WebNovels

Chapter 11 - Bab 11 - Gerbang Pembuktian

Pagi menyapa dengan langit tembaga yang murung. Kabut tipis melayang di atas tanah lapang yang lembap, ketika Reina mengikuti langkah Radeeva menuju sebuah arena yang tampak asing baginya. Lapangan itu dikelilingi pagar batu yang dipenuhi simbol kuno, tertulis dalam aksara yang tak ia mengerti. Di atas gerbangnya, terukir nama: Geladriya, yang konon berarti "tempat pemisahan antara keberanian dan kematian".

"Ini latihan terakhirmu, Reina," ucap Radeeva tanpa menoleh. Suaranya ringan, tapi nada ancamannya menggantung di udara. "Hari ini, kau tidak lagi berhadapan dengan kami... tapi dengan makhluk yang jauh lebih liar dari kata logika."

Reina menelan ludahnya pelan. Entah mengapa, kata "terakhir" diucapkan Radeeva seperti perpisahan hidup dan mati, bukan pelatihan.

Radeeva menjelaskan bahwa makhluk-makhluk yang akan ia hadapi adalah hasil tangkapan bertahun-tahun, dikirim ke kerajaan sebagai wujud amarah warga atas kehancuran yang ditinggalkan. Mereka bukan hanya hewan, tapi entitas mistis yang melampaui batas naluri buas. Beberapa bisa merapal sihir. Beberapa lainnya... membisik dalam pikiran.

Reina mengangguk seolah mengerti, meskipun hatinya jelas berkata sebaliknya. Pandangannya sempat beralih ke arah gerbang batu, yang kini perlahan tertutup seperti mulut raksasa yang menelan harapan. Ada keresahan yang tak bisa ia sembunyikan.

"Bhirendra... dia tidak ikut hari ini?" tanyanya pelan, mencoba terdengar biasa saja.

Radeeva menoleh sekilas, matanya menyipit seolah menelanjangi isi kepala Reina. "Dia kembali disidang oleh Dewan Agung," jawabnya datar.

"Karena berita kemarin?"

Radeeva mengangguk, kali ini dengan senyum yang hampir seperti pujian. "Sudah seharusnya. Ia membangkang. Menolak menjadi ksatriamu pada hari pengangkatan, melanggar sumpah, dan mengabaikan penjagaan dimensi yang berujung pada lolosnya dua bangsa asing. Itu kesalahan fatal."

Reina mengernyit, ada semburat iba dalam hatinya. Tapi dia menahan diri untuk tak menunjukkannya. Ia bahkan tak tahu kenapa ia peduli.

"Kudengar, saat dia membawamu ke Menara Cahaya, dia menggunakan sihir Raksana Yatra." Radeeva melanjutkan, mengucapkan nama sihir kuno yang hanya boleh digunakan dalam keadaan sangat mendesak.

Reina terkesiap. Ia tahu sihir itu adalah sihir teleportasi, yang menguras tenaga hingga bisa membuat penggunanya lemah beberapa waktu.

"Itu bukan sihir sembarangan. Bisa membuat pendarahan internal jika digunakan tanpa izin. Baguslah... kalau dia mati muda." Radeeva berujar enteng, namun nada cemburunya tak bisa disembunyikan.

Reina terdiam. Semakin lama ia mengenal dua orang ini, semakin ia merasa seperti terjebak dalam riwayat cinta berduri yang belum selesai.

Tiba-tiba, terdengar raungan keras dari sisi timur arena. Sebuah kandang besi terbuka, menggeser udara dengan desisan mistik. Seekor makhluk yang tak bisa disebut "hewan" keluar-tingginya hampir setinggi pohon, tubuhnya ditumbuhi duri, taringnya seperti belati dan sorot matanya menyala dengan aura merah menyala. Setiap langkahnya membuat tanah bergetar.

Reina melangkah mundur. "Itu... bukan hewan, Radeeva! Itu monster! Kau gila?!"

Radeeva hanya tersenyum, menikmati wajah Reina yang membeku antara takut dan marah. "Tenang saja, kau hanya perlu bertahan. Aku akan turun tangan... kalau kau hampir mati."

"Terima kasih banyak," gumam Reina sarkastik. "Kau benar-benar definisi dari motivator terbaik."

Namun di balik gerutuan dan gugupnya, Reina menarik napas panjang. Tangannya mengepal, dan di jari tengahnya, Cakra Adhiwara mulai berpendar samar, memberinya sedikit keberanian untuk menghadapi makhluk dari dunia yang tak ia kenal... dan mungkin juga, tak bisa ia pahami.

Angin di arena Geladriya mendadak menjadi dingin. Seolah seluruh udara tahu, pertarungan hari ini bukan latihan biasa-melainkan ujian kelayakan yang menguji batas tubuh dan nyawa.

