WebNovels

Chapter 5 - EPS (4) kedatangan di kota ortkli

Empat tahun telah berlalu. Waktu seakan berlari tanpa ampun. Dalam kurun waktu itu, aku menghabiskan setiap detiknya untuk berlatih—menjadi lebih kuat, lebih tangguh, lebih siap menghadapi dunia yang kejam ini.

Namun kini, setelah bertahun-tahun hanya mengenal pedang dan keringat, aku akhirnya tiba di tempat di mana segalanya akan benar-benar dimulai.

"Ayo, siapa yang turun di Kota Ortikli!?"

Seruan kondektur menggema di dalam gerbong. Peluit panjang kereta uap terdengar nyaring, menandakan pemberhentian pertama dalam perjalananku. Asap putih mengepul dari cerobong, membubung tinggi ke udara. Suara logam bergesekan, roda-roda besi yang melambat di atas rel, dan bau khas oli bercampur arang menyambut hidungku.

Aku menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursiku.

"Ini dia..." gumamku pelan, menatap keluar jendela sebelum melangkah menuju pintu gerbong.

Saat kakiku pertama kali menyentuh tanah peron, hembusan angin panas segera menyambut wajahku. Langit di atas berwarna kelabu, bukan karena mendung, melainkan karena kepulan asap pabrik yang tak henti-henti mengepul. Suara ketukan logam, mesin-mesin berat yang berderak, dan suara orang-orang yang meneriakkan perintah satu sama lain menciptakan simfoni khas kota industri.

Aku melangkah maju, mataku menelusuri sekeliling.

"Kata Tuan Gamiel, ini pemberhentian pertamaku..."

Di hadapanku, terhampar Kota Ortikli. Kota yang tak pernah tidur, di mana siang dan malam hampir tak bisa dibedakan karena sinar lentera gas dan kobaran api dari cerobong pabrik yang terus menyala. Bangunan-bangunan menjulang tinggi dengan gaya arsitektur besi dan batu bata merah. Rel-rel uap membentang di atas jalan-jalan, menghubungkan berbagai distrik.

Di kejauhan, terlihat para pekerja berlumuran oli dan keringat, membawa peti besar dan batang-batang logam ke dalam bengkel raksasa. Anak-anak kecil berlarian di gang-gang sempit, sementara pedagang kaki lima berteriak menawarkan makanan panas yang mengepul di atas wajan besi mereka.

Aku menyilangkan tangan di dada, merasakan getaran kota ini dalam setiap desiran angin dan suara mesin yang tak henti-henti berdentang.

"Sepertinya ini memang kota industri…"

Namun, di balik semua ini, aku tahu. Ortikli bukan sekadar kota penuh pabrik dan pekerja. Ada sesuatu yang lebih besar tersembunyi di balik kabut asapnya—sesuatu yang harus kutemukan.

Aku menarik napas panjang dan mulai melangkah.

"Sebelum aku naik kereta lagi untuk tujuan selanjutnya... lebih baik aku mencari tahu kota ini terlebih dahulu."

Hiori melangkah pelan di atas jalanan berbatu, menyusuri lorong-lorong sempit kota yang diselimuti asap dan suara besi beradu. Udara terasa berat dengan aroma minyak, arang, dan logam panas yang dibakar di pabrik-pabrik besar. Langit di atasnya seakan selalu berwarna kelabu, tertutup oleh kepulan uap dan gas yang terus menerus membumbung tinggi.

Tapi di antara deru mesin dan dentingan besi, ada satu tempat yang hidup dengan caranya sendiri—pasar kota.

Suara para pedagang yang berteriak menawarkan dagangan mereka berpadu dengan langkah kaki para pembeli yang hilir-mudik. Bau rempah-rempah, roti panggang, dan minyak goreng bercampur menjadi satu, menembus kepulan asap industri. Hiori berhenti sejenak, matanya menyapu pemandangan di hadapannya.

"Ramainya…" gumamnya pelan.

