WebNovels

Chapter 10 - Bab 10: Ketika Cinta Diuji Bukan Oleh Musuh, Tapi Oleh Pilihan

Sudah dua bulan sejak Rina dan desa Rengganis memenangkan pertarungan besar melawan Reynard Kusuma. Sekolah kini tumbuh pesat. Ruang kelas baru dibangun. Buku, komputer, alat bantu belajar datangan dari berbagai donatur. Desa kecil itu menjadi sorotan nasional.

Tapi justru di puncak kemenangan itulah, badai baru datangdari dalam.

Surat dari London

Suatu sore, di ruang kepala sekolah yang kini menjadi lebih rapi, Arsya menyerahkan sebuah amplop ke Rina. Tangannya sedikit gemetar.

"Aku ingin kau membaca ini sendiri."

Rina membuka amplop itu. Sebuah surat dalam bahasa Inggris. Ia membaca perlahan.

Bapak Arsya Pranata yang terhormat,

Dengan senang hati kami informasikan bahwa Anda telah terpilih sebagai salah satu dari lima penerima Beasiswa Global dalam Inovasi Pendidikan. Beasiswa ini mengharuskan Anda tinggal di London selama satu tahun.

Tangannya menurun. Matanya mencari Arsya.

"Ini beasiswa impianmu, kan?"

Arsya mengangguk pelan. "Saya tak pernah mendaftar. Tapi salah satu dosen lamaku mencalonkan diam-diam karena dia tahu program kita di sini."

Rina tersenyum getir. "Luar biasa dan sangat menyakitkan pada saat yang bersamaan."

Persimpangan

Malam itu, mereka duduk di bangku kayu halaman belakang sekolah. Anak-anak tertidur di asrama. Angin lembut membawa bau rumputan.

"Kalau kau pergi, aku bisa mengerti," kata Rina pelan.

"Tapi kalau aku tinggal aku takut akan menyesal," jawab Arsya.

Hening. Mereka tahu: ini bukan tentang siapa yang lebih mencintai. Ini mimpi tentang yang terkadang membawa kita menjauh dari yang kita cintai.

"Tapi kita baru mulai membangun semua ini bersama, Syah."

"Rin, justru karena aku mencintaimu, aku ingin jadi versi terbaik dari diriku sendiri. Dan beasiswa ini mungkin caraku belajar agar bisa kembali membangun lebih banyak sekolah, bukan hanya di sini. Tapi aku tak mau pergi kalau itu berarti meninggalkanmu."

Air mata menetes. Bukan karena marah. Tapi karena hidup kadang memaksa dua hal baik saling menjauh.

Rina akhirnya memeluk Arsya. Erat. Lama.

"Kalau kamu harus pergi, pergilah dengan satu janji: jangan kembali hanya karena aku. Kembalilah karena kamu tahu aku menunggumu bukan sebagai kekasih, tapi sebagai rekan juang."

Arsya mengecup keningnya.

"Aku berjanji."

Dan malam itu, tanpa kata perpisahan yang dramatis, tanpa musik sendu hanya ada dua hati yang saling percaya meski dunia menarik mereka ke arah yang berbeda.

Sementara itu, di sudut lain desa, Rangga tampak berbicara dengan seorang pria berkacamata mantan wartawan yang kini menjadi konsultan media.

"Sekolah ini jadi besar tapi apakah kamu yakin pondasinya cukup kuat?" tanya pria itu.

Rangga menatap gedung sekolah yang bersinar dari jendela-jendela.

Aku tidak tahu tapi aku tahu satu hal: di balik setiap cahaya, pasti tumbuh bayangan. Dan jika kita tidak hati-hati, bayangan itu bisa menelan semuanya.

Setelah kepergian Arsya ke London, suasana di sekolah mulai berubah. Bukan karena kehilangan cinta tapi karena keseimbangan mulai goyah. Arsya selama ini bukan hanya kekasih Rina, tapi juga penyeimbang dalam tim. Kini, Rina harus memikul semuanya sendiri.

Suatu pagi, saat Rina sedang membagikan buku ke kelas baru, sebuah mobil mewah berhenti di halaman sekolah. Dari dalam keluar wanita tinggi berambut panjang, mengenakan setelan putih elegan dan kacamata hitam. Senyumnya menawan, geraknya anggun.

"Maaf, ini benar sekolah yang dipimpin oleh Rina Lestari?" tanyanya.

Rina menghampiri, sedikit bingung. "Iya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"

Wanita itu tersenyum sambil melepas kacamata.

"Nama saya Tiara Maheswari. Investor pendidikan dari Yayasan Masa Depan Cerah."