Makhluk mistis itu, yang disebut Raragha, berasal dari reruntuhan hutan Bayangkara, melangkah maju. Setiap cakar raksasanya menggurat tanah, dan dari sela-sela taringnya menetes cairan hitam beracun. Suara raungannya mengguncang udara, membuat tanah bergetar dan burung-burung terbang panik menjauh dari puncak istana.

Reina berdiri terpaku. Kakinya seolah menolak bergerak. Tapi dari belakang, suara lembut namun tegas menyentaknya kembali.

"Fokus, Reina. Jangan pikirkan ukurannya. Bayangkan dia sebagai bayangan ketakutanmu dan kau sedang memotongnya." Itu suara Radeeva. Entah mengapa, nada menenangkannya membuat Reina kembali menarik napas.

Reina merapal mantera. Tangan kirinya membentuk simbol tiga lingkaran di udara-Tamra Rasa, mantra perlindungan berlapis. Lapisan cahaya biru keperakan membentuk perisai tipis di sekeliling tubuhnya. Mantra itu memang dasar, tapi cukup untuk meredam serangan pertama.

Dengan langkah cepat, makhluk itu melompat, menerjang Reina. Gadis itu berguling ke samping, lalu membentuk pola mantera kedua, Silar Aksara, dari cincin Cakra Adhiwara. Tiga paku cahaya muncul dan meluncur cepat, menghantam dada makhluk itu. Tapi hanya membuatnya sedikit terdorong. Makhluk itu meraung, dan dari mulutnya keluar semburan api kehijauan. Reina nyaris terbakar. Ia terhempas ke belakang, perisainya retak, tubuhnya terluka di bahu dan kakinya memar. Matanya terpejam menahan perih, napasnya tersengal.

"Cukup!" Radeeva turun dari tribun pengawas dan melompat ke medan laga. Tongkat sihirnya berputar di udara, membentuk Mantra Dwi Puspa, dua bunga api yang berubah menjadi jaring energi berkilau dan melilit tubuh Raragha. Sesaat, makhluk itu terhenti.

Namun tidak lama. Dengan amarah luar biasa, makhluk itu melepaskan ledakan sihir dari tubuhnya, membuat jaring Radeeva terurai. Ia mengamuk lebih buas, mencakar tanah dan melompat ke arah Reina yang kini tersungkur, tak mampu bangkit.

Wajah Reina memucat. Ia mencoba menarik mantra terakhir, namun kekuatannya mengering dan saat taring besar itu hendak mencabik wajahnya-waktu seolah melambat.

Cahaya menyilaukan menembus langit. Raksana Yatra. Sebuah pusaran sihir membelah udara di atas Reina, dan dari sana muncullah sosok yang tak asing. Bhirendra.

Rambutnya kusut, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar, namun mata tajamnya memancarkan tekad membara. Di punggungnya, luka cambuk sihir terlihat jelas, berdarah, terbuka, mengoyak kulit dan otot. Namun ia berdiri, menjatuhkan diri di depan Reina, menahan serangan makhluk itu dengan satu lengan.

"Beraninya kau menyentuhnya," gumamnya rendah... namun itu seperti perintah dari petir.

Dengan tangan kanan, ia memanggil artefaknya. Prabawa Samayoga muncul dalam kilatan cahaya merah keemasan. Pedang itu mendesis, mengaum seolah senjata itu marah karena terlalu lama tidur.

Dalam satu gerakan cepat, Bhirendra menerjang. Tubuhnya menyatu dengan aura perak gelap, dan dengan tiga ayunan, ia mencacah kaki, dada, dan kepala makhluk itu. Gerakannya hampir tidak bisa ditangkap mata biasa. Cepat, presisi, dan kejam.

Makhluk itu mengerang panjang, tubuhnya menghitam, lalu runtuh dengan suara dentuman berat. Namun belum selesai. Tubuh makhluk itu mulai menghilang-bukan menguap, tapi terserap ke dalam Cakra Adhiwara di jari Reina. Cincin itu bersinar sangat terang, seolah memakan esensi magis dari musuh yang tumbang.

Radeeva menoleh cepat. "Itu... reaksi alami Cakra Adhiwara!" bisiknya, terkejut.

Reina terpekur. Di hadapannya, Bhirendra masih berdiri, tapi lututnya mulai goyah. Ia jatuh berlutut, pedangnya terbenam di tanah, darah mengalir dari punggungnya. Namun ia masih menatap Reina, diam-diam, dengan pandangan yang tak bisa dibaca.

"Kau terluka parah..." bisik Reina, nyaris tak terdengar.

Bhirendra menahan napasnya yang berat. "Selama kau masih hidup, itu sepadan."

Kemudian gelap menyelimuti matanya. Ia jatuh tepat di sisi Reina-dan untuk pertama kalinya, sang penjaga dari batu bumi... tumbang, demi seseorang yang sebelumnya ingin ia hindari.

More Chapters