Ia membiarkan langkahnya membawanya ke salah satu kios, sebuah lapak kecil yang menjual kue kering dengan tampilan sederhana namun menggugah selera. Dibalik meja kayu yang dipenuhi toples kaca berisi biskuit, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menyambutnya.

"Halo, Nona! Mau beli kue apa?" suara pedagang itu ceria, kontras dengan suasana kelam kota ini.

Hiori diam sejenak, lalu menunjuk beberapa kue dengan ekspresi datarnya. "Uh, ya... Aku mau biskuit itu, lima, dan roti kering ini, dua." Nada suaranya tetap dingin seperti biasanya.

"Baik! Tunggu sebentar ya, Sayang!" Wanita itu dengan cekatan mengambil pesanan Hiori, tangannya lincah membungkusnya dalam kertas minyak yang sudah mulai menguning akibat sering digunakan.

Saat wanita itu sibuk menyiapkan pesanan, Hiori menggigit bibirnya pelan, ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Bu… Anu… Bisakah kau jelaskan tentang kota ini padaku?"

Wanita itu berhenti sejenak, menatap Hiori dengan sedikit terkejut, lalu tersenyum hangat. "Tentu saja, Nak. Kota Ortikli adalah jantung industri di wilayah ini. Tapi... jangan sampai kau hanya melihatnya dari luarnya saja."

Hiori menatapnya dengan alis sedikit berkerut. "Maksudmu?"

Wanita itu tertawa kecil, "Kota ini terlihat seperti hanya kumpulan pabrik dan orang-orang bekerja tanpa henti. Tapi kalau kau tahu di mana mencarinya, Ortikli menyimpan lebih banyak cerita daripada yang bisa kau bayangkan." Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, lalu berbisik, "Mulai dari orang-orang yang menghilang tanpa jejak… hingga bisikan tentang pemberontakan bawah tanah."

Hiori merasakan bulu kuduknya meremang. Kota ini lebih dari sekadar mesin dan industri. Ada sesuatu yang bersembunyi di balik kabut dan gemuruhnya.

"Pemberontakan bawah tanah? Maksudmu bagaimana?" Meski nada suara Hiori tetap dingin, ada sedikit ketertarikan di matanya.

Pedagang wanita itu menatapnya dengan tatapan penuh makna, lalu melirik ke kiri dan kanan seolah memastikan tak ada yang menguping. Dengan gerakan cepat, ia menyerahkan kantong kue kering ke tangan Hiori, kemudian mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.

"Nak, di kota ini, mesin uap bukan satu-satunya yang beroperasi dalam kegelapan..." suaranya merendah, hampir seperti bisikan.

Hiori sedikit menajamkan telinganya.

"Kau melihat asap yang menutupi langit ini?" Wanita itu menunjuk ke atas. "Itu bukan hanya dari pabrik… tapi juga dari mereka yang menghilang tanpa jejak. Mereka yang berani melawan."

Hiori mengernyit. "Melawan siapa?"

Wanita itu tersenyum samar. "Siapa lagi kalau bukan mereka yang memegang rantai dan cambuk?"

Hiori mulai mengerti. "Orang-orang di kota ini diperbudak?"

Wanita itu tak menjawab langsung. Ia hanya menghela napas panjang, lalu mulai merapikan dagangannya seolah pembicaraan mereka tak pernah terjadi. Tapi sebelum Hiori bisa bertanya lebih jauh, wanita itu berbisik pelan, "Jika kau ingin tahu lebih banyak... datanglah ke distrik bawah tanah saat matahari terbenam. Carilah tanda roda gigi berlumuran minyak."

Kemudian, ia kembali tersenyum cerah seolah tak pernah membicarakan sesuatu yang berbahaya.

Hiori menggenggam kantong kue keringnya lebih erat. Pemberontakan? Orang-orang yang menghilang? Kota ini menyimpan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pabrik dan asap.

"Hmm... Baiklah, makasih ya." Hiori mengangguk kecil, menerima kantong kue keringnya sebelum melangkah menjauh. Tapi pikirannya masih terjebak dalam percakapan barusan. Kata-kata wanita itu terus berputar di kepalanya, bagaikan roda gigi mesin yang tak henti berputar di dalam pabrik-pabrik kota ini.

