WebNovels

Kena sindromTS

DaoistWGxjBy
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1k
Views
Table of contents
Latest Update1
12025-02-12 07:40
VIEW MORE

Chapter 1 - 1

――Aku bermimpi.

Mimpi di mana aku bermain bersama sahabat yang bisa kupercaya.

Kami berdua masih berpostur seperti anak SMP, dunia terasa cerah, menyenangkan, dan waktu yang ingin kuharap berlangsung selamanya.

Tapi momen itu tak bertahan lama. Perpisahan tiba-tiba datang.

Sahabatku menghilang, dan dunia yang kutinggalkan bersama orang tua pelan-pelan menjadi suram, hujan gelap turun, hingga akhirnya seluruh dunia terlapisi kegelapan.

Ini mimpi yang sering kualami. Berakhir di sini, lalu terbangun—mimpi buruk yang sama.

――Saat terbangun, seluruh tubuhku basah kuyup oleh keringat, perasaan buruk, dan suasana hati yang muram.

~~~~~~~~~

◇◆◇

Pikiranku yang kacau pelan-pelan mulai teratur, kepala mulai berpikir jernih, dan pandangan menjadi jelas.

Aku akhirnya menyadari apa yang terjadi, apa yang telah dilakukan padaku.

Di sebelahku yang telanjang di kasur, ada seorang pria yang dengan lembut mengusap pipiku. Saat ia menyadari tatapanku, ia langsung menciumku.

Aku tak bereaksi apa-apa.

Melawan sia-sia, bahkan tak ada lagi tenaga untuk melawan. Perasaan seperti putus asa.

――Aku diserang oleh pria ini, dinodai.

Namaku Tensei Haruto, siswa SMA kelas 2... sebelumnya. Tepat setelah Golden Week, aku terkena sindrom TS dan berubah menjadi perempuan.

Sindrom TS—gejala langka yang menyerang 1 dari 5.000 orang saat pubertas—mengubah gendermu dalam semalam.

Tak bisa kembali ke gender asli, dan harus hidup dengan gender baru seumur hidup.

Karena diakui negara, ada tunjangan, sertifikat resmi, dan data gender diperbarui.

Hanya seminggu lalu aku masih laki-laki. Tapi karena tubuhku jadi perempuan, aku dipaksa mengalami hal yang tak kusukai—lagipula, hatiku masih laki-laki! Aku tak pernah berpikir untuk melakukan hal seperti ini dengan pria. Jijik. Itu tak mungkin.

Tapi inilah kenyataannya: aku diserang pria ini. Sekadar mengingatnya membuat bulu kudukku merinding.

Aku tak bisa melawan, hanya pasrah.

Tak pernah kubayangkan keperawananku hilang dalam seminggu jadi perempuan. Apalagi partner pertamaku adalah pria. Perasaan yang paling buruk.

Awalnya aku melawan sekuat tenaga. Tapi perlawanan sebagai perempuan tak berarti. Ia memaksaku dengan kekerasan.

Wajar jika aku putus asa. *Lakukan apa saja!* Aku benar-benar menyerah.

――Benar-benar, kenapa ini terjadi?

◇◆◇

Hari ini hari pertama setelah Golden Week—hari pertamaku bersekolah sebagai perempuan.

Dengan enggan kukenakan blazer perempuan, kemeja ketat yang menekan dadaku, dan rok yang tak nyaman, sambil mengeluh tapi tetap berpikir, "Aku imut..." saat bercermin.

Saat tubuhku berbalik, rambut hitam panjangku yang berkilau terburai lalu terkumpul kembali. Di cermin, gadis cantik dengan wajah sempurna dan dada besar—yang bisa memikat siapa pun—tersenyum padaku.

Saat itu, aku memandang bayanganku seolah itu orang lain.

Wajar, karena hatiku masih laki-laki. Aku belum menerima diri sebagai perempuan, masih berharap bisa kembali menjadi pria. Jadi, gadis di cermin itu terasa seperti avatar game.

Di sekolah, guru memperkenalkanku di kelas.

Setelah perkenalan ulang, jelas tatapan teman sekelas berubah.

