Cahaya putih menyilaukan menusuk matanya. Ezora membuka mata perlahan, napasnya berat, tubuhnya terasa lebih ringan tapi asing. Ia mendengar suara bip mesin, lalu siluet wajah familiar muncul di samping ranjang.
"Ezora," suara itu terdengar pelan namun jelas.
Light.
"Bangun juga akhirnya."
Ezora mengedipkan matanya beberapa kali, dan menoleh pelan. Dinding ruangan bersih, berwarna putih metalik dengan garis-garis biru neon. Mesin-mesin medis terpasang di sekelilingnya. Di jendela holografis, pemandangan Kota Zherion terbentang... tapi sesuatu terasa salah.
"Bukankah jendela ruang medis... nggak pernah bisa lihat menara pusat?" gumamnya.
Light menatapnya lekat-lekat, lalu bertanya pelan, "Ada yang aneh menurutmu?"
Ezora tak langsung menjawab. Ia duduk perlahan, tubuhnya sedikit gemetar. Pandangannya menyapu ruangan, lalu ke luar jendela. Kota itu masih Zherion—tapi lebih... rusak. Penuh benteng logam, dinding pelindung berlapis, dan menara pengintai di setiap sudut horizon.
"Ini bukan kota yang aku kenal," bisiknya.
Light tampak menahan napasnya. "Kau belum sepenuhnya sadar, ya…"
Pintu terbuka otomatis. Magi masuk dengan ekspresi serius. "Akhirnya sadar juga, Dark Angel."
Ezora memicingkan mata. "Dark... Angel?"
Magi mendekat, meletakkan tablet di sisi ranjang. "Kalau kau hanya lupa beberapa nama atau tempat, aku bisa terima. Tapi kau bahkan tidak ingat nama julukanmu sendiri? Eee..."
Ezora hanya menatapnya kosong.
Magi menarik napas panjang. "Sepertinya kamu amnesia, ya? Ada yang kamu ingat?"
"Erura..." jawab Ezora lirih
"Erura?!. Itu adalah makhluk pemusnah yang muncul enam tahun lalu. Kau, aku, dan yang lain... kita bertahan karena punya Talent. Kekuatan yang lahir dari harapan."
"Talent?" ulang Ezora pelan.
Asharu tiba-tiba masuk, wajahnya ceria seperti biasa. "Jangan-jangan kamu amnesia, Zo!"
Ezora menatapnya. "Mungkin. Tapi aku masih inget kalian semua. Nama, wajah… cuma... dunia ini. Dunia ini rasanya… beda."
Asharu mendekat sambil membawa jaketnya dan melemparkannya ke bahu Ezora. "Dunia ini memang berubah. Sejak Erura muncul, populasi manusia anjlok 75 persen. Enam tahun neraka, Zo. Departemen Pertahanan ambil alih semua. Kekaisaran langsung turun tangan. Sekarang kita semua hidup dalam sistem militer."
Magi menambahkan, "Dan LOST—organisasi yang kita bentuk—dianggap sebagai teroris. Karena menentang dan mengacau berbagai kebijakan pertahanan."
Ezora membeku.
Light bersandar di dinding. "Whitecard bahkan turun tangan. Dia... semacam 'kau' versi Militer. Satu orang, satu Talent, tapi kekuatannya mengubah arah perang."
Ezora menyentuh keningnya. Dunia ini terasa nyata. Tapi juga seperti mimpi.
Erro tiba-tiba muncul dalam proyeksi biru lembut di sudut ruangan. "Sinyal biologismu stabil. Namun pola memorimu tidak cocok dengan data sejarah enam tahun terakhir. Aku mendeteksi... ketidaksesuaian realitas."
Ezora menatapnya, matanya menyempit. "Jadi aku... dari dunia lain?"
Erro menunduk. "Entahlah itu di luar program."
Ezora menelan ludah. Semua ini terlalu besar.
Asharu bersiul. "Kamu lupa juga soal Erura bisa dikalahin pake laser 5000 derajat? Kan kamu yang bilang waktu itu ke departemen pertahanan."
"Aku… nggak ingat sama sekali," ucap Ezora pelan.
Light berjalan mendekat. "Kalau begitu, kita mulai dari awal."
Ia mengangkat tangannya. Cahaya muncul di telapak tangannya, lalu menyebar seperti benang-benang halus.
"Ini Talent-ku: Manipulasi Luka. Bisa menyembuhkan atau memperparah luka fisik dalam radius tertentu."
Asharu mengangkat dua jari ke kepala dan tersenyum, "Talent-ku: Mimpi yang Indah. Aku bisa membuat orang lain tertidur dan masuk ke dalam dunia mimpi yang ku buat."
Luna masuk lewat pintu otomatis, anggun seperti biasa, wajahnya tenang.
"Talent-ku: Replika. Aku bisa menciptakan salinan diriku, salinan benda disekitarku dan memperbaikinya lebihbaik dari sebelumnya."
Magi menambahkan, "Aku... Gerbang Keabadian. Talent-ku adalah teleportasi jarak menengah, dan memanggil roh yang berkeliaran."
Light menatap Ezora dengan sorot hati-hati. "Dan kau, Ezora… Talent-mu adalah Cermin. Kau bisa memantulkan serangan, emosi, bahkan... takdir."
Ezora diam. Kata "takdir" menggema di kepalanya.
***
Sore itu, Asharu menyeret Ezora keluar dari markas untuk "jalan-jalan".
"Ayolah, masa kamu seharian di lab doang. Aku mau tunjukkin gimana dunia sekarang," kata Asharu sambil melompat ke hoverboard-nya.
Mereka meluncur di atas rel udara kota, menyusuri lorong-lorong udara yang dihiasi iklan neon dan drone patroli. Kota Zherion tampak seperti dunia cyber distopia, penuh checkpoint militer dan pos pengawasan.
"Anak SMA kayak kita diwajibin ikut militer," kata Asharu sambil menunjuk ke menara rekrutmen. "Latihan setiap hari. Kelas cuma setengah waktu. Sisanya buat bertahan hidup."
Ezora memperhatikan. Anak-anak seusianya berjalan dengan seragam perang ringan, beberapa dengan senjata.
"Dan itu... Whitecard," kata Asharu sambil menunjuk ke layar raksasa yang menampilkan sosok misterius berjas putih dengan helm cermin.
"Dia satu-satunya manusia yang bisa mengalahkan tiga Erura sendirian. Julukannya Whitecard. Legenda hidup. Tapi nggak pernah muncul di publik."
Ezora terpaku. Dunia ini benar-benar asing. Tapi semua orang memperlakukannya seolah-olah ia bagian dari semua ini.
"Dark Angel," gumamnya pelan.
Asharu menoleh. "Iya. Itu kamu. Si malaikat hitam. Yang katanya nggak pernah takut pada apapun."
Ezora hanya menatap langit kota. Polusi cahaya menutupi bintang-bintang. Tapi jauh di dalam dirinya, satu cahaya kecil mulai tumbuh lagi—cahaya harapan, meski ia belum tahu untuk siapa.
Dan di dalam dirinya, suara samar kembali terdengar.
"Bukalah matamu... Putri Kegelapan, kemunculanmu adalah kebangkitanku.