WebNovels

Chapter 19 - BAB 19: AWAL DARI KEHANCURAN

“Pertandingan pertama dimenangkan oleh Haruto dari Akademi Astrea!”

Sorak sorai dari tribun Astrea membahana, para murid bersorak gembira menyambut kemenangan pertama mereka.

Di ruang tunggu, Haruto disambut dengan tepukan tangan dari teman-temannya.

“Kau keren banget, Haruto!” seru Rin.

“Kau berhasil melawan pria itu... hebat,” ucap Yui dengan anggukan kagum.

Haruto tersenyum sambil duduk, menyeka keringat dari pelipisnya. “Hanya keberuntungan. Tapi... aku rasa dia sengaja menahan diri.”

Pernyataan itu membuat suasana seketika hening. Tapi sebelum mereka bisa bertanya lebih lanjut, nama Yui dipanggil untuk pertandingan kedua.

“Yui dari Akademi Astrea... melawan Lyssandra dari Akademi Malgrim.”

Yui berdiri, tatapannya tajam. “Aku tahu wanita ini. Dia juga ikut menyusup ke akademi kita.”

Teman-temannya mengangguk tegang. Rion hanya bersandar di dinding, tetap diam.

Arena kedua.

Yui berdiri dengan tenang, angin mulai berputar di sekelilingnya.

Di seberangnya, Lyssandra — wanita tinggi bersurai ungu, menatap dengan senyum sinis.

“Mulai!”

Pertarungan dimulai cepat. Yui langsung melepaskan sihir angin bertingkat, membuat arena bergetar. Namun, seperti Haruto sebelumnya, Lyssandra tampak menghindari dengan mudah. Beberapa kali serangannya mengenai, namun tidak melumpuhkan.

Akhirnya, setelah pertarungan cukup panjang, Yui mengerahkan jurus pamungkasnya, "Wind Dancer's Claw", dan berhasil menjatuhkan Lyssandra.

Namun, ekspresi Yui tidak bahagia. Ia menatap Lyssandra yang pingsan... dengan keraguan.

“Dia... bisa menghindar jauh lebih baik. Kenapa seperti sengaja tidak menangkis?”

 

Pertandingan demi pertandingan berlangsung. Rin melawan pengguna sihir ilusi, Daiki melawan pengguna tombak ganda, dan Aiko menghadapi petarung jarak dekat. Semuanya menang, namun masing-masing dari mereka memiliki ekspresi serupa:

Ragu.

Mereka berkumpul di ruang tunggu setelah pertandingan Aiko.

“Ini mulai tidak masuk akal...” gumam Rin. “Mereka semua terlalu kuat untuk kalah semudah itu.”

“Mungkin ini jebakan?” kata Daiki. “Atau pertunjukan untuk menjatuhkan kita nanti?”

Yui mengangguk. “Ada yang tidak beres.”

“Rion, bagaimana menurutmu?” tanya Haruto.

Rion masih duduk tenang, memandangi lantai.

“Kalau memang jebakan, maka cepat atau lambat akan menunjukkan dirinya. Tapi, aku tidak terlalu peduli... selama tujuanku tidak berubah.”

Seketika nama Rion disebut. “Pertandingan selanjutnya, Rion dari Akademi Astrea... melawan Zevran dari Akademi Malgrim.”

Semua mata langsung tertuju padanya. Rion berdiri perlahan dan berjalan keluar tanpa sepatah kata. Elysia dan Seraphina yang duduk bersama Elyndor di tribun memperhatikan gerak-geriknya dengan khawatir.

Arena utama.

Rion melangkah santai ke tengah, diikuti oleh Zevran — pria berambut merah darah dengan tatapan tajam dan aura seperti api menyala.

Sorakan terdengar, tapi di antara murid Astrea sendiri, banyak bisik-bisik ragu:

“Itu Rion? Dia nggak pernah ikut latihan.”

“Apa dia nggak akan mempermalukan kita?”

Zevran tersenyum lebar. “Kau... orang yang mereka bilang misterius itu, ya? Jangan bikin aku kecewa, Rion.”

Rion tak menjawab, hanya menarik napas. Aura assassin-nya mulai terasa. Tapi tidak ada aura sihir es yang muncul.

Elysia mengerutkan dahi. “Dia tak pakai sihir esnya?”

Seraphina menggenggam kerah jubahnya. “Apa dia menyembunyikan sesuatu... atau dia meremehkan lawannya?”

“Mulai!”

Zevran langsung menerjang dengan serangan cepat. Rion menghindar, nyaris seperti bayangan. Mereka bertarung cepat—tebasan, serangan tangan kosong, sihir. Tapi Rion tidak pernah menyerang balik dengan kekuatan penuh.

Zevran mulai frustrasi.

“Kenapa kau menahan diri?! Tunjukkan kekuatanmu!”

Rion hanya menjawab dingin, “Kau tidak cukup menarik untuk itu.”