"Tanda roda gigi berlumuran minyak…" Hiori bergumam pelan, menatap langit kota Ortikli yang dipenuhi asap. "Apa itu semacam simbol organisasi yang mengendalikan kota ini? Atau justru... sebuah peringatan?"

Ia melangkah melewati lorong-lorong pasar yang padat, suara pedagang yang menjajakan dagangan mereka terdengar samar di telinganya. Di sekelilingnya, para buruh berjalan dengan langkah lesu, wajah mereka dipenuhi jelaga dan kelelahan. Asap tebal menyelimuti jalanan, membuat mata perih dan pernapasan terasa berat.

Hiori memperhatikan sekitar dengan lebih tajam. Ada sesuatu yang ganjil dengan kota ini—bukan hanya dari suasana yang muram, tetapi juga dari cara orang-orang berinteraksi. Mereka berbicara dengan suara rendah, tatapan mereka selalu gelisah, seolah takut ada mata-mata yang mengawasi.

Lalu, ia melihatnya.

Di salah satu dinding batu yang sudah mulai mengelupas, di antara poster propaganda yang menyerukan "Kemajuan dan Kemakmuran", ada sebuah coretan.

Sebuah roda gigi, dicat kasar dengan warna hitam pekat. Dan di bawahnya, ada jejak merah gelap, seperti… minyak? Atau mungkin sesuatu yang lebih menyeramkan?

Hiori mendekat, mengamati lebih saksama. Ada goresan samar di bawah simbol itu. Tulisan kecil yang hampir tak terlihat.

"Saat lonceng ketiga berbunyi, temukan pintu besi di balik reruntuhan tua."

Seketika, hawa dingin merayapi tengkuknya.

"Jadi ini bukan hanya sekadar simbol… tapi sebuah undangan."

Hiori menarik napas dalam, merasakan denyut halus ketegangan yang mulai menyelimuti pikirannya. Sepertinya perjalanan di kota Ortikli akan jauh lebih menarik dari yang ia bayangkan.

Hiori menghela napas panjang, kedua matanya menyapu setiap sudut kota yang tertutup kabut asap. "Ini bakal menjadi situasi yang runyam..." pikirnya. Ia baru saja mencoba memahami misteri kota ini, tapi sekarang… sesuatu yang lebih mendesak terjadi.

Dalam sekejap, sesuatu dirasakan hilang dari genggamannya.

Sekantong makanannya.

"Apa?"

Hanya dalam sepersekian detik, kue kering dan roti yang baru saja dibelinya lenyap dari tangannya. Udara di sekitarnya masih bergetar, seperti baru saja ada bayangan yang melesat dengan kecepatan luar biasa.

"Cepatnya..." gumam Hiori, tetapi alih-alih panik, tatapannya menjadi tajam.

Ia segera menganalisis area sekitar—jalanan ramai, orang-orang berjalan tanpa mempedulikan kejadian kecil seperti ini, tapi ada satu hal yang mencolok.

Di antara kerumunan, ada seseorang yang bergerak terlalu terburu-buru.

Seorang anak kecil dengan pakaian lusuh dan tubuh kurus, berlari dengan lincah melewati celah-celah orang dewasa. Tangannya mencengkeram sekantong makanan yang sangat dikenalnya.

Hiori menyipitkan mata.

"Pasti dia..."

Tanpa pikir panjang, ia langsung beraksi.

Dengan langkah ringan, ia melompat ke atas tumpukan peti kayu di samping jalan dan berlari di atasnya. Ia bergerak di sepanjang tepian bangunan dengan presisi, matanya terkunci pada bocah itu yang terus melesat melewati lorong sempit.

Bocah itu cukup cekatan, tetapi Hiori sudah pernah menghadapi situasi yang lebih sulit dari ini.

Saat bocah itu berbelok ke gang yang lebih kecil, Hiori langsung melompat turun dari atas, mendarat tepat di depan bocah itu dengan gerakan yang nyaris tak bersuara.

"Berhenti."

