya, seolah bisikan dari sesuatu yang tak nyata.

"Apa sih, bikin kaget aja!" gerutunya sambil menepuk dadanya, mencoba menenangkan diri dari detak jantung yang tiba-tiba melesat. Tapi ia tahu... hati kecilnya menyimpan rasa aneh. Entah itu takut, penasaran, atau justru—sebuah pertanda bahwa hidupnya tak akan lagi sama setelah sore itu.

***

Basecamp itu tidak seperti tempat nongkrong kebanyakan. Dari luar, bangunannya seperti vila modern dinding kaca tinggi menjulang, lampu gantung elegan menghiasi langit-langit tinggi, dan halaman luasnya dipenuhi motor-motor gede yang berjajar gagah bak pasukan tempur. Tapi jangan tertipu oleh kemewahannya. Begitu masuk, suasananya berubah total.

Di dalam, interior mewah itu seolah dikuasai oleh kekacauan yang sah. Sofa kulit mahal penuh dengan noda bekas minuman dan abu rokok. Di meja tengah, botol-botol alkohol dari yang murah sampai impor berserakan tak beraturan, dikelilingi bungkus camilan, kartu remi, dan korek api. Musik keras menggelegar dari speaker canggih yang seharusnya memutar lagu jazz, tapi malah menyemburkan beat hip-hop jalanan yang kasar.

Ini bukan rumah. Ini zona bebas.

Tempat di mana anak-anak yang dianggap rusak oleh sekolah dan keluarga, menemukan definisi rumah yang berbeda.

Setra duduk di salah satu sofa, kakinya naik ke sandaran, rokok menyelip di sela jari. Asap mengepul, melayang lambat ke langit-langit. Di sekelilingnya, tawa keras, makian, dan candaan vulgar terdengar bersahutan. Tapi mata Setra tetap tajam, memperhatikan semuanya seperti raja tak resmi dari kekacauan ini.

"Malem ini gue gak nginep," ucapnya santai ke arah Nick yang duduk di armchair sebelah, memainkan manik-manik gelangnya.

Nick mengangkat alis. "Bokap lo nyuruh pulang?"

Setra mengangguk malas. "Katanya mau ngenalin istri barunya."

Nick tertawa pendek. "Gila... nikah lagi tuh orang? Gak puas-puas amat ya."

"Maybe," jawab Setra datar, tanpa emosi.

Mereka sudah terlalu sering bicara soal keluarga dengan nada seperti itu datar, acuh, seperti luka yang sudah terlalu lama menganga dan tak bisa diobati lagi.

Nick dan Setra tumbuh dalam kebebasan yang keliru. Mereka kaya, punya akses ke segala hal, tapi miskin dalam perhatian. Tak heran, basecamp ini seperti surga bagi jiwa-jiwa rusak mereka: nyaman, liar, bebas dari aturan.

"Lo gak minum?" tanya Setra, menoleh ke kumpulan anak-anak motor yang sedang saling tantang untuk 'bottoms up'.

"Ntar malem aja," sahut Nick, melempar tutup botol ke lantai dengan suara nyaring.

"Gue bawa beberapa botol ke rumah. Buat ngebulikin kepala."

Nick menatapnya heran. "Lo mau mabok di rumah lagi?"

Setra menyeringai miring. "Kenapa? Lo juga tahu tiap malem gue mabok. Biasa aja."

Nick mengangkat bahu. "Terserah lo. Cuma jangan sampe besok bolos lagi."

Setra mendesis. "Cih! Sekolah cuma buat orang yang masih punya masa depan."

Suasana sedikit hening. Setra membuka ponselnya, niatnya cuma iseng, tapi satu pesan masuk dari Lio.

Dan kilatan matanya langsung berubah.

Tangan Setra menegang. Matanya membelalak, dan wajahnya yang biasanya tak pernah menunjukkan ekspresi merah padam.

"Sialan... barang-barang gue diapain...?" desisnya.

"Ada apaan, Tra?" tanya Nick, menegakkan duduknya.

Setra tak menjawab. Ia hanya menunjukkan layarnya sekilas—pesan dari ayahnya.

Lio: Sapu tangan dan barang-barang usang kamu udah dibuang sama mama. Dia gak tahu apa-apa, jangan salahin dia.

Setra berdiri dengan cepat, melempar rokok ke lantai mewah yang sudah penuh bekas puntung lain.

"Dia buang sapu tangan dari Nenek gue... GOBLOK!" geramnya.

Nick berdiri, mencoba menahan. "Tra, santai dulu—"

Tapi Setra sudah melangkah cepat, mengambil jaket kulitnya yang digantung di pinggir lemari wine, dan melirik sekilas ke arah teman-temannya yang masih tenggelam dalam tawa dan permainan liar.

"Gue cabut duluan. Ntar gue balik kalau bokap gue belum gue bacok," katanya dingin.

Tawa kasar beberapa anak motor terdengar menyusul ucapannya, tapi Nick tahu... itu bukan lelucon.

Setra sedang di ambang ledakan.

***

BRAK!

Pintu depan rumah megah itu terayun kasar, menghantam dinding marmer hingga terdengar dentuman menggema di seluruh penjuru rumah. Setra melangkah masuk, seolah ingin menghancurkan ketenangan semu yang dibangun rumah itu.