Ada yang memandangku seperti melihat makhluk aneh, menilaimu, atau penasaran—seperti melihat hewan di kebun binatang.

Yang lebih menyakitkan: saat aku menatap teman-teman, mereka menghindar.

Istirahat pun tak ada yang mendekatiku. Mereka berbisik-bisik dari kejauhan.

Harapanku untuk diperhatikan hancur.

Tak tahan, aku menghabiskan waktu istirahat di tempat sepi di luar kelas.

Pulang sekolah, aku hanya ingin cepat pergi. Langsung berangkat begitu bel berbunyi.

Hari itu, aku pulang tanpa bicara dengan siapa pun.

Di perjalanan, pikiranku muram memikirkan masa depan. Air mataku mengalir.

Tiba-tiba, tiga pria muda menghampiriku. Awalnya kupikir mereka peduli karena aku menangis, tapi ternyata mereka mengajakku "istirahat"—alias merayuku dengan paksa.

Baru saat itu aku sadar dan melawan. Tapi aku baru menyadari: sebagai perempuan, kekuatanku tak sebanding pria.

Mereka semakin kasar.

Mulutku ditutup, tanganku dicengkeram, tak bisa bergerak.

Paha dan dadaku (di atas baju) disentuh. Rasa jijik kalah oleh ketakutan.

Aku lumpuh oleh teror dan keputusasaan. Menjadi perempuan yang tak kuinginkan, mengalami hal seperti ini...

――Tapi, seorang pria muncul.

Diam-diam, ia bertarung melawan ketiga pria itu.

Rambut agak panjangnya berantakan, tubuh besar, tinju dan kaki panjangnya menghancurkan mereka dengan kekerasan.

"Sudah aman."

Ia mengulurkan tangan padaku yang terduduk menyaksikan semuanya.

Aku terpana. Pria itu kejam, anggun, dan keren.

"T-terima kasih."

Kusampaikan rasa syukur, mungkin sambil tersenyum polos.

Tapi ia malah mengangkatku dengan princess carry.

"Eh? Eh?"

Bingung, ia membawaku pergi.

"Terima kasih, aku sudah baik-baik saja."

"Jangan khawatir."

Aku minta diturunkan, tapi percakapan tak nyambung.

Setelah itu, aku baru sadar:

Pria ini adalah teman sekelasku—

Murasame Kiriya, siswa kelas 2.

Sejak kelas 1, Murasame-kun sudah populer.

Tingginya lebih dari 185 cm, bertubuh proporsional, dan tampan.

Dia pendiam dengan aura misterius yang disukai perempuan—benar-benar sempurna: pintar, atletis. Bahkan pria pun mengakui kerennya.

Tapi sebagai introvert, aku tak pernah bicara dengannya.

Murasame-kun menyelamatkanku?

Ada kalanya terpuruk, ada kalanya beruntung, mungkin ini maksudnya.

Tapi di tempat ramai, diperhatikan karena digendong seperti putri—sangat memalukan!

"Um, Murasame-kun... Tolong turunkan

aku..."

Diam sejenak, ia menatapku.

"Tidak."

Pikiranku blank.

Eh? Tidak? Kenapa? Biasanya kan diturunin!

"Karena banyak orang..."

Bergumam, ia tiba-tiba berlari kencang sambil menggendongku.

Terombang-ambing, aku memeluknya erat.

Ia membawaku ke sebuah apartemen dan melemparku ke kasur.

"Haru, kau milikku."

Ia mulai melepas pakaiannya—tubuh tinggi, ramping, berotot.

Kemudian ia menanggalkan seragam dan pakaian dalamku. Perlawananku sia-sia.

Situasinya lebih parah dari tadi! Tapi terlambat. Ia menindihku, mencuri ciuman pertamaku—seorang teman sekelas yang tak pernah kubicara.

Tak berhenti di situ, ia mulai melahap tubuhku.

◇◆◇

――Dan inilah akhirnya.

Jujur, aku tak paham kenapa ini terjadi.

Di hari pertamaku pulang sekolah, dirayu 3 pria, "diselamatkan" teman sekelas, lalu dibawa ke rumahnya dan diserang—alurnya seperti roller coaster.

Bahkan setelah semuanya, ia masih membelai dan mencium tubuhku seolah mencintaiku—bukan sekadar minta balasan atas pertolongannya.