Bocah itu tersentak, matanya melebar saat melihat Hiori yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Namun, alih-alih takut, ia justru tersenyum licik.

"Kalau bisa tangkap aku, ambil balik makananmu!"

Dan tanpa aba-aba, bocah itu berlari lagi.

Hiori mendengus. "Menarik."

Tanpa ragu, ia mengejar, siap menunjukkan bahwa ia bukan orang yang bisa diremehkan begitu saja.

Hiori mempercepat langkahnya, matanya terkunci pada bocah pencuri yang menyelinap di antara kerumunan.

"Sialan..." gumamnya.

Jalanan terlalu ramai, terlalu banyak orang yang bisa menghalangi pergerakannya. Jika ia memaksa menerobos, ia akan kehilangan jejak bocah itu. Tapi Hiori bukan orang biasa.

Tanpa pikir panjang, ia melompat ke dinding terdekat, tangannya cekatan mencengkeram tepian jendela, lalu dengan satu dorongan kuat, ia naik ke atap bangunan.

Angin dingin menerpa wajahnya saat ia berdiri di ketinggian, melihat jalur di bawahnya dengan lebih jelas.

Di bawah sana, bocah itu terus berlari, tubuhnya kecil tapi lincah, menghindari pedagang dan gerobak yang berjejer di sepanjang jalan.

Hiori tersenyum tipis. "Kau takkan lolos dariku."

Dengan kecepatan penuh, ia berlari di sepanjang atap bangunan, kakinya melompat dari satu genteng ke genteng lain tanpa suara. Uap dari cerobong asap bertebaran di udara, menciptakan kabut yang membuatnya tampak seperti bayangan yang melintas di atas kota.

Bocah itu tampaknya masih belum sadar kalau dirinya sedang dibuntuti dari atas.

"Hampir..."

Saat bocah itu berbelok ke gang sempit, Hiori mengambil kesempatan. Ia melompat dari atap, tubuhnya melayang di udara sejenak sebelum mendarat tepat di tumpukan peti kayu, meredam suaranya.

Bocah itu masih berlari, tapi Hiori sudah memperhitungkan semuanya.

Dengan satu gerakan cepat, ia melompat ke depan, tubuhnya berputar di udara dan—

Duk!

Dalam sekejap, Hiori mendarat tepat di hadapan bocah itu, memblokir jalannya dengan tatapan tajam.

"Sudah cukup main-mainnya."

Bocah itu tersentak, matanya melebar dalam keterkejutan. Tapi bukannya menyerah, dia malah menyeringai nakal.

"Hah! Aku belum kalah!"

Dan tanpa ragu, bocah itu berbalik, berusaha kabur ke arah lain.

Hiori menghela napas pendek. "Dasar keras kepala..."

Ia bersiap untuk pergerakan terakhirnya, kali ini memastikan tak ada lagi celah bagi bocah itu untuk melarikan diri.

Rantai Api yang Membelenggu

Hiori menghela napas, merasa sedikit kesal karena harus mengejar bocah ini.

"Huh... Menyebalkan."

Dengan satu gerakan tangan, ia menjentikkan jarinya ke udara.

"Scorching Chain."

Dalam sekejap, rantai berlapis api menyala muncul dari kehampaan, melesat ke arah bocah itu dengan kecepatan kilat. Rantai itu melingkar di udara sebelum membelit kedua kakinya dengan erat.

"Aghhh!" Bocah itu menjerit, terjatuh ke tanah dengan suara berdebum, matanya dipenuhi ketakutan.

Hiori hanya menatapnya dengan wajah datar. "Tenang, tenang... Itu nggak panas."

Bocah itu berhenti berteriak dan melirik rantai yang mengikatnya. Api di rantai itu memang berkobar, tapi tidak membakar kulitnya sama sekali.

"Oh... Hehe..." Dia terkekeh gugup, merasa malu karena bereaksi berlebihan.

Hiori menghela napas panjang, meletakkan satu tangan di pinggulnya. "Serius deh... Kau itu terlalu banyak gaya untuk seorang pencuri kecil."