Pertarungan terus berlangsung... sampai tiba-tiba langit menggelap. Angin menderu, dan gumpalan energi sihir menggelegak di langit.

“Apa itu?!” teriak salah satu guru Malgrim.

Dari kejauhan, kilatan cahaya sihir dan retakan ruang mulai tampak di langit. Suara gemuruh yang tidak biasa mengguncang tanah.

Rion dan Zevran berhenti.

Semua guru dan murid berdiri, panik.

“Itu... pecahan sihir ruang-waktu!” seru Profesor Maelis dari tribun atas.

Retakan langit terbuka.

Dan dari dalamnya, bayangan mengerikan mulai muncul — sesosok makhluk gelap yang tidak berasal dari dunia ini. Sesuatu... atau seseorang... mencoba masuk ke dunia mereka.

Badai besar pun datang.

Para guru mengaktifkan penghalang sihir. Murid-murid berlarian panik. Zevran menatap langit dengan horor. Rion hanya mendongak, mata dinginnya menatap celah di langit yang membentuk seperti mata raksasa.

“Akhirnya, kau muncul juga,” gumam Rion.

 

Langit berderak. Angin menjerit.

Awan hitam membentuk pusaran di atas arena, sementara cahaya sihir merah dan ungu meledak dari celah yang terbuka di udara. Suasana yang semula semarak kini berubah menjadi panggung kehancuran.

“T-Tidak mungkin... ini sihir skala besar!” seru salah satu guru Akademi Astrea, panik.

“Aktifkan semua penghalang pertahanan! Cepat!!”

Suara ledakan sihir mengguncang tanah.

Debu beterbangan. Arena retak. Beberapa murid menjerit dan berlarian meninggalkan tribun. Kepanikan total pun terjadi.

 

Elysia mencengkeram tongkat sihirnya. Matanya lebar, tubuhnya gemetar.

“Ini... bukan bencana biasa... Ini seperti—”

“—seperti celah antar dunia yang dibuka secara paksa.” Elyndor menyambung kalimatnya, matanya membelalak ngeri. “Seseorang sedang mencoba memasukkan sesuatu dari luar dunia ini.”

Seraphina menatap ke atas, lalu ke arah Rion.

“Kenapa dia hanya diam?!” gumamnya, bingung dan takut.

Rin menjerit dari sisi tribun pahlawan.

“Semua orang! Cepat cari perlindungan!”

Daiki dan Haruto segera menghalangi serpihan sihir liar yang menghantam pagar arena.

Yui menggigit bibir. “Kita tidak akan bisa melindungi semua murid... Ini di luar nalar...”

Namun, di tengah kekacauan itu... Zevran masih berdiri tegak.

Ia menatap langit gelap itu dengan senyum tipis di wajahnya.

Begitu juga dengan para peserta Malgrim lainnya—yang sebelumnya bertarung melawan para pahlawan.

Mereka tidak terlihat panik. Bahkan terlihat... puas.

“Sudah saatnya... semuanya dimulai,” bisik Zevran, nyaris tak terdengar.

Rin, yang melihat mereka dari kejauhan, berteriak. “Mereka... mereka tidak takut?! Apa ini semua rencana mereka?!”

Haruto menggeram. “Dari awal... mereka ingin memancing situasi ini. Turnamen ini hanya kedok!”

Zevran menoleh perlahan ke arah tribun pahlawan, mata merahnya menatap Rion dengan senyum yang tak menyenangkan.

“Tunjukkan dirimu yang sebenarnya, sang bayangan es.”

 

Sementara itu, Rion masih berdiri tenang di tengah arena yang mulai porak-poranda. Aura dingin samar mulai muncul dari tubuhnya. Matanya menatap langit, lalu beralih ke Zevran.

Elysia memandangnya dari tribun, menahan napas.

“Rion... kau tahu sesuatu, bukan? Kau menyembunyikan sesuatu dariku... dari kami...”

Seraphina mencengkeram lengan Elyndor. “Apa yang akan terjadi jika retakan itu terbuka sepenuhnya?”

Elyndor hanya menggeleng pelan. “Kalau makhluk dari luar dunia ini masuk... maka tidak ada lagi yang bisa menjamin keselamatan siapa pun.”

Dan saat itu juga—sebuah lengan raksasa hitam muncul dari retakan di langit.

Suara jeritan dan mantra sihir pun menyatu. Pertahanan sihir mulai runtuh.

Para guru Akademi Astrea dan Malgrim kini bersatu, mencoba mempertahankan barikade terakhir di sekeliling murid-murid.

Namun di tengah badai dan kehancuran... hanya satu sosok yang tetap berdiri tanpa bergeming.

Rion.

Dia menatap lengan kegelapan itu, lalu mengangkat tangan kanannya ke langit. Aura biru pucat mulai membungkus tubuhnya... perlahan... dan dunia pun menjadi semakin sunyi.

Langit hancur oleh energi kegelapan.