Dan... ini memalukan—tapi rasanya enak.

Murasame-kun sangat ahli. Untuk pertama kalinya, aku bisa merasakan kenikmatan.

Kasar tapi lembut di titik penting—pengalaman yang tak bisa kudapatkan sendiri.

Tapi apa maunya?

Oh ya, ia memanggilku "Haru".

Kami tak pernah bicara sebelumnya. Hanya teman sekelas.

Biasanya teman memanggilku "Appare", "HaruHaru", atau "Haruto". Hanya keluarga dan sahabat SMP, Kiri, yang memanggil "Haru".

Kurasa Murasame-kun bukan tipe yang sembarangan memanggil panggilan akrab. Apa ini salah paham?

Melihat jam—sudah lewat jam 6 sore.

Bahaya. Harus pulang. Tapi apakah ia mengizinkanku? Ia bilang "kau milikku"—mungkin tak akan melepasku.

——Yah! Diam tak menyelesaikan masalah! Harus berani!

"U-um... Murasame-kun."

Ia berhenti membelai rambutku, menatapku tajam.

Matanya tajam... Tapi dia benar-benar tampan... Sepertinya pernah melihatnya di suatu tempat...

Stop! Fokus! Bilang mau pulang!

"Su-sudah malem, aku harus pulang..."

Tatapannya semakin tajam.

"Begitu..."

Ia menjauh.

"Mau mandi?"

Mungkin sekadar sopan, tapi tak ada baju ganti.

"Tidak usah, aku mandi di rumah."

"...Baik."

Ia melemparkan handuk—mungkin untuk mengeringkan tubuhku.

Kami diam. Aku berpakaian, sementara Murasame-kun duduk di kursi, mengamatiku.

Tatapannya menusuk—sangat malu, tapi aku harus cepat pergi sebelum ia berubah pikiran.

"Ka-kalau begitu..."

Setelah memastikan tak ada barang tertinggal, aku keluar kamar.

...Tapi Murasame-kun ikut.

"Sendirian berbahaya."

Yang berbahaya itu kau!!

Kusembunyikan protesku, tersenyum palsu.

"Ah... Tidak apa-apa. Aku bisa sendiri."

"Tidak boleh."

Tatapannya membuatku tak bisa berkata.

Keluar apartemen, ia berjalan di depanku.

Dia tak tahu alamatku, kan? Tapi kami tiba di rumahku tanpa tersesat.

——Eh? Bagaimana bisa dia tahu?!

Aku tak memberitahunya! Apartemennya cuma 5 menit dari sini, tapi menebak tepat alamatku?

Jangan-jangan... dia stalker?

"Eto... Kenapa kau tahu alamatku?"

Dia menjawab datar:

"Tentu saja."

*Ini bukan jawaban!!*

——Tenang. Yang penting sudah pulang. Meski keperawananku hilang...

Aku harus segera masuk dan merasa aman.

"Terima kasih! Dah!"

Kubuka pintu cepat-cepat. Tak ada yang menghentikanku.

Kukunci pintu, mandi, makan malam, lalu tidur lebih awal.

◇◆◇

Tapi tak bisa langsung terlelap.

*Kenapa Murasame-kun menyelamatkanku?*

*Bagaimana dia ada di sana? Aku pulang cepat hari ini...*

*Jangan-jangan dia mengikutiku?*

*Ah, sudahlah. Anggap saja kebetulan.*

Masalahnya: setelah "diselamatkan", malah dibawa ke rumahnya!

Dia juga bilang "kau milikku"—mungkin itu kalimat klise untuknya, karena dia populer.

Tapi dia sangat berpengalaman. Seolah lebih paham tubuh perempuan daripadaku yang baru seminggu jadi perempuan.

Kehilangan keperawanan tak terlalu kusedihkan. Yang lebih menyakitkan: dilakoni pria.

Mungkin karena aku belum sepenuhnya menerima diri sebagai perempuan.

...Tapi tetap saja, ini salah.

Yang aneh: melalui sentuhannya, aku akhirnya sadar bahwa tubuhku benar-benar perempuan.

Tapi hatiku tetap laki-laki.

Dan dia tahu alamatku—seolah wajar.

*Jangan-jangan dia stalker?*

Memikirkan Murasame-kun dan sekolah besok membuatku stres.

Perlakuan hari ini bisa membuatku mogok sekolah.

Kepalaku dipenuhi kecemasan. Meski sudah tidur jam 9 malam, aku baru terlelap lewat tengah malam.