WebNovels

Chapter 1 - Di Bawah Laut yang Bernyanyi

Laut bernyanyi malam ini. Suaranya rendah, seperti dengung harpa raksasa yang dawainya dipetik oleh arus. Aruna mengambang di kedalaman tiga puluh meter, tubuhnya terbungkus pakaian selam usang yang bau karet dan garam. Cahaya lentera di helmnya hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, menyisakan kegelapan yang seolah hidup, berdenyut, menunggu. Di telinganya, desis oksigen dari tabung tua mengiringi detak jantungnya yang stabil, terlalu stabil untuk seseorang yang sedang menyelam di reruntuhan kota mati.

Dia bukan penyelam biasa. Aruna adalah penyelam relik, pemburu harta dari dunia lama yang tenggelam ratusan tahun lalu. Di pulau-pulau terapung, relik seperti chip komputer, pecahan mesin, atau bahkan buku yang masih utuh lebih berharga daripada emas. Tapi malam ini, dia tidak mencari chip atau buku. Dia mencari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang dibisikkan oleh pedagang di dermaga dengan nada setengah takut: sebuah peti besi dari Era Mesin, terkubur di dasar Teluk Karang.

Aruna menggerakkan kakinya perlahan, sirip selamnya memotong air seperti pisau. Di depannya, bayang-bayang menara tua muncul dari kabut bawah laut, reruntuhan gedung pencakar langit yang puncaknya patah, ditumbuhi karang bercahaya. Dia pernah mendengar cerita tentang kota-kota seperti ini, tempat manusia dulu hidup tanpa takut pada laut. Kini, hanya ikan dan hantu yang tinggal di sini.

"Aruna, kau masih hidup di sana?" Suara Kasim mengalir melalui komunikator di helmnya, serak tapi penuh canda. Kasim adalah mekanik di Ksatria Ombak, kapal layar yang kini berlabuh di permukaan, menunggunya kembali.

"Jangan biarkan hiu karang menggigit bokongmu."

"Kalau hiu datang, aku suruh mereka kejar kau dulu," balas Aruna, bibirnya melengkung meski tak ada yang bisa melihat.

Dia menyesuaikan aliran oksigen, lalu meluncur lebih dalam, mengikuti peta kasar yang digambar pedagang itu di atas kulit ikan pari.

Peta itu tidak jelas, tapi titik merah di pusatnya menunjukkan lokasi peti besi, terkubur di bawah lapisan karang dan lumpur.

Dasar laut semakin dekat. Aruna mendarat lembut di hamparan pasir yang dipenuhi pecahan logam berkarat. Dia menancapkan tombak kecil ke tanah untuk menjaga posisi, lalu mulai menggali dengan sekop lipat. Setiap gerakan harus hati-hati; satu kesalahan bisa mengaduk lumpur, membuatnya buta di kegelapan. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena firasat. Sesuatu di tempat ini terasa... salah.Setelah beberapa menit, sekopnya membentur sesuatu yang keras. Bukan karang, bukan batu. Logam. Aruna membersihkan lumpur dengan tangan, jari-jarinya yang terlindung sarung tangan meraba permukaan dingin. Peti besi itu besar, hampir seukuran tubuhnya, dengan ukiran aneh di permukaannya, simbol yang tidak dia kenal, seperti lingkaran yang dipotong garis miring. Dia menarik alat pemotong plasma dari sabuknya, nyala biru menyala terang di kegelapan.

"Kasim, aku menemukannya," katanya, suaranya penuh kemenangan kecil.

"Peti besi, tepat seperti yang dikatakan pedagang."

"Bagus, Nak. Tapi cepat. Badai mulai mengintip di cakrawala." Nada Kasim berubah, candaannya hilang.

"Dan... ada sesuatu di sonar. Bergerak cepat, menuju ke arahmu."Aruna mengerutkan kening.

"Hiu?"

"Bukan. Terlalu besar untuk hiu." Dia tidak punya waktu untuk bertanya lebih lanjut.

Alat pemotong plasma mulai mengiris engsel peti besi, percikan api kecil menyembur ke air. Di telinganya, laut masih bernyanyi, tapi sekarang ada nada lain, getaran rendah yang membuat tulang-tulangnya bergetar. Dia mengabaikannya, fokus pada pekerjaan. Engsel pertama putus. Lalu yang kedua. Tinggal satu lagi.

Tiba-tiba, air di sekitarnya bergerak. Bukan arus biasa, tapi gelombang kuat yang hampir menjungkirkan tubuhnya. Lentera di helmnya berkedip, lalu mati. Kegelapan menelannya utuh. Aruna meraih tombak untuk menahan diri, napasnya tersengal di tabung oksigen. Komunikatornya berderit, suara Kasim pecah-pecah.

"Aruna! Naik sekarang! Itu...."Sambungan putus.

Hening. Hanya suara napasnya sendiri dan dengung laut yang kini lebih keras, lebih mendesak. Aruna menyalakan lentera cadangan di pergelangan tangannya, cahaya lemah menyapu dasar laut. Dan di sana, di ujung jangkauan cahaya, dia melihatnya.

