Pagi itu, suasana Sekolah Rengganis mendadak sunyi. Bukan karena hujan atau libur, tapi karena kabar yang menyebar seperti racun: "Rina Lestari menyelewengkan dana donasi!"
Tiara Maheswari bergerak cepat. Media-media lokal dan nasional, yang sebelumnya memuja perjuangan Rina, kini menggiring opini dengan tajuk kejam: "Srikandi Desa Palsu?"
Sebuah video diedarkan. Rekaman CCTV yang menunjukkan seseorang mirip Rina menerima uang dari seorang lelaki bersetelan formal, disertai dokumen rekening atas nama "R.L." dengan nominal ratusan juta rupiah. Semua tampak meyakinkan.
Rina terpukul. Guru-guru mulai ragu. Orang tua murid kebingungan. Para donatur pun menghentikan bantuannya.
"Ini semua palsu." Ucap Rina lirih, tapi suara kecilnya tenggelam oleh teriakan publik yang sudah mulai menghakimi.
Di sebuah rapat darurat, beberapa guru memojokkan Rina.
"Kami menghormati perjuangan Bu Rina, tapi kami juga tidak mau sekolah ini runtuh karena satu nama!"
Air mata Rina mengalir, namun ia tetap tegak. "Jika aku harus mundur demi menyelamatkan sekolah ini, aku akan pergi. Tapi bukan karena aku bersalah."
Namun justru saat ia bersiap meninggalkan sekolah... Dinda berlari masuk sambil membawa flashdisk.
Petunjuk dari Anak Kecil
"Mama, aku nemu ini waktu bantu Kak Iqbal bersihin gudang komputer!" serunya.
Flashdisk itu berisi rekaman asli dari CCTV sekolah versi yang belum diedit. Dalam rekaman itu terlihat jelas: orang yang menerima uang bukan Rina, tapi wanita lain dengan wajah dimiripkan secara digital.
Tidak hanya itu. Di folder lain, ada file rahasia bertajuk: "Operasi Rengganis - Kontrak Penggusuran & Dana Manipulasi.pdf" dokumen yang membuktikan bahwa Tiara dan tim hukumnya membuat skenario untuk menjatuhkan Rina, lengkap dengan daftar pembayaran dan nama-nama penerima suap.
Rangga segera menghubungi jurnalis Raya Astari. Dalam waktu 6 jam, kebenaran kembali ditayangkan ke publik.
Hashtag #KamiBersamaRina meledak.
Kementerian Pendidikan dan LSM anti-korupsi turun tangan. Tiara kini jadi target penyelidikan.
Namun belum selesai.
Di sebuah gedung gelap, Tiara menatap layar TV dengan amarah membara. "Kalau Rina ingin bermain di ranah publik, baik. aku akan mainkan satu kartu terakhir: menghancurkan masa lalunya."
Langit mendung menggantung di atas Desa Karangjati, seolah menjadi pertanda badai yang belum usai. Di balik semua kemenangan kecil yang baru saja diraih, bahaya baru tengah mengintai.
Tiara Maheswari tidak pernah menyerah. Kali ini, ia menyewa detektif pribadi dan tim digital forensik untuk menggali apa pun tentang masa lalu Rina.
Dan mereka menemukannya sebuah catatan laporan kepolisian dari 14 tahun silam, yang sudah diarsipkan dan nyaris terlupakan.
"Rina Lestari, 17 tahun. Tersangka kasus pencurian uang koperasi sekolah. Bukti tidak cukup, kasus ditutup karena intervensi wali murid dan kepala sekolah."
Rekaman CCTV kabur. Tapi nama Rina tercantum jelas. Media tak butuh waktu lama untuk membuat berita besar:
"Pahlawan Pendidikan Pernah Jadi Tersangka Pencuri?"
"Benarkah Rina Lestari Hanya Malaikat Bermuka Dua?"
Para orang tua mulai resah lagi. Sekolah kembali sepi. Sponsor internasional yang baru akan masuk dan batal.
Rina terpukul. Ia tak menyangkal bahwa itu memang dirinya. Tapi, tidak seperti yang dituduhkan.
Malam itu, ia duduk di tepi ranjang sambil menatap Dinda yang tertidur.
"Aku tidak mencuri. Aku hanya disalahkan untuk uang yang hilang demi menutupi kesalahan kepala sekolah waktu itu. Tapi aku takut. Aku masih anak-anak dan diam."
Air matanya jatuh.
Kebenaran dari Orang yang Tak Terduga
Keesokan harinya, saat Rina hendak menggelar konferensi pers untuk meminta maaf dan mundur, seorang wanita tua datang.
"Namaku Bu Yuliana. Aku guru senior dari sekolah Rina dulu. dan aku tahu kebenarannya."
Dengan suara bergetar, Bu Yuliana menyatakan di hadapan media bahwa Rina dijadikan kambing hitam, dan semua guru saat itu tahu—tapi dibungkam oleh kepala sekolah dan ancaman pemecatan.
Sebagian netizen bersimpati. Sebagian lainnya tetap menghakimi. Tapi yang paling mengejutkan adalah respon dari Rangga.