Bocah itu menyeringai, meskipun masih terjebak. "Yah, aku nggak nyangka bakal ketangkep secepat ini... Tapi aku nggak akan nyerah!"

Dia mencoba menggeliat, tapi rantai api semakin mengencang, membuatnya tidak bisa bergerak.

Hiori berjongkok, menatapnya tajam. "Dengar, aku nggak peduli kau nyolong makanan. Aku cuma mau tahu, kenapa? Apa kau benar-benar butuh atau ini cuma kesenangan semata?"

Bocah itu diam sejenak, ekspresinya berubah dari nakal menjadi serius dan sedih?. Ada sesuatu yang ia sembunyikan, sesuatu yang lebih besar dari sekadar mencuri sekantong makanan.

Hiori menyipitkan mata. "Hmm... Kau menyimpan sesuatu, ya?"

Seketika, terdengar suara langkah kaki mendekat dengan cepat.

Bocah itu mendongak dengan panik. "Sial... Mereka datang!"

Hiori langsung waspada. "Mereka? Siapa yang kau maksud?"

Bocah itu menggigit bibirnya. "Kau nggak akan mau tahu... Tapi percayalah, kalau kau tetap di sini, kita berdua dalam masalah besar."

Hiori menghela napas lagi, kali ini lebih berat. "Hah... Aku baru saja tiba di kota ini, dan sudah harus berurusan dengan masalah orang lain. Menyenangkan sekali..."

Namun, alih-alih mundur, dia malah menarik pedangnya dengan gerakan santai.

"Baiklah, tunjukkan siapa yang mengejarmu. Aku ingin melihat sendiri masalah macam apa yang sudah kau buat."

Langkah kaki menggema di gang sempit itu, semakin banyak orang muncul dari bayangan gedung-gedung kusam. Tatapan mereka tajam, penuh niat jahat.

"Hei, Felix! Apa yang kau perbuat?!" Salah satu pria berperawakan besar membentak bocah itu.

Felix—bocah yang tadi mencuri makanan Hiori—menelan ludah, wajahnya pucat. "Uh… aku bisa jelaskan…"

Namun, mata para penjahat itu segera tertuju pada sosok Hiori. Salah satu dari mereka, pria kurus dengan bekas luka di pipinya, menyipitkan mata.

"Hmm? Gadis? Apa yang sedang kau lakukan di sini? Ini bukan tempat biasa untuk orang sepertimu, tahu!"

Hiori hanya melipat tangan di dadanya, ekspresinya tetap datar. "Apa... Jadi kau menggiringku langsung ke sarang mereka?" Tatapannya menusuk ke arah Felix.

Felix buru-buru menggeleng panik. "Apa!? Bukan! Kau salah paham! Aku sebenarnya ingin—"

Sebelum bocah itu bisa menyelesaikan kalimatnya, pria berbadan besar tadi menyeringai lebar, memperlihatkan giginya yang menguning.

"Felix… kerja bagus. Membawa gadis ke sini? Kau tahu aturan, kan?" Dia melangkah maju, matanya berbinar penuh keserakahan. "Ini akan jadi budak baru untuk kita!"

Dalam sekejap, para berandalan itu menerjang ke arah Hiori dengan penuh nafsu.

Felix terbelalak. "Tunggu! Ini bukan yang aku maksud!"

Namun, sebelum tangan mereka bisa menyentuhnya, Hiori hanya menghela napas.

"Hah… Benar-benar bodoh."

Dalam sekejap, udara di sekitar Hiori mendadak bergetar. Suhu meningkat drastis.

"Scorching Chain: Conflagration Grip."

Dari telapak tangannya, rantai berapi meledak keluar, melesat seperti ular ganas yang mencari mangsa.

CRACK!

Rantai itu mencambuk tanah, membuat ledakan kecil. Para berandalan itu refleks melompat mundur, ekspresi mereka berubah dari percaya diri menjadi waspada.

Pria kurus dengan luka di pipinya mengumpat. "Apa-apaan ini?!"

Hiori menatap mereka dengan pandangan dingin. "Kalian mau bermain kasar? Baiklah, aku akan meladeninya. Tapi jangan salahkan aku kalau kalian berakhir jadi arang."