Sosok monster raksasa itu kini sepenuhnya muncul—berbentuk iblis bersayap hitam gelap, matanya menyala merah, tubuhnya dilapisi duri dan paku keras seperti baja. Nafasnya mengeluarkan kabut hitam yang melahap apa pun yang disentuhnya.

Teriakan bergema dari tribun penonton.

“Pintu tertutup! Kami terjebak!!”

“Tolong! Tolong buka jalannya!!”

“Itu... itu monster dari legenda zaman perang iblis...!”

Dinding hitam yang mengelilingi arena menjulang tinggi tak tersentuh sihir. Para guru memukulnya dengan segala mantra dan senjata sihir, namun tak meninggalkan goresan sedikit pun.

Di tengah semua itu, Zevran tertawa pelan.

Langkahnya ringan, namun aura gelap di sekeliling tubuhnya menekan udara hingga membuat beberapa murid pingsan hanya karena berdiri terlalu dekat.

“Rion, apa kau mengira turnamen ini untuk hiburan? Tidak... ini adalah ritual, untuk membuka celah antara dunia,” ujar Zevran dengan nada santai. “Semua peserta yang kau kalahkan adalah bagian dari pengorbanan. Dengan setiap kekalahan mereka, satu segel terbuka... dan sekarang, mereka kembali.”

Ia menoleh ke monster raksasa yang kini melangkah ke arah arena. Tanah bergetar. Suara gemuruhnya mengalahkan semua suara.

“Siapa kami?” Zevran tersenyum, matanya menyala merah pekat. “Kami adalah Utusan Penghancur. Tangan kanan dari sang Raja Abyss. Dan hari ini, dunia ini akan mulai runtuh... dari dalam.”

 

Di atas arena, hanya satu sosok yang masih berdiri tenang.

Rion.

Dengan langkah ringan, ia menatap Zevran, monster raksasa, dan puluhan pengikut yang tersisa. Senyum tipis tergambar di bibirnya.

“Menarik... sangat menarik.”

Angin dingin berembus pelan dari tubuhnya, menyelimuti arena yang mulai retak. Cahaya sihir biru pucat perlahan muncul di sekelilingnya, mengikuti setiap gerakannya.

“Mari kita mulai... pertandingan sesungguhnya,” ucapnya pelan namun menggema.

BOOM!

Pertarungan pun dimulai.

Rion menghilang dari pandangan semua orang dalam sekejap.

“Ke mana dia?!—”

Salah satu pengikut Zevran bahkan belum sempat menarik senjata ketika tubuhnya terpental jauh ke dinding arena dengan satu hantaman.

Monster raksasa itu meraung dan mengibaskan sayapnya, menghantamkan badai hitam ke arah Rion. Namun, dari balik angin dan debu—muncul ribuan serpihan es tajam seperti tombak, menghantam badai itu dan memecahnya seperti kaca.

Zevran mengayunkan pedangnya yang hitam, menciptakan jurang gelap. Tapi Rion meluncur turun dari udara dengan senyum antusias, menginjak pedang itu dan mendorong Zevran mundur dengan tinjunya.

"Kau pikir ini cukup?" ucap Rion sambil terkekeh kecil. "Aku bahkan belum mengeluarkan sepuluh persen kekuatanku."

Ledakan energi biru menghantam monster besar itu. Makhluk itu tertahan beberapa detik sebelum membalas dengan sinar kematian dari mulutnya, menghancurkan setengah arena.

Tapi saat debu mereda, Rion berdiri tegak. Baju tempurnya sobek sebagian, namun ia masih tersenyum—senyum lepas seperti seseorang yang sedang menikmati setiap detik pertarungan ini.

 

Dari tribun—semua orang terpaku.

Elysia tak bisa menahan air matanya, bukan karena takut, tapi karena keheranan dan emosi.

“Rion... siapa kau sebenarnya...?” bisiknya.

Seraphina menutup mulutnya. “Dia... bukan manusia biasa. Bahkan mungkin... bukan pahlawan. Dia jauh lebih dari itu...”

Elyndor menatap ke bawah, wajahnya tegang.

“Jadi ini alasan dia selalu menyendiri... dia menyimpan kekuatan yang bahkan tak bisa dinalar.”

Daiki menatap tajam ke arah arena. “Kalau dia yang kita pikirkan... maka ini hanyalah permulaan dari pertarungan yang jauh lebih besar.”

 

Kembali ke arena—

Rion kini berdiri di atas monster yang telah terluka parah. Nafasnya dalam, rambutnya berkibar, matanya dingin namun penuh nyala semangat.

“Kau cukup kuat untuk membunuh separuh kota... Tapi aku? Aku cukup kuat untuk membekukan waktu itu sendiri.”

Monster itu meraung—dan tiba-tiba tubuhnya berubah. Evolusi. Sayapnya menjadi dua kali lipat, kekuatan sihirnya meningkat drastis. Teriakan yang keluar menggetarkan hati semua murid.

Tapi Rion hanya tertawa kecil.

“Akhirnya... kau membuatku serius.”

More Chapters