Interiornya masih mewah seperti biasa langit-langit menjulang dengan ukiran elegan, chandelier kristal menggantung angkuh di atas ruang tamu yang terlalu rapi. Dinding putih bersih dihiasi lukisan-lukisan mahal, dan permukaan meja dihiasi pajangan kaca yang tak boleh disentuh. Tapi bagi Setra, semua itu tak lebih dari museum kemunafikan.

"PAH!" Teriaknya lantang, suaranya menggema memantul di tiap sudut marmer.

Dari koridor kamar, Lio muncul. Masih mengenakan kemeja satin dan celana panjang rapi, rautnya datar tapi matanya sudah menyimpan bara.

"Kenapa harus teriak, Setra? Kamu menakuti mama kamu," ucap Lio, suaranya pelan tapi tajam.

"Persetan! Dia bukan nyokap gue!" Setra membalas, rahangnya mengeras, nadanya meledak.

Lio maju selangkah. "Jaga bicaramu! Papah sudah bilang, jangan salahkan mama. Dia nggak tahu apa-apa soal barang rongsok kamu."

Setra mengerutkan kening. Bibirnya bergetar menahan amarah, dadanya naik-turun.

"Rongsok?" desisnya. "Papah bilang itu rongsok? Bahkan 'rongsok' itu... lebih berharga dari harga diri papah!" Bentakan itu menggema,

"Dasar anak nggak tahu diri! Cuma gara-gara barang sepele kamu marah segitunya?! Harusnya kamu bersyukur mama kamu mau bersihin kamar kamu yang kotor itu!"

"Gue gak minta! Gak pernah minta!" Suaranya nyaris pecah. Setra menatap lurus, matanya menyala.

"Barang gue dibuang ke mana?!"

Lio menahan napas. "Papah nggak tahu. Mungkin udah—"

"BARANG GUE DIBUANG KE MANA?!" Suara Setra mengguncang, nyaris memekakkan telinga.

"Papah bilang gak tahu!" Lio mulai kehilangan kendali juga.

Setra menatapnya penuh benci. Napasnya memburu. "Bajingan sialan..." desisnya.

Tanpa menunggu balasan, Setra membalikkan badan, langkahnya menghantam lantai marmer mahal itu. Setiap tapaknya meninggalkan jejak emosi—marah, kecewa, terluka, dan muak.

***

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Setra merasakan kehampaan yang menusuk. Tak ada lagi yang bisa ia genggam, tak ada yang bisa dipertahankan. Sapu tangan tua itu… satu-satunya peninggalan neneknya telah lenyap. Sekarang hanya tersisa ruang luas dengan dinding putih dingin dan lantai marmer mengilap, seolah seluruh kemewahan rumah itu justru menelan sisa-sisa hatinya.

Sapu tangan itu bukan sekadar kain. Itu dibuat tangan neneknya sendiri saat Setra kecil dijahit perlahan sambil mengelus rambutnya. Itu juga yang digunakan neneknya untuk mengusap luka di lutut Setra saat ia jatuh bermain sepeda. Kini, semua kenangan itu menguap, menghilang dibuang entah ke mana oleh tangan asing yang tak punya nilai terhadap kenangan.

Setra mendongak, menatap langit mendung yang bergelayut di balik jendela tinggi rumah. Matanya tajam, penuh bara. Nafasnya berat. Kepalanya sedikit pening, alkohol yang ia teguk sebelumnya mulai mengaburkan pikirannya.

"Tunggu aja... gue bakal bales semuanya." gumamnya pelan, serak, menyeringai tipis dengan dendam yang matang.

Ia menutup mata, dan membiarkan tubuhnya tenggelam di atas sofa panjang di ruang tamu yang terlalu mewah untuk disebut tempat beristirahat. Nafasnya mulai tidak beraturan, tubuhnya melemas. Kesadaran perlahan menguap.

"Gue bersumpah… siapa pun lo yang ambil sapu tangan itu… lo gak akan gue lepasin." bisiknya lirih, sebelum akhirnya semuanya gelap. Ia tertidur dalam amarah dan luka.

DUAR!

Petir membelah langit malam, menggelegar di antara hujan deras yang mengguyur kota.

Di tempat lain, Liane berdiri di balik tirai tipis kamarnya. Matanya menatap tetes hujan yang membasahi kaca jendela. Ada sesuatu di dadanya yang sesak. Entah kenapa, malam ini terasa berbeda. Seperti ada yang hilang, seperti ada yang ia rindukan… tapi ia bahkan tak tahu siapa.

Seseorang yang belum pernah ia miliki? Atau seseorang yang pernah tinggal di hatinya, namun tak pernah benar-benar menjadi miliknya?

Ia menarik napas dalam dan mengusap matanya yang mulai berat. "Cukup. Jangan aneh-aneh." gumamnya.

Ia pun memutuskan untuk tidur. Besok masih harus sekolah, dan tidak ada ruang untuk galau yang tak bernama.

"Selamat malam, diriku… semoga hal-hal baik dan kebahagiaan selalu menyertaiku." ucapnya lirih sebelum menarik selimut dan membiarkan hujan mengiringinya ke alam mimpi.

Bersambung...

More Chapters