Felix hanya bisa menatap dengan mulut setengah terbuka. "Oh… Astaga…"

Dan dalam sekejap, pertarungan pun dimulai.

"Dasar jalang!!"

Para berandalan itu menerjang seperti kawanan serigala kelaparan. Mata mereka dipenuhi kebengisan, tangan mereka mengepal, siap mencabik mangsanya.

CLANK!!

Hiori menangkis pukulan pertama dengan pedangnya. Percikan api meletup dari gesekan logam. Seorang pria bertubuh besar mencoba menebasnya dengan belati berkarat, tapi Hiori dengan lincah menghindar, lalu menendang perutnya hingga terpental ke belakang.

"Kalian lamban sekali," gumamnya, nada suaranya tetap datar seakan ini bukan pertarungan, melainkan sekadar latihan pemanasan.

Seorang pria lain berusaha menyerangnya dari belakang, tapi Hiori sudah mengantisipasi. Dengan satu putaran cepat, ia menebaskan pedangnya ke udara—FWOOSH!—hembusan api membakar lengan pria itu.

"ARGH!! SIALAN!!"

Namun, mereka belum menyerah. Tiga orang lagi menyerbu bersamaan, satu dengan rantai, satu dengan gada besi, dan satu lagi dengan pisau panjang.

"Hahaha! Sudah terpojok, ya?! SEKARANG!!"

Hiori menghela napas. "Kalian benar-benar suka berteriak, ya?"

Tepat saat rantai meluncur ke arahnya, Hiori menangkapnya di udara, memutarnya dengan cepat, lalu menggunakannya untuk menarik pemiliknya ke arahnya. Dalam satu gerakan, ia menendang pria itu tepat di dagu—CRACK!—dan tubuhnya langsung terhempas ke tembok.

Gada besi datang dari sisi kanan—Hiori menunduk, menghindari ayunan yang hampir menghancurkan kepalanya. Ia kemudian menyelip ke belakang penyerangnya, mengayunkan pedangnya dengan cepat. SRET! Punggung pria itu tersayat, membuatnya terjatuh sambil mengerang kesakitan.

Yang tersisa hanya pria berpisau. Wajahnya pucat. Tangannya gemetar.

Hiori menatapnya dengan tajam, lalu melangkah maju.

"Masih mau coba?"

Pria itu tak menjawab. Hanya dalam hitungan detik, ia membalikkan badan dan langsung kabur.

Felix, yang sedari tadi menyaksikan dengan mulut menganga, akhirnya bersuara, "Ka-Kamu ini… monster atau apa?!"

Hiori hanya mengangkat bahu, lalu memasukkan pedangnya kembali ke sarungnya. "Aku hanya ingin makananku kembali. Tapi sepertinya, aku juga mendapat sedikit hiburan."

Felix menelan ludah. Ia tak tahu apakah harus merasa lega… atau ketakutan.

Rahasia di Balik Tangan Kecil yang Mencuri

Hiori menatap Felix dengan tatapan tajam, matanya bagaikan pisau yang mengulitinya sampai ke tulang.

"Oke, bocah... Namamu Felix, kan? Sekarang jelaskan kepadaku... Mengapa kau mencuri makananku?"

Nada suaranya begitu dingin, menusuk seperti es yang menyelubungi udara. Felix menelan ludah, tubuhnya gemetar. Ia mundur selangkah, tetapi tatapan tajam Hiori seolah mengikatnya di tempat.

"Umm... Jadi gini..."

Felix mencoba tersenyum kaku, tetapi ekspresinya segera berubah menjadi sedih. Mata kelabunya sedikit meredup, bahunya merosot, seakan seluruh keberanian yang tadi membawanya mencuri makanan telah menguap ke udara.

"Aku... Aku tidak punya pilihan lain..." katanya dengan suara pelan, hampir berbisik.

Hiori tetap diam, menunggu kelanjutannya.

Felix menghela napas berat, lalu menunduk. "Aku tidak mencuri untuk diriku sendiri... Aku mengambil makanan itu untuk mereka."