Di ruang rapat kecil, Tiara membuka presentasi. Gaya bicaranya tenang, penuh percaya diri. Ia menawarkan program kerja sama: modernisasi kurikulum, beasiswa, pelatihan guru ke luar negeri.

Tapi di balik semua itu terselip kendali.

"Kami akan bantu membiayai penuh tentu dengan hak supervisi atas metode dan keputusan strategis sekolah ini," ucap Tiara sambil tersenyum.

Rina diam. Ia paham tawaran ini ibarat madu beracun. Banyak manfaat, tapi bisa merampas ruh asli dari perjuangan sekolah ini: kemandirian rakyat kecil.

Dalam rapat internal malam harinya, sebagian tim setuju menerima bantuan Tiara. Lina, sahabat Rina, juga mulai ragu.

"Rin, kita lelah terus dikejar anggaran. Tawaran Tiara bisa meringankan kita."

"Tapi dengan harga kebebasan kita, Lin," jawab Rina tegas.

Ketegangan mulai terasa. Bahkan beberapa guru muda mulai bisik-bisik tentang "kepemimpinan yang terlalu idealis".

Pesan dari Jauh

Di tengah keraguan, sebuah email masuk ke laptop Rina. Dari Arsya.

 Rina, aku dengar tentang Tiara Maheswari. Di sini aku tahu cukup banyak tentang yayasan itu. Hati-hati. Mereka sering ambil alih lembaga, lalu mengubah segalanya jadi alat promosi korporat.

Ingat, cinta kita lahir dari keyakinan bahwa pendidikan bukan jual beli mimpi. Tapi membangunnya dari luka, air mata, dan keberanian untuk berdiri sendiri.

Keteguhan yang Diuji

Keesokan harinya, Rina berdiri di hadapan tim.

"Aku tahu kita butuh dana. Tapi lebih dari itu, kita butuh martabat. Sekolah ini bukan milik investor. Bukan milik donatur. Tapi milik anak-anak yang pernah dipaksa percaya bahwa mereka tidak pantas bermimpi."

Beberapa guru menunduk. Beberapa tetap ragu. Tapi sorot mata Rina tidak gemetar.

Dan ketika Tiara kembali datang untuk mendesak keputusan, Rina menatapnya langsung.

"Maaf, kami menolak. Sekolah ini tumbuh karena harapan, bukan saham."

Senyum yang Menyimpan Ancaman

Tiara tersenyum. Tapi senyumnya dingin.

"Baik. Kalau begitu semoga keberuntungan selalu bersama Anda. Tapi hati-hati, Ibu Rina. Semakin tinggi sebuah pohon tumbuh, semakin besar angin yang ingin merobohkannya."

Ia lalu pergi. Meninggalkan ketegangan. Tapi juga firasat bahwa badai belum selesai.

Dua minggu setelah penolakan terhadap Tiara Maheswari, segalanya berubah.

Media lokal mulai menurunkan artikel dengan judul-judul tajam:

"Kepemimpinan Otoriter di Sekolah Rengganis?"

"Donatur Nasional Ditolak: Ada Apa dengan Rina Lestari?"

"Anak-anak Dijadikan Alat Romantisme Kemiskinan?"

Rina membaca satu per satu dengan dada sesak. Kata-kata dalam artikel seperti belati yang menusuk pelan.

Di ruang guru, suasana jadi tegang. Beberapa guru mulai absen rapat. Beberapa orang tua murid mempertanyakan arah sekolah. Bahkan Lina yang dulu berdiri bersama Rina di saat tergelap mulai dingin.

"Kau tidak bisa terus melawan semua orang, Rin… kita bukan dewi," ucapr Lina suatu malam.

Rina menatap sahabatnya. "Tapi kita bisa jadi perisai untuk mereka yang belum bisa melindungi diri sendiri."

Lina diam, lalu pergi tanpa sepatah kata.

Di sebuah kafe mewah Jakarta, Tiara Maheswari duduk bersama seorang lelaki yang tampak tenang dan dingin: Rangga.

"Dia menolak dukungan yang bisa menyelamatkan banyak nyawa. Konyol sekali," ucap Tiara sambil menyeruput kopinya.

Rangga menatapnya datar. "Kamu ingin aku bantu menjatuhkannya?"

Tiara tersenyum licik. "Bukan menjatuhkan. Aku hanya ingin dunia melihat wajah asli dari 'pahlawan kampung' itu. Aku yakin kamu tahu di mana celahnya."

Rangga menatap ke jendela. Dalam hatinya terjadi konflik. Ia mengagumi Rina tapi ia juga haus pengakuan dan dendam lama belum sepenuhnya padam.