Di depan wartawan dan kamera, Rangga berdiri di samping Rina, menggenggam tangannya erat.
"Masa lalu bukan untuk dilupakan. Tapi untuk diluruskan. Dan saya, Rangga Mahendra, tetap mendukung Rina—bukan karena dia sempurna, tapi karena dia berani."
Di markas besarnya, Tiara membanting dokumen. Anak buahnya berkata dengan suara ketakutan:
"Bu... kita salah langkah. Publik justru semakin mencintainya."
Matanya menyala penuh dendam. "Kalau sejarah tidak cukup untuk menghancurkannya maka kita ciptakan sejarah baru."
Dan dari brankas pribadinya, Tiara mengeluarkan dokumen rahasia: akta tanah asli milik keluarga Rina, yang
dulu pernah dijual paksa secara ilegal oleh seseorang dari keluarganya sendiri.
Rina duduk di depan beranda sekolahnya yang mulai sepi. Daun-daun kering beterbangan, seperti hatinya yang sedang goyah. Isu masa lalu belum mereda, dan kini bisikan tentang 'tanah warisan' mulai menyeruak di telinganya.
Tidak lama, Rangga datang dengan raut serius.
"Rina kamu harus lihat ini."
Ia menyerahkan dokumen yang baru saja ia dapatkan dari salah satu staf legal-nya. Mata Rina membelalak saat membaca:
Akta Jual Beli Tanah Atas Nama: Sarman Lestari Dibeli oleh: Maheswari Group.
Tangan Rina gemetar. "Ini nama Ayahku."
Rina terdiam lama. Ingatannya melayang ke masa kecil saat tanah keluarganya tiba-tiba diambil, rumah mereka dirobohkan, dan ayahnya menghilang entah ke mana. Ia tumbuh dalam kemiskinan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kini semuanya jelas: tanah itu dijual diam-diam oleh darah dagingnya sendiri.
"Ayahku menjual tanah itu ke keluarga Tiara?" Ucap Rina.
Rangga menatap Rina dengan iba. "Tidak hanya itu. Penelusuran kami menemukan tanda tangan dan bukti transfer. Penjualan itu ilegal. Tapi karena disahkan oleh notaris bayaran, semuanya disembunyikan."
Saat sore menjelang, seorang pria tua berdiri di pagar sekolah, diam memandang ke dalam.
Rina menoleh. Napasnya tercekat. "Ayah?"
Pria itu tertunduk. "Rina... Ayah tahu kamu membenciku. Tapi biarkan aku jelaskan."
Rina berdiri. Air matanya jatuh deras, tapi nadanya dingin. "Selama belasan tahun aku tidur di tanah basah, makan dari sisa pasar dan kau menjual satu-satunya warisan Ibu untuk apa? Uang?"
Sarman mengangguk pelan, menahan air mata. "Ayah terdesak. Mereka mengancam. Kalau aku tak jual tanah itu, mereka akan memenjarakanmu waktu itu kamu difitnah mencuri koperasi."
Rina membeku. Semua kepingan cerita masa lalu mulai menyatu.
"Kamu mengorbankan Ibu, rumah kita untuk menyelamatkanku?"
"Ya," kata Sarman lirih. "Tapi aku pengecut. Aku tak punya keberanian untuk mengakuinya. Aku kabur. Aku biarkan kamu dan Ibumu menanggung semuanya."
Malam itu, Rina termenung sendiri di halaman sekolah. Rangga duduk di sampingnya.
"Apa kamu marah?" tanya Rangga pelan.
"Aku lebih dari marah," jawab Rina. "Tapi aku juga lelah membenci. Aku tak bisa mengubah masa lalu tapi aku bisa memilih bagaimana aku berdiri hari ini."
Dia menatap bintang. "Dan aku memilih untuk berdiri."
Sementara itu, Tiara mendapat kabar bahwa Sarman masih hidup dan telah bertemu Rina.
"Dia terlalu berbahaya," ucapnya ke asistennya. "Jika dia bersaksi semua tanah yang kupijak bisa direbut balik oleh Rina."
Tiara mengambil ponselnya. "Buat dia menghilang. Permanen."
Langit sore itu berubah kelabu, angin membawa firasat buruk yang menusuk tulang. Rina sedang membersihkan kelas saat Dinda berlari masuk tergopoh-gopoh.
"Mama! Kakek Sarman dia kecelakaan!" teriaknya, napas tersengal.
Hati Rina seketika runtuh. Ia berlari keluar, Rangga mengikuti di belakang. Seorang warga yang melihat kejadian membawa mereka ke tempat kejadian.
Sarman ditemukan terkapar di pinggir jalan sepi, penuh luka di kepala dan dada. Motor tuanya hancur, tapi anehnya tidak ada bekas tabrakan. Hanya bekas goresan seperti sengaja ditabrakkan.
"Ini bukan kecelakaan," gumam Rangga, memeriksa tempat kejadian. "Ini percobaan pembunuhan."
Polisi dipanggil, tapi beberapa dari mereka terlihat enggan menyelidiki. Rina mulai curiga. "Apakah polisi juga sudah dibeli Tiara?"