Sesuatu bergerak. Besar. Tubuhnya meliuk seperti ular, tapi panjangnya tak terukur, menghilang ke kegelapan. Sisiknya memantulkan cahaya lentera, berkilau seperti cermin. Mata Aruna melebar. Dia pernah mendengar cerita tentang Naga Laut, makhluk mitos yang menjaga relik dunia lama. Tapi itu hanya cerita, bukan? Cerita untuk menakut-nakuti anak-anak di pulau terapung.

Makhluk itu berbalik, kepalanya muncul dari kabut. Mata kuningnya sebesar roda kapal, menatap lurus ke arahnya. Mulutnya terbuka, memperlihatkan deretan gigi seperti pedang. Aruna tidak berpikir. Dia melepaskan tombak, menendang kuat ke atas, tubuhnya melesat menuju permukaan. Peti besi ditinggalkan, tapi dia tidak peduli. Hidup lebih penting.

Air bergolak di belakangnya. Dia bisa merasakan kejaran makhluk itu, getaran air seperti palu yang menghantam punggungnya. Jantungnya berdegup kencang, oksigen di tabungnya mulai menipis. Permukaan masih jauh, terlalu jauh. Dia tidak akan berhasil.Tapi kemudian, cahaya. Bukan lentera, bukan matahari. Cahaya hijau, menyala dari peti besi yang ditinggalkannya. Aruna melirik ke bawah, dan apa yang dia lihat membuatnya membeku. Peti besi terbuka sendiri, cahaya hijau membuncah keluar, membentuk pola lingkaran dan garis yang sama seperti ukiran di permukaannya. Makhluk itu berhenti mengejar, kepalanya terangkat, seolah tersihir oleh cahaya.

Aruna tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia menendang lebih keras, paru-parunya terbakar, hingga akhirnya kepalanya menembus permukaan. Hujan mulai turun, petir menyambar di kejauhan. Ksatria Ombak terlihat di dekatnya, lampu-lampunya berkedip seperti mercusuar. Tangan kasar menariknya ke dek, dan Aruna jatuh terengah-engah, air laut menetes dari pakaian selamnya.

"Apa yang kau lakukan di sana?!" teriak Kasim, wajah tuanya penuh kekhawatiran.

"Kau hampir mati!" Aruna tidak menjawab segera. Dia menatap laut yang kini tenang, hujan menghapus jejak gelombang.

Di kepalanya, gambar peti besi dan cahaya hijau itu masih terpahat jelas. Dia tahu dia harus kembali. Tidak peduli seberapa berbahaya, tidak peduli makhluk apa yang menunggu. Ada sesuatu di peti besi itu, sesuatu yang lebih besar dari relik biasa.

Malam itu, di kabin kapal yang bau minyak dan kayu basah, Aruna duduk bersama kru Ksatria Ombak. Ada Kasim, mekanik berusia lima puluh tahun dengan janggut abu-abu dan tangan penuh bekas luka. Lalu Mira, navigator muda yang selalu membaca bintang dengan mata penuh rahasia. Dan terakhir, Dren, mantan bajak laut yang bergabung dengan mereka setelah "pensium" dari kehidupan perampokan, meski Aruna tidak pernah benar-benar mempercayainya.

"Kau bilang peti besi itu terbuka sendiri?" tanya Mira, alisnya terangkat.

"Dan cahaya hijau? Kedengarannya seperti dongeng."

"Bukan dongeng," sahut Aruna, mengeluarkan sketsa kasar yang dia gambar di atas kain.

Pola lingkaran dan garis dari peti besi itu dia salin sebaik mungkin.

"Aku melihatnya. Dan makhluk itu... itu bukan hiu atau paus. Itu sesuatu yang lain." Dren, yang selama ini diam, akhirnya berbicara. Suaranya dalam, seperti batu yang bergesekan.

"Naga Laut. Aku pernah mendengar cerita tentang mereka. Mereka bukan penjaga sembarangan. Kalau mereka ada di Teluk Karang, berarti peti besi itu bukan relik biasa."

"Apa maksudmu?" tanya Kasim, menggosok janggutnya.

Dren menatap Aruna, matanya tajam.

"Maksudku, Nak, kau mungkin baru saja menemukan kunci ke Tanah Fajar." Kata-kata itu menggantung di udara, berat seperti badai yang mendekat.

Tanah Fajar. Legenda yang setiap penyelam relik impikan, daratan yang konon masih hijau, masih hidup, penuh teknologi yang bisa mengembalikan dunia ke kejayaannya. Aruna merasa jantungnya berdetak lebih kencang lagi, bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih berbahaya: harapan.

Dia menatap sketsa di tangannya, pola lingkaran dan garis yang seolah memanggilnya. Besok, dia akan kembali ke Teluk Karang. Besok, dia akan menghadapi laut yang bernyanyi dan makhluk yang menjaganya. Besok, petualangan sejati dimulai.

More Chapters