Dukungan mengikis perlahan. Beberapa guru mengundurkan diri. Sponsor kecil mulai menarik dana. Telepon Rina sepi. Bahkan surat dari Arsya belum datang minggu ini.

Suatu malam, Rina duduk sendiri di kelas. Tangannya menggenggam kapur. Ia menulis di papan:

"Jika dunia mulai membisukanmu, bisikkan semangatmu ke dalam hati anak-anak. Karena mereka akan meneriakkannya kembali kelak."

Air matanya jatuh. Tapi ia tak menghapus kata-kata itu.

Pagi berikutnya, saat Rina hampir menyerah, terdengar suara ramai dari lapangan. Ia bergegas keluar.

Puluhan murid berdiri berbaris, masing-masing membawa papan karton bertuliskan:

"Kami Ada Karena Bu Rina."

"Sekolah Ini Bukan Angka, Tapi Rumah."

"Kami Tidak Butuh Investor. Kami Butuh Ibu Kami."

Di tengah kerumunan, Rangga berdiri. Diam. Tak membawa papan. Tapi ia menatap Rina dan perlahan mengangguk. Sebuah kode bahwa ia belum pergi sepenuhnya.

Pagi itu, langit desa Rengganis kelabu. Tapi badai sesungguhnya bukan di langit melainkan di dalam aula sekolah, tempat rapat darurat digelar.

Rina berdiri di depan, berusaha menjelaskan ancaman yang datang: surat dari Departemen Pendidikan, menyatakan bahwa izin operasional sekolah akan dicabut karena "tidak memenuhi standar kerja sama nasional".

"Ini ulah Tiara," tegas Rina. "Mereka ingin mengambil alih sekolah kita lewat jalur hukum."

Namun yang membuatnya nyaris roboh bukan ancaman itu tapi ketika Lina berdiri dan berkata lantang:

"Mungkin ini saatnya kita mencari kepemimpinan yang lebih realistis."

Ruangan sunyi. Semua mata berpaling pada Lina.

"Apa maksudmu?" tanya Rina, suaranya bergetar.

Lina menghela napas. "Rin, aku sudah lama bersamamu. Tapi kita lelah. Kita tak bisa terus jadi simbol perjuangan sementara anak-anak kita hidup di bawah bayang ketidakpastian. Tiara mungkin punya caranya sendiri, tapi setidaknya mereka punya jaminan."

Seorang guru muda mengangguk. "Kami ingin rapat pemilihan ulang kepala yayasan."

Dunia Rina runtuh. Orang-orang yang dulu memanggilnya "Ibu", kini memilih jalan lain.

Di Jakarta, Tiara mempersiapkan langkah akhir. Ia telah menyusupkan orang ke dalam tim sekolah. Ia bahkan menjadwalkan kunjungan Menteri Pendidikan secara diam-diam ke lokasi.

"Sekali sekolah ini dicabut izinnya, aku akan tawarkan versi barunya modern, sesuai standar katanya sambil tersenyum dingin.

Sementara itu, Rangga yang diam-diam mengikuti pergerakan Tiara mulai menyadari betapa besar permainan ini. Ia mengakses jaringan lama di media dan menemukan bukti manipulasi data serta dana yang pernah dilakukan oleh yayasan Tiara di sekolah lain.

Rangga tahu: saatnya memilih pihak. Dan ia tak mau menjadi penonton lagi.

Tiga hari sebelum rapat kudeta kepemimpinan, sebuah mobil berhenti di depan sekolah. Dari dalam, Arsya turun dengan wajah penuh tekad.

Di belakangnya, dua orang bule dengan lencana "UNESCO Education Fellowship" ikut turun sambil membawa dokumen.

"Aku pulang karena aku tahu kalian butuh lebih dari sekadar motivasi. Kalian butuh bukti."

Ia melangkah masuk ke ruang rapat yang penuh ketegangan. Ia meletakkan setumpuk berkas.

"Ini data manipulasi Tiara Maheswari, proyek palsu di Papua dan Sumatera, dana fiktif, bahkan intervensi politik. Dan ini laporan pengawasan independen yang kami bawa dari London. Sekolah ini layak. Bukan hanya layak tapi pantas menjadi model nasional."

Lina menangis. "Kenapa kau tidak bilang dari awal, Rin?"

Rina menjawab lirih, "Karena aku tidak punya bukti hanya keyakinan. Tapi keyakinan yang tidak bisa dibuktikan, kadang dianggap delusi."

Semua mata menunduk. Suasana berubah. Tiara yang tadinya hampir menang, kini harus berhadapan dengan tim internasional dan publikasi skandal yang siap dirilis oleh Rangga yang akhirnya berdiri di samping Rina.

More Chapters