Ia mengangkat dagunya dan menatap ke kejauhan, ke arah gang-gang gelap di balik pasar.

"Siapa 'mereka'?" Hiori bertanya, masih dengan nada datar, tapi matanya sedikit menyipit.

Felix ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, "Anak-anak lain... Mereka kelaparan. Kami semua ditinggalkan, tidak punya tempat tinggal, tidak punya siapa-siapa..."

Ia mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi.

"Kota ini... Kota Ortkli... Bagi orang luar, ini mungkin hanya kota industri yang penuh kemajuan. Tapi bagi kami, anak-anak jalanan, ini adalah tempat di mana kami harus bertahan hidup di bawah bayang-bayang orang-orang kuat. Mereka yang punya uang dan kuasa tidak peduli dengan kami. Dan mereka yang mengendalikan kota ini..."

Felix menggertakkan giginya.

"Mereka yang memakai tanda roda gigi berlumuran minyak... Mereka tidak akan membiarkan kami hidup jika tahu kami masih ada."

Hiori menatapnya lama. Angin dingin bertiup di antara mereka, membawa suara gemuruh mesin-mesin jauh di pusat kota.

"Jadi... Kau mencuri dariku untuk memberi makan anak-anak lain?"

Felix mengangguk perlahan.

Hiori mendesah panjang. "Hah... Kenapa aku harus terlibat dalam masalah seperti ini?" katanya, tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang bergetar.

Ia menatap Felix sekali lagi, kali ini tanpa intimidasi, tetapi dengan sedikit rasa ingin tahu.

"Bawa aku ke tempat mereka."

Felix terbelalak, wajahnya seketika dipenuhi keterkejutan.

"Eh... Apa kamu yakin? Maksudku..." Suaranya nyaris berbisik, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Hiori hanya menatapnya tanpa ekspresi, matanya tajam bagai belati yang menusuk keraguan. Angin malam berhembus, mengibarkan rambutnya yang sedikit berantakan akibat pertarungan tadi.

"Tentu saja yakin. Cepat pimpin jalan." Nada suaranya begitu tegas, tanpa ruang untuk dibantah.

Felix mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya mengangguk cepat. "Baiklah, tapi kau harus janji... Jangan bilang siapa-siapa."

Hiori hanya mendengus. "Aku tidak punya waktu untuk mengadu. Sekarang, jalan."

Felix dengan sedikit gugup berdiri, melirik ke kanan dan kiri sejenak sebelum mulai melangkah. Langkahnya cepat, penuh kewaspadaan, menyelinap di antara gang-gang sempit yang dipenuhi bayangan.

Hiori mengikutinya dalam diam. Jalanan berbatu di bawah mereka basah oleh uap yang mengembun dari pipa-pipa besi raksasa yang menjulur dari dinding bangunan tua. Lampu-lampu minyak yang menggantung di atas mereka berkedip-kedip, memberikan cahaya temaram yang membuat suasana terasa semakin mencurigakan.

"Mereka tidak jauh dari sini," bisik Felix tanpa menoleh.

Hiori tetap diam, hanya fokus pada suara langkah kaki dan deru mesin dari kejauhan.

Setelah beberapa menit melewati lorong-lorong yang semakin sempit dan berkelok, Felix akhirnya berhenti di depan pintu kayu tua yang setengah rusak, tersembunyi di antara dua bangunan usang.

Ia mengetuk pintu itu dengan pola tertentu—dua ketukan cepat, satu ketukan pelan, lalu tiga ketukan lagi.

Hening.

Kemudian, suara gesekan terdengar dari balik pintu, diikuti suara lirih, "Kode?"

Felix menelan ludah dan menjawab, "Roda yang berputar tak selalu menggilas."

Pintu itu berderit terbuka, memperlihatkan sosok kecil yang berdiri di ambang pintu. Mata mereka yang cekung dan penuh kewaspadaan menatap Hiori dengan curiga.

"Siapa dia?"

Felix menoleh ke Hiori, lalu berkata dengan suara pelan namun penuh keyakinan.