Di rumah sakit, Sarman dirawat dalam kondisi kritis. Saat sadar sebentar, ia menggenggam tangan Rina.
"Maafkan aku, Nak kalau aku mati, semua dokumen tanah... ada di kotak besi bawah sumu rumah tua kita."
Air mata Rina jatuh. "Jangan bicara begitu! Kau akan sembuh! Kita akan lawan mereka bersama."
Sarman tersenyum lemah. "Akhirnya aku bisa melihatmu jadi wanita yang begitu kuat."
Lalu kesadarannya menghilang lagi.
Malam itu juga, Rina dan Rangga pergi ke rumah tua yang sudah hampir roboh di pinggir desa. Dengan senter, mereka menggali di bawah sumur kering seperti yang dikatakan Sarman.
Setelah hampir dua jam, mereka menemukan sebuah kotak besi berkarat. Isinya:
Akta tanah asli
Surat ancaman dari Maheswari Group
Foto-foto pertemuan rahasia antara Tiara dan notaris bayaran
Bukti pengalihan hak milik ilegal
Rina menggenggam dokumen itu erat. "Ini kunci segalanya."
Namun tanpa mereka sadari, dari kejauhan... seseorang sedang memotret mereka. Dan esok paginya, foto mereka berada di koran lokal dengan judul provokatif:
"Rina & Rangga Tertangkap di Rumah Tua Bukti Baru Konspirasi?"
Tiara tersenyum puas saat membaca berita itu.
"Mereka berpikir sudah memenangkan segalanya. Ta
pi aku akan buat mereka hancur di pengadilan dan di mata publik."
Pagi yang seharusnya menjadi harapan baru berubah menjadi mimpi buruk. Rina baru saja hendak menyerahkan bukti asli penggelapan dan akta tanah ke pengacara ketika suara ponselnya berdering bertubi-tubi. Ia membuka salah satu pesan dari guru di sekolah:
"Rina, lihat berita! Rangga dituduh korupsi!"
Rina dan Rangga menatap layar televisi di ruang tamu dengan napas tertahan. Wartawan membacakan tajuk berita:
"CEO Muda Rangga Mahendra Diduga Salahgunakan Dana Yayasan untuk Kekasih Gelapnya: Guru Desa Rina Lestari!"
Disertai rekaman video saat Rangga mengantar Rina dengan mobil mewah, membayar biaya renovasi sekolah, dan menyewa konsultan pendidikan. Semua digiring seolah dana itu adalah bentuk "suap asmara".
Rangga menggeleng keras. "Semua bantuan yang kuberikan tercatat dan legal. Aku tak pernah ambil dana yayasan tanpa prosedur."
Rina gemetar. "Tapi publik hanya lihat apa yang disuguhkan media."
Sekolah Rengganis langsung disegel sementara oleh Dinas Pendidikan atas "dugaan dana tak transparan".
Orang tua murid mulai protes. Sebagian guru mulai mundur, takut dikaitkan. Dinda menangis saat melihat ibunya dikerumuni wartawan saat pulang.
Rina berdiri di tengah kekacauan, tapi matanya tak lagi gentar. "Jika mereka ingin menghancurkan aku biarlah. Tapi jangan sekolah ini."
Saat harapan hampir pupus, muncul dukungan mengejutkan. Seorang pengacara wanita muda, Alya Permadi, berdiri di depan pintu rumah Rina.
"Aku dulu murid beasiswa Maheswari Foundation. Aku tahu bagaimana mereka bermain. Aku bersedia jadi pengacara kalian tanpa bayaran."
Rangga menatap Alya tajam. "Kau yakin? Lawan kita bukan sembarangan."
Alya tersenyum. "Aku sudah belajar langsung dari mereka. Kini waktunya aku balas."
Dalam tempo cepat, kasus dinaikkan ke sidang terbuka. Rina dan Rangga berdiri di meja pengadilan, berhadapan langsung dengan Tiara Maheswari dan tim hukum elitnya.
Hakim membuka sidang.
"Kami akan mulai dengan tuduhan penyalahgunaan dana yayasan dan hubungan tidak profesional antara terdakwa."
Namun saat giliran Alya bicara, ia mengangkat map tebal.
"Yang Mulia, kami tidak hanya akan membantah tuduhan itu. Kami akan membuktikan bahwa semua tuduhan ini adalah skenario jahat dari satu korporasi besar yang telah lama melanggar hukum tanpa tersentuh."
Dan satu per satu bukti asli, rekaman, dokumen transaksi palsu, dan bahkan pengakuan dari notaris bayaran mulai dipaparkan di depan publik.
Dalam hitungan jam, sidang itu menjadi viral. Media berbalik. Hashtag #BersamaRinaRangga menduduki puncak tren.
Tiara masih berusaha tenang. Tapi di ruang istirahat pengadilan, asistennya berkata panik.
"Bu... dua komisaris Maheswari Group sudah mundur. Sponsor internasional mencabut kerjasama. Saham jatuh 12 persen."
Tiara menggertakkan gigi. "Rina belum menang. Aku belum selesai."