"Seseorang yang mungkin bisa membantu kita."

Ekspresi Hiori sempat membeku sejenak. Matanya membesar, bukan karena ketakutan, tapi karena keterkejutan yang sulit ia sembunyikan. Cahaya lampu minyak yang redup menerangi wajahnya yang kini dipenuhi rasa tidak percaya.

Di hadapannya, anak-anak dengan pakaian compang-camping duduk bersandar di dinding bata yang dingin dan lembap. Mata mereka kosong, seakan telah kehilangan sinar kehidupan. Beberapa dari mereka bahkan terlalu lelah untuk sekadar mengangkat kepala.

"Apa-apaan ini...?" Suara Hiori terdengar lebih lirih dari biasanya, seolah udara di ruangan ini terasa lebih berat. Matanya menyapu setiap sudut ruangan yang kumuh dan penuh sesak.

Ia menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya, "Orang tua kalian... Mana?"

Tak ada yang langsung menjawab. Hanya ada keheningan yang menusuk, sebelum akhirnya seorang anak perempuan kecil dengan rambut kusut menunduk dan berbisik pelan.

"Orang tua kami..." suaranya serak, hampir terdengar seperti rengekan tertahan. "Mereka dijadikan budak di perusahaan Roda Gigi Berlumuran Minyak..."

Hiori menatapnya dengan tajam. "Apa maksudmu dijadikan budak?"

Felix mengepalkan tangannya, matanya penuh amarah dan kesedihan. "Mereka... Mereka diculik!"

Seakan kata-kata itu membuka luka lama, anak-anak lain yang sebelumnya diam kini mulai terisak. Beberapa bahkan memeluk diri mereka sendiri, mencoba menghangatkan tubuh yang terasa semakin dingin dalam ruangan yang gelap itu.

Hiori merasakan sesuatu yang menekan dadanya. Bukan rasa kasihan... tapi kemarahan yang perlahan-lahan mulai menyala dalam dirinya.

"Tch... Dasar bajingan." Giginya bergemeletuk, dan tangannya mengepal kuat.

Ia menunduk, menatap langsung ke arah Felix. "Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini?"

Felix menatapnya kembali, matanya yang dipenuhi kemarahan dan keputusasaan kini menyala dengan harapan baru.

"Pemimpin perusahaan itu... Dialah dalangnya. Dan dia tak akan berhenti sampai kita semua tak tersisa."

Hiori menghela napas panjang, membiarkan udara berbau minyak dan besi karat mengisi paru-parunya. Ia mendongak, menatap langit yang nyaris tak terlihat di balik kepulan asap dan uap yang membubung dari cerobong-cerobong raksasa kota industri ini. Cahaya matahari sore yang tersisa hanya menjadi garis-garis samar di antara kabut tebal, seakan menyaksikan betapa kotornya dunia di bawahnya.

"Saat malam tiba..." ucap Hiori pelan, tapi nada suaranya penuh kepastian. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan rambutnya yang tergerai. "Aku akan menghancurkan perusahaan ini... Tunggu saja."

Felix dan anak-anak lainnya menatapnya dengan campuran keterkejutan dan harapan. Mereka ingin percaya, tapi di sudut hati mereka, bayangan ketakutan masih menghantui.

Felix menelan ludah. "Kau serius...? Tapi mereka punya penjaga bersenjata, para pemburu bayaran, dan—"

"Dan apa?" Hiori memotongnya, menatapnya dengan mata tajam bagaikan belati. "Mereka pikir dengan tembok tinggi dan pasukan sewaan mereka bisa terus memperbudak orang-orang?"

Ia menurunkan pandangannya, menatap Felix lurus-lurus. "Aku sudah melihat neraka yang lebih buruk dari ini, bocah. Aku tidak takut."

Udara di sekitar mereka terasa lebih berat. Kilatan cahaya dari lentera-lentera yang berkedip di kejauhan memantul di mata Hiori, memancarkan sesuatu yang nyaris menyerupai api.

Ia menarik napas lagi, lalu berbalik. "Malam ini... Aku akan menjadi mimpi buruk mereka."

